Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/04/2017, 15:17 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

KOMPAS.com – Mendadak, pemberitaan soal ular piton marak. Kemunculan ular ini ke permukiman-permukiman warga bisa tiba-tiba selalu dapat lapak berita. Jadi berita utama pun niscaya.

Berita utama Kompas.com edisi Senin (10/4/2017) siang, misalnya, sempat memasang peristiwa ular piton sepanjang 7 meter yang masuk rumah warga.

Dulu, selama tak ada korban jiwa, peristiwa seperti ini paling banter jadi bahan obrolan di pos ronda, bukan? Selebihnya ya jadi kenangan seru-seru tegang dan pelancar obrolan saat peristiwa serupa terjadi kan, ya?

"Mendadak piton" di pemberitaan ini bermula dari peristiwa tragis di Mamuju Sulawesi Selatan, yaitu meninggalnya Akbar Ramli karena dimakan ular piton. Viral duluan di media sosial, kabar ini lalu jadi pemberitaan di media online sampai masuk radar pantauan media asing.

Padahal, ular piton memang sudah sejak dulu ada di Indonesia. Terlihat di sana-sini juga bukan kejadian langka. Bedanya, dulu tak banyak jadi berita. Dari penelusuran arsip harian Kompas sejak 1965, misalnya, tak selalu setiap tahun ada berita soal piton muncul.

Justru, terselip satu cerita pengalaman unik menangkap ular piton, sempat tayang pada edisi 10 Juni 1972. Salah satu bagian yang perlu disimpan sebagai pelajaran dari artikel berjudul “Menangkap Ular Piton di Seram” tersebut adalah mengenali ciri ular lagi tidur atau sedang menunggu mangsa.

Ular jang sedang tidur selamanja dalam keadaan begitu jaitu meletakkan badannja memandjang diatas tjabang2 pohon. Kalau ia menggulung badannja, itu tandanja lagi menunggu mangsanja. Karena itu bila engkau melihat ular jang sedang menggulung dirinja hendaklah segera lari.

Artikel Menangkap Ular Piton di Seram di harian Kompas edisi 10 Juni 1972Dok Kompas Artikel Menangkap Ular Piton di Seram di harian Kompas edisi 10 Juni 1972

Bagi para peneliti, ular juga malah dianggap binatang pemalu. Makhluk ini bakal ngibrit duluan kalau ketemu manusia kecuali bila merasa terancam.

(Baca juga: Kasus Piton di Sulawesi, Bagaimana Ceritanya Bisa Memangsa Petani?)

Meski begitu, piton dan semua jenis ular pemangsa diakui oportunis juga. Peneliti herpetologi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Mirza D Kusrini mengatakan, piton akan memangsa apa pun yang dijumpai, terutama saat kelaparan.

"Piton biasanya memangsa hewan seperti babi hutan dan rusa. Tapi, dalam kondisi tertentu, piton memang bisa memangsa manusia. Ada kasusnya tapi tidak banyak," kata Mirza, seperti dikutip Kompas.com, Rabu (29/3/2017).

Punya “desain” mulut tanpa rahang, ular bisa membuka lebar-lebar mulutnya untuk menelan mangsa. Kontraksi otot akan mengambil alih langkah berikutnya untuk memasukkan mangsa ke perut.

Di Indonesia, setidaknya dikenal 13 jenis piton. O,iya, ada juga yang menyebutnya sanca.

(Baca juga: 13 Jenis Piton Indonesia yang Harus Anda Ketahui Keberadaannya)

KOMPAS.com/MAULANA 13 Jenis Ular Piton di Indonesia

Saat alam masih menjadi tempat hidup bersama bagi segala makhluk, semua akan baik-baik saja. Soal pintar-pintar mengenali perilaku dan kebutuhan masing-masing.

Ya kalau manusia jalan enggak lihat-lihat lalu menginjak ular, misalnya, masa ular-nya enggak boleh mempertahankan diri?

Namun, saat salah satu sudah mendominasi, entah hewan atau manusia, cerita bisa berbeda. Tempat hidup dan makanan sudah tak lagi terpenuhi secara natural. Di sinilah berita-berita soal kemunculan piton bakal makin sering terjadi.

Kasus ini sebenarnya tak jauh beda dengan kemunculan harimau ke perkampungan di Sumatera, atau serbuan orangutan ke area rumah warga di Kalimantan. Buat hewan, insting adalah yang terdepan, apalagi kalau urusannya makan.

(Simak juga: Visual Interaktif Kompas "Derita Penjaga Rimba-Kisah Tragis Orangutan di Kalimantan)

Dari rangkaian peristiwa mendadak piton ini, apa tantangan dan kebutuhan solusinya?

Apapun makhluk hidup yang pernah terdaftar menjadi penghuni Bumi, semua tak terpisah dari namanya “rantai makanan”. Ini urutan makan-dimakan-memakan—yang dulu sih diajarkan di sekolah dasar, semoga sekarang masih begitu.

Mau kutu, lebah, serangga, lalat, tikus, kecoa, apalagi sapi dan manusia, semua tak begitu saja terpisah tanpa terkait urusan makan-dimakan-memakan ini. Ular pun demikian. Bahwa hubungannya tak langsung tersaji di piring, itu beda cerita.

Poinnya, solusi yang dihadirkan tentu saja tak bisa sekadar “musnahkan” hewan-hewan yang dianggap mengerikan dan berbahaya itu. Satu makhluk hilang, akan ada kelebihan populasi makhluk lain yang bisa jadi gangguan buat keseimbangan alam.

Lagi pula, hewan dan manusia juga punya kaitan dengan tumbuhan, sumber makanan lain buat manusia. Hubungannya lagi-lagi timbal balik juga.

Bisa jadi ya, apa pun peristiwa yang terjadi terkait makhluk selain manusia ya tidak lebih dan tidak kurang karena perbuatan manusia. Bagi hewan, insting hanya sesuai kebutuhan dan keadaan. Namun, buat manusia, upaya yang dilakukan sering kali melebihi yang diperlukan.

Siapa manusia yang melakukan apa, bisa panjang pembahasannya. Namun, segala hal dimulai dari diri sendiri dan semua yang ada dalam jangkauan dulu, bukan?

Menambah pengetahuan soal alam dan memperbanyak wawasan untuk meminimalkan kejadian terkait alam, barangkali bisa jadi langkah awal.

Jangan tunggu lagi ada peristiwa “mendadak semut” ya....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com