KOMPAS.com – Ini pasti “salah” Dian Sastro! Apa lagi coba alasannya kalau bukan gara-gara Dian, pada tahun ini nama Kartini tak cuma disebut sambil lalu dalam peringatan tahunannya?
Lagi-lagi sepertinya Dian bikin “perkara”.
Mulai terkenal pada 2002 dengan film Ada Apa dengan Cinta?, Dian waktu itu bikin geger dan membuat sinema Indonesia menggeliat lagi. Cerita romansa remaja itu menyambung percik bara semangat dari film Petualangan Sherina yang produsernya sama.
Sekuel film Ada Apa dengan Cinta? pada 2016, juga sudah bikin “perkara”. Sempat dianggap cuma bakal jadi ajang nostalgia buat generasi Cinta zaman SMA, film ini tak dinyana telah mengangkat lokasi-lokasi pengambilan gambarnya jadi magnet baru wisata Yogyakarta.
Karenanya, keriuhan peringatan Hari Kartini pada 2017 yang terasa beda, pasti gara-gara Dian lagi. Iya, karena kali ini dia jadi bintang utama di film Kartini. Bahasan soal Kartini di dunia maya dan media massa pun lalu meluber kemana-mana.
Topik bahasan meluas dari pemberdayaan perempuan, proses pencerahan dalam menjalankan keyakinan yang belakangan ternyata jadi judul buku kumpulan surat-suratnya, literasi, sampai cerita lebih mendalam soal kiprah saudara-saudaranya.
Gara-gara Dian juga, sosok Kartini “berubah”, dari gambar hitam-putih perempuan berkebaya dengan hidung pesek di buku-buku pelajaran sekolah menjadi sosok perempuan Jawa yang segar, usil, lugas, tetapi jelas cerdas.
(Baca juga: Hanung Bramantyo Berusaha Dekatkan Dian Sastrowardoyo dengan Sosok Kartini)
Bagi Dian, peran Kartini ibarat jodoh sekaligus tantangan. Dia sampai mengibaratkan proses mengenali karakter Kartini ini laiknya proses membuat skripsi.
Tak hanya membaca sejumlah naskah dan buku terkait Kartini, termasuk yang tak beredar di Indonesia, Dian pun harus fasih menggunakan bahasa Belanda dalam dialog panjang di adegan film ini.
Bukan semata soal emansipasi
Dari nuansa yang lebih terasa beda pada peringatan Hari Kartini tahun ini, banyak orang sontak seolah otomatis tergerak mengulik lebih dalam tentang cerita panjang pemberdayaan perempuan di Indonesia.
Muncul lagi, misalnya, kisah Kardinah, si adik bungsu Kartini. Cerita soal Kardinah yang lumayan tertepikan dari sejarah, terasa kembali menemukan proporsi yang tepat dalam dialektika para netizen dan awam.
Menjadi menarik, ketika muncul pula di tengah keriuhan pembahasan soal film Kartini dan cerita keluarganya, saran untuk penyebutan peringatan itu sebaiknya berubah menjadi “Hari Literasi”.
Bakal rancu dengan Hari Buku Nasional yang dirayakan setiap 23 April sih memang, sanggahan yang paling cepat muncul.
Namun, ajaran Kartini memang tak terpisahkan dengan literasi. Pengkhususannya hanya ada pada target yang dibidik, yaitu kaum perempuan.
Tentu saja, latar di balik sasaran “ajaran” Kartini tak terlepas dari kultur sosial di lokasi Kartini bersaudara tumbuh dan tinggal, pada masa itu. Kutipan berikut ini, merupakan salah satu yang menjaga konteks situasi pada masa Kartini hidup.
“Apakah gunanya memaksa orang laki-laki menyimpan uang, apabila perempuan yang memegang rumah tangga tiada tahu akan harga uang itu!" ujar Kartini seperti dikutip dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Kutipan di atas merupakan salah satu cara Kartini bicara pentingnya pendidikan bagi perempuan. Buat dia, pendidikan tinggi buat perempuan bukan semata menghadirkan sederet wanita karier di jabatan penting.
Meski tak terucap eksplisit, Kartini menegaskan bahwa di tangan perempuanlah banyak hal terkait penghuni rumah akan ditentukan, sekalipun penghasilan utama tetap berasal dari lelaki yang jadi suami dan tulang punggung keluarga.
(Baca juga: Menjadi Ibu Tangguh Ala Dian Sastrowardoyo)
“Bilamana pemerintah sungguh-sungguh mau membudayakan rakyat, maka baik pendidikan ilmu pengetahuan maupun pendidikan budi pekerti harus dikerjakan bersama-sama. Untuk yang terakhir ini, siapakah yang lebih mampu meningkatkan budi pekerti dibandingkan kaum perempuan, kaum ibu? Di pangkuan ibulah orang mendapat pendidikan yang pertama. Di situ anak untuk pertama kali belajar merasakan, berfikir, dan bicara. Pendidikan yang paling awal itu besar artinya bagi seluruh hidupnya. ~ Surat Kartini kepada Nyonya Ovink-Soer, dikutip dari buku “Kartini, Sebuah Biografi”, 1977, hal: 206.
(Baca juga: Saat Kartini Menuntut Pendidikan Perempuan Minimal hingga Kejuruan)
Kesetaraan yang didorong Kartini bersaudara juga bukan berarti menafikan kehadiran laki-laki dalam kehidupan perempuan.
Sebut saja sosok dan peran Sosrokartono, kakak Kartini, cukup kuat muncul di film Kartini, termasuk salah satu fondasi polah dan kiprah Trinil atau Nil, panggilan keluarga untuk Kartini.
(Baca juga: Para Pria di Sekitar Kehidupan Kartini)
Satu lagi, dari semua kisah seputar Kartini yang kerap terlewat oleh banyak orang adalah kaitan empat bersaudara di Rembang ini dengan figur-figur pendidikan nasional, antara lain Ki Hajar Dewantoro dan Dewi Sartika.
Membahas pemberdayaan perempuan dan literasi, pembahasan seputar Kartini pun akan memunculkan lagi nama lain seperti Rohana Kudus. Kiprahnya tak kalah hebat soal literasi dan emansipasi, bergerak dari Minangkabau.
Halaman selanjutnya: Fakta hari ini...
Fakta hari ini
Setelah 113 tahun Kartini wafat, sejauh apa kiprah orang-orang yang menggalakkan literasi dan emansipasi perempuan itu memberikan hasil?
Hari ini, perempuan dalam pingitan sudah susah ditemui, memang. Namun, bukan berarti kesetaraan dan pemberdayaan perempuan sudah sampai ke era keemasan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, misalnya, masih menyebut tingginya angka kematian ibu, saat menghadiri peringatan Hari Kartini pada tahun ini di Sumatera Barat.
Angka ini berada di peringkat ketiga paling buruk di negara anggota ASEAN, walaupun Indonesia memiiki angka pertumbuhan ekonomi tertinggi di ASEAN.
Data tersebut bak pengingat getir bahwa Kartini pun meninggal karena pendarahan selepas melahirkan, lebih dari 100 tahun lalu.
(Baca juga: Kartini dan Tantangan Menekan Angka Kematian Ibu)
Lalu, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mendapati 65 persen perempuan Indonesia bahkan belum menikmati pendidikan sampai tamat SMP. Itu kenapa, kata dia, banyak perempuan yang kalaupun bekerja akhirnya masuk kategori non-terdidik.
“Jadi kita memang harus lakukan akselerasi untuk menyapa perempuan-perempuan terutama di pedesaan, daerah terpencil, pegunungan, perbatasan dan pulau terluar," kata Khofifah, di Rembang, Jumat (21/4/2017).
(Baca juga: Makna Hari Kartini bagi Khofifah Indar Parawansa)
Karenanya, membahas topik Kartini sampai luber ke mana pun itu jangan hanya berhenti pada sejumlah sosok perempuan Indonesia sekarang sudah menjadi figur influencer di media massa bahkan jadi pengambil kebijakan negara.
Sebaliknya, emansipasi dan pemberdayaan perempuan pun bukan berarti para perempuan malah enggak tahu apa-apa soal pekerjaan rumah tangga dan maunya jadi pekerja kantoran pakai sepatu berhak tinggi saja, kan?
Tak perlu pula menunggu penyebutan nama “Hari Kartini” diributkan lagi biar jadi “Hari Pendidikan Perempuan”, misalnya, bukan?
Atau mungkin, kita minta Dian Sastro bikin “salah” lagi saja, buat memunculkan kabar baik dan perbaikan dalam dinamika kebangsaan? Menarik juga....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.