Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irwan Suhanda
Editor dan Penulis

Editor dan Penulis

Mengejek

Kompas.com - 05/04/2017, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Jangan bercanda dengan kekurangan orang lain, mungkin biasa saja bagimu, tetapi bisa sangat menyakitkan baginya. (Mario Teguh)

Ini sebuah kisah nyata yang bisa menjadi pelajaran buat kita semua. Di sebuah kota kecil di Jawa Barat, tersebutlah seorang remaja laki-laki penyandang cacat tunawicara alias bisu (bahasa Sunda disebut pireu).

Sebagaimana biasanya orang bisu, bicaranya gagap tak jelas. Berkomunikasi pun harus memakai bahasa isyarat jari tangan yang memiliki arti tertentu.

Sebutlah remaja laki-laki bisu ini mempunyai tetangga laki-laki yang lebih tua darinya. Hampir setiap hari mereka bertemu dan saling tegur sapa, bercanda.

Tetapi lama-kelamaan sikap bercanda berubah menjadi olok-olok, mengejek, seolah-olah hal yang lucu. Bahkan ejekan menjadi lebih parah dengan cara meniru dan memeragakan layaknya orang bisu bicara dengan nada yang tidak jelas. Bayangkan, mengejek dan mengolok-olok terjadi kapan saja apabila mereka bertemu!

Pada mulanya mungkin si bisu menerima ejekan ini sekadar bercanda, tapi bisa jadi lama-kelamaan dalam hati terdalam si bisu merasa sedih. Bisa jadi terhina hingga bertambah rendah diri.

Pernah amarahnya meledak karena terus-menerus diejek dan dipermainkan, tetapi orang-orang sekitarnya malah tertawa lebih keras manakala si bisu marah yang tampak lebih lucu!

Singkat cerita beberapa tahun kemudian, tetangganya yang suka mengejek ini menikah. Apa yang terjadi ketika tetangganya ini memiliki anak? Anaknya bisu! Persis seperti si bisu yang sering diejeknya!

Apakah ini yang disebut hukum karma? Sulit untuk mengatakan ya dan tidak. Apabila dikatakan ya, memang terbukti anaknya menjadi bisu seolah hukuman langsung dari Tuhan.

Apabila dikatakan tidak, buktinya anaknya bisu persis seperti si bisu yang sering diejeknya. Padahal selama ini keluarganya tidak ada yang bisu tuli. Tidak ada faktor keturunan. Atau hanya kebetulan saja? Sudah takdir, nasib? Sulit untuk berargumentasi.

Ada sebuah kisah lain tentang mengejek yang saya saksikan sendiri. Pada tahun 1975 di kota kecil di Jawa Barat, ada siswa kelas V sekolah dasar yang cacat kaki kanannya, lebih kecil dibanding kaki kiri. Jalannya jadi terpincang-pincang, teman sekelas biasa memanggil Si Pincang.

Kondisi anak itu membuat anak-anak lainnya tergoda untuk mengejek, mengolok-olok, mempermainkan. Bahkan ada sekelompok anak yang sangat keterlaluan kalau mengejek, sehingga Si Pincang emosi dan sangat marah. Mereka berkelahi di kelas. Bukan sekali dua kali, tetapi berkali-kali.

Akibat ejeken yang terus-menerus ditujukan kepada Si Pincang, maka perseteruan semakin memanas. Sepulang sekolah, tanpa diketahui guru kelas, mereka kerap berkelahi di lapang depan pabrik sabun, samping sekolah.

Ini bentuk perlawanan Si Pincang terhadap teman-teman sekelasnya yang keterlaluan mengejeknya. Si Pincang mempersenjatai diri dengan sabuk pinggang, bahkan rantai besi! Lawannya ada yang membawa bambu kecil, kayu, atau apa saja sebagai bentuk perlawanan.

Perkelahian sangat seru! Sedihnya, Si Pincang selalu dikeroyok teman-temannya, hingga berdarah-darah. Sebagian teman-teman lainnya menonton sambil bersorak dan menyeringai ngeri. Tetapi, perkelahian bubar kalau Pak Guru datang.

Lama-kelamaan Si Pincang tidak betah di sekolah, ia akhirnya mengundurkan diri dari sekolah itu karena tidak tahan dengan ejekan dan cemoohan yang diterimanya hampir setiap hari.

Mengejek, mencemooh, ngeledek, mengolok-olok, sepertinya merupakan hal sepele. Bisa dilontarkan sambil bercanda, tidak serius. Seolah-olah mengejek adalah sebagai kembang pergaulan sesama teman.

Tetapi sebenarnya hal ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Ternyata mengejek merupakan bagian dari bullying. Arti bullying (menggertak/menggencet/menindas) adalah tindakan sengaja seseorang kepada orang lain yang bersifat menyakiti hati secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama sehingga yang tersakiti hidup dalam kecemasan dan terintimidasi.

Menurut H Witdarmono (Kompas, 19 Juli 2016) yang mengutip kamus Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary (1991), kata bully berasal dari kata bahasa Belanda abad pertengahan, boele, yang artinya kekasih atau jantung hati.

Baru sekitar abad XVII, kata itu menjadi ungkapan untuk menggambarkan perilaku negatif yang dilakukan berkali-kali dan dalam jangka panjang oleh seorang yang merasa lebih kuat kepada orang lain yang dianggap lebih lemah.

Psikolog Barbara Coloroso (2007) menyebutkan ada tiga bentuk bullying:

1. Bullying fisik: menikam, menyikut, mencubit, memukul, menggigit, meludah, mendorong.
2. Bullying verbal: mengejek, mengolok-olok, menertawakan, mencemooh, menghina, memfitnah, mencela.
3. Bullying psikologis/relasional: mengucilkan, mengabaikan, cibiran, tidak diajak dalam kegiatan, dibiarkan sendirian.

Sebagai tambahan, kini ada cyberbullying, bentuk intimidasi melalui media sosial, dengan menggunakan media Facebook, WhatsApp, SMS, dan lainnya. Isinya bisa berupa ancaman, kata-kata kasar/kotor, bahkan mengirim gambar-gambar porno. Dan, masih banyak bentuk bullying lainnya yang tidak ditulis di sini.

Membaca dua kisah nyata Si Bisu dan Si Pincang di atas, maka ejekan yang ditimpakan kepada mereka sesungguhnya sudah termasuk "bullying secara verbal". Di dalamnya sudah mengandung unsur mengejek, mengolok-olok, menertawakan, mencemooh yang dilakukan secara sengaja dan terus-menerus yang bertujuan menyakiti walaupun terkesan bercanda.

Sedihnya, korbannya kali ini adalah kaum difabel, penyandang cacat fisik, bisu tuli dan pincang. Mereka mendapat perlakuan tidak layak secara verbal dan nonverbal. Verbal berupa ejekan, sedangkan nonverbal berupa kekerasan fisik.

Mereka yang mengejek Si Bisu dan Si Pincang hanya memandang sebagai hal yang lucu kala melihat orang cacat dibandingkan mereka yang normal. Sebaliknya, mereka tidak menyadari perbuatan mereka sudah menyakiti penyandang cacat. Atau bisa jadi posisi mereka sebagai si kuat berhadapan dengan si lemah, jadi bisa berbuat seenaknya.

Psikolog klinis Liza Marielly Djaprie yang dikutip dari Metrotvnews.com (2016) mengatakan bahwa ejekan atau bullying verbal tidak meninggalkan bekas luka, namun akibat yang ditimbulkan bisa mematikan.

"Verbal bullying tidak ada efek tapi mematikan, menikam. Berdasarkan penelitian, tingkat bunuh diri justru paling banyak justru disebabkan oleh verbal dan cyberbullying. Karena verbal bullying dapat membuat orang menjadi tidak percaya dan memandang rendah dirinya. Sehingga, korban merasa dirinya tidak berharga dan akhirnya bisa menyakiti diri sendiri bahkan bisa bunuh diri."

Berdasarkan data yang dihimpun Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) baru-baru ini yang dikutip dari Metrotvnews.com (2016), seseorang yang mendapat bullying di dunia maya yaitu dengan ejekan (52 persen), fitnah (30,3 persen), kejelekannya tersebar (9,6 persen), dan dikirimi materi porno (sekitar 3 persen).

Sebaliknya, para pelaku melakukan bullying karena iseng (49 persen), jengkel dengan korban (36 persen), balas dendam (7 persen), dan ikut-ikutan (4 persen).

Hingga saat ini, bullying terus terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pencegahannya semakin sulit karena bullying kini bermain juga di dunia maya.

Guna mencegah praktik bullying, yang diambil dari berbagai sumber, pertama, pengawasan guru di sekolah terhadap perilaku siswa terus dilakukan secara rutin. Di dalamnya tentang tata krama, empati, simpati, tanggung jawab, hukuman bila bersalah, saling menghargai teman, menghargai guru, termasuk penjaga sekolah.

Kedua, pengawasan orangtua pada anaknya sendiri yang meliputi memantau pergaulan anak, memperhatikan interaksi sosial media yang dilakukan anak. Orangtua pun harus menanamkan sifat religius anak, mengajarkan saling menghormati, toleran terhadap perbedaan, menanamkan rasa percaya diri, dan patuh terhadap orangtua.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com