Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irwan Suhanda
Editor dan Penulis

Editor dan Penulis

Memaafkan...

Kompas.com - 24/03/2017, 07:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Ketika Anda memaafkan, memang Anda tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi Anda yakin bisa mengubah masa depan. (Bernard Meltzer)

Ketika Sokreaksa Himm masih berusia 14 tahun, ia menyaksikan sendiri bagaimana tentara Khmer Merah Kamboja membantai seluruh keluarganya pada tahun 1977.

Sokreaksa tidak dapat melupakan malapetaka yang menimpa keluarganya, selalu terbayang di depan matanya. Bertahun-tahun ia menyimpan dendam dan sakit hati berkepanjangan sepanjang hidupnya. Ia sama sekali tidak dapat menerima pembunuhan keji ini.

Tetapi entah bagaimana, ketika Sokreaksa mulai mengenal Tuhan, mulai mengenal makna sesama manusia, hatinya perlahan mulai berubah. Dendam yang membara mulai surut, sakit hati yang tersimpan sekian lama mulai memudar. Ia belajar berdamai dengan dirinya sendiri.

Akhirnya, dengan tekad yang kuat, Sokreaksa mencari para pembunuh keluarganya, bukan untuk membalas dendam, tetapi justru datang untuk memaafkan mereka sekaligus mengampuni para pembunuhnya ini.

Sama halnya yang dialami Nelson Mandela asal Afrika Selatan ketika di dalam penjara. Sipir penjara sering menyiksa dirinya. Bahkan yang tak akan dilupakan Mandela ketika ia disiksa dengan cara digantung terbalik sambil dikencingi oleh sipir tersebut.

Mandela menyimpan perkara ini di dalam hatinya. Tetapi ketika Mandela dibebaskan dan kemudian terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan, maka ia menyuruh ajudannya untuk mencari sipir penjara yang sering menyiksanya tersebut dan membawanya ke hadapan Mandela.

Sipir tersebut sangat ketakutan, ia berpikir Mandela akan membalas dendam dengan menghukum balik dirinya.

Tetapi apa yang terjadi, tidak demikian. Dengan tulus Mandela justru memaafkan dan mengampuni sipir penjara tersebut. Ia memeluk sipir tersebut sambil berkata, "Hal pertama yang kulakukan ketika menjadi Presiden adalah memaafkanmu."

Ingat peristiwa Ade Sara yang dibunuh sepasang kekasih Hafitd dan Assyifa? Ade Sara mati dengan cara disetrum dan mulutnya disumpal kemudian mayatnya dibuang di pinggir jalan tol Bintara, Bekasi.

Bagaimana perasaan orangtuanya ketika mengetahui anak semata wayang ini mati sia-sia? Kaget, sedih, marah. Tetapi, Elisabeth, ibu Ade Sara, dengan menangis mau memaafkan dan mengampuni pembunuhnya ini dan tidak menyimpan dendam kepada pembunuh anaknya.

Satu lagi kisah nyata, tersebutlah seorang ibu yang melahirkan bayi laki-laki secara caesar di sebuah rumah sakit di Jakarta.

Entah bagaimana, esok hari perut ibu tersebut tampak buncit kembali. Maka, operasi kedua harus segera dilakukan untuk mengetahui penyebabnya. Ternyata ada bagian usus bolong akibat tergunting, ini jelas akibat keteledoran dokter. Operasi yang kedua ini mengakibatkan sang ibu kritis di ruang ICU selama tiga bulan.

Jiwa ibu ini akhirnya tertolong, tetapi harus melakukan perawatan jalan selama setahun untuk pemulihan. Sungguh malang, musibah lain terjadi, mata sebelah kanan buta akibat saraf mata yang melemah.

Melihat kondisi sang ibu seperti itu, maka suaminya mulai galau. Sang suami mulai sering pulang malam, akhirnya istri ditinggal pergi begitu saja. Sang suami tak peduli lagi.

Selama 25 tahun sang suami benar-benar tidak memberi nafkah. Anaknya tidak diberi biaya sekolah sama sekali. Ibu dan anak ini benar-benar sudah dilupakan.

Sang ibu pontang-panting mencari biaya untuk sekolah anak. Masih beruntung ada beberapa saudara kandung yang peduli menolongnya.

Malangnya, beberapa tahun kemudian, sang ibu ini terkena kanker rahim. Dalam kondisi seperti ini pun sang suami tetap tidak perduli, dibiarkan saja.

Luar biasanya, sang ibu ini sangat rajin berdoa sekaligus berserah penuh kepada Tuhan atas segala musibah yang dihadapinya. Ajaib, lambat laun penyakit kanker rahim, sembuh! Dokter mengatakan semua ini karena kemurahan Tuhan, bukan obat-obat yang diberikan.

Suatu saat sang ibu ini mendengar suaminya ini sakit keras. Dalam kondisi seperti ini, sang suami mulai teringat istrinya. Kemudian ia menyampaikan agar ia dimaafkan segala kesalahannya selama ini.

Mendengar permintaan maaf ini, sang istri yang sudah terluka selama 25 tahun sulit menerima. Apakah mungkin luka sekian tahun terhapus begitu saja dengan satu kata "memaafkan"?

Sang ibu ini bergulat dengan batinnya sendiri. Ini bukan hal mudah. Tetapi akhirnya, ia menyerahkan hal ini ke hadapan Tuhan dan ia pun mau memaafkan dan mengampuni segala kesalahan suaminya ini.

"Saya akhirnya mengampuni dia, walaupun awalnya sulit sekali," begitu katanya.

Adalah Robby Sugara, aktor film terkenal tahun 1980-an, bercerita dengan jujur bahwa ia telah meninggalkan istri dan anak-anaknya selama 14 tahun.

Semasa sukses sebagai aktor film layar lebar, Robby bersenang-senang hidup bersama wanita lain. Adapun istri dan anak-anaknya yang masih kecil disia-siakan begitu saja tanpa diberi biaya sama sekali.

Tetapi luar biasanya, anak-anaknya begitu rajin berdoa agar ayahnya kembali. Akhirnya benar-benar terjadi, 14 tahun kemudian Robby kembali ke rumah dengan kondisi miskin. Ketenaran dan kekayaan telah lenyap.

Anak-anaknya senang bukan main, manakala ayahnya kembali pulang. Akan tetapi, istrinya yang tersakiti sulit menerima kenyataan ini. Disia-siakan selama 14 tahun tanpa diberi nafkah bukan hal kecil

Namun, Robby benar-benar berjanji akan menjadi ayah dan suami yang baik. Akhirnya, dengan tulus dan ikhlas, istrinya menerima kembali kehadiran Robby di dalam keluarganya. Ia rela memaafkan dan mengampuni segala kesalahan suaminya dan bersedia membangun kembali keluarga yang bahagia.

***

Pengalaman hidup orang-orang di atas dapat diambil hikmahnya. Secara tidak langsung, mereka memberi teladan bagaimana cara memaafkan sekaligus mengampuni (forgiveness).

Memaafkan memang membutuhkan sikap altruistik, sikap yang mengabaikan hati nurani sendiri dengan mengutamakan orang lain.

Orang-orang di atas melakukan dengan "tulus", tidak ada anjuran, tekanan, atau ancaman. Mereka dalam posisi "memaafkan" sebagai fenomena sosial dan psikologis, bukan permintaan maaf (apology).

Menurut psikolog Anne Enright, memaafkan merupakan pengambilan keputusan dan membutuhkan komitmen, setidaknya mampu melupakan atau meninggalkan masa lalu, berusaha untuk melihat masa depan, dan memilih untuk pemaafan.

Adapun psikolog Michael McCullough mengatakan, alasan seseorang mampu memaafkan yaitu tidak ada motivasi untuk membalas dendam, tidak menghindari pelaku, niat berdamai dengan tulus, mampu memulihkan hubungan pelaku.

Lain halnya menurut psikolog Lewis B Smedes dalam bukunya yang berjudul Forgive and Forget: Healing the Hearts We Don’t Deserve.

Ia menyebutkan, ada empat hal tentang memaafkan. Pertama, sakit hati harus ditepis agar tidak menggerogoti hati dan pikiran.

Kedua, kebencian yang dipelihara dan dipupuk akan mengganggu pikiran. Ketiga, menyembuhkan diri sendiri, kemampuan berdamai dengan diri sendiri. Keempat, berkomunikasi lagi dengan pelaku yang menyakiti.

Hal-hal yang dapat dipetik dari kisah orang-orang "mampu" memaafkan, yaitu:

1. Kisah nyata orang-orang ini membuktikan dengan sadar mau memaafkan dan mengampuni (forgiveness), berarti mampu melepaskan diri dari rasa amarah, benci, dan membalas dendam. Padahal, orang yang telah mengalami sakit hati, kepahitan, biasanya tidak mudah memaafkan apalagi mengampuni.

Walaupun ada teori mengatakan bahwa mengampuni tidak otomatis melupakan (forgive but not forget), tetapi apabila mampu memaafkan sudah sangat bagus. Jadi orang-orang ini sesungguhnya memang memiliki "karakteristik kepribadian" yang mudah memaafkan.

2. Orang-orang ini menyadari bahwa dengan memaafkan dan mengampuni segala sesuatu sudah dianggap selesai, tidak ingin menjadi beban pada diri sendiri.

Kesadaran untuk memaafkan timbul dari hati terdalam, sekalipun yang bersalah tidak meminta maaf. Tidak ada lagi "ketegangan psikologis" pada diri yang tersakiti.

3. Orang-orang ini memiliki kedekatan dengan Tuhan yang penuh kasih, adanya kesadaran agama yang dianutnya yang memerintahkan agar mau saling mengampuni sesama manusia.

Dengan kedalaman rohani yang dimiliki mereka bisa merefleksikan pada kehidupan nyata.

Religiusitas dan memberi maaf memiliki hubungan yang erat. Sebab, bagi korban, kalau ia mampu memaafkan berarti ia telah menjalankan perintah Tuhan agar bersedia saling mengampuni.

4. Rujuknya antara korban dan pelaku sebagai kelanjutan proses saling memaafkan dan mengampuni.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com