Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demi Dokter Merata Se-Indonesia...

Kompas.com - 27/04/2017, 10:01 WIB
Auzi Amazia Domasti

Penulis


KOMPAS.com
 - Sejak 2016, Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung membebaskan biaya kuliah pendidikan kedokteran bagi mahasiswa baru. Sejak itu pun, bayangan mahal akan biaya kuliah kedokteran seakan tak perlu dikhawatirkan.

Meski demikian, tak berarti jalan masuk program kuliah kedokteran di kampus itu mudah. Ada syarat dan perjanjian yang harus dipenuhi calon mahasiswa bila ingin mengenyam program studi sarjana pendidikan dokter dan pendidikan dokter spesialis di sana.

Semua mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Unpad harus bersedia ditempatkan di daerah mana pun di wilayah Jawa Barat begitu lulus.

Dikutip melalui Kompas.com, Selasa (21/01/2016) jika tidak memenuhi kesepakatan tersebut, ijazah tidak akan diberikan. Kesepakatan antara mahasiswa dan universitas pun dituangkan dalam perjanjian.

Pada dasarnya, program tersebut diadakan karena sejumlah daerah di Jawa Barat mengalami kekurangan tenaga medis khusus dokter.

Maka dari itu, pemerintah daerah bekerja sama dengan Unpad dalam penyediaan dokter. Akhirnya, semua biaya kuliah pun ditanggung Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Thinkstockphotos Ilustrasi

"Lama mengabdi  akan disamakan dengan berapa tahun masa kuliah (mahasiswa). Jadi, kalau kuliah 5 tahun, dia harus mengabdi selama 5 tahun," ujar Koordinator Seleksi Masuk Unpad, Denie Heriadi dalam konferensi pers Seminar Pendidikan BTA Group, dilansir dari Kantor Berita Antara, Minggu (21/02/2016).

Program serupa

Di Kalimantan Barat (Kalbar) ada program serupa. Hanya saja, kuota mahasiswa yang dibiayai belum banyak.

Setiap kabupaten dan kota di provinsi tersebut membiayai kuliah tiga mahasiswa asal daerahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura (Untan), Pontianak. Total akumulasi biayanya sebesar Rp 1 miliar.

Sama dengan prosedur yang diberlakukan Unpad, di sana ada pula perjanjian antara mahasiswa dan pemerintah kabupaten dan kota asalnya.

Mereka harus mengabdi di daerah asal untuk periode tertentu. ”Kontrak kerja tergantung pemerintah daerah. Ada yang N+1, ada 2N+1,” kata Raynaldo Pinem, mahasiswa FK Untan angkatan 2012 asal Kabupaten Bengkayang, dikutip dari Harian Kompas, Kamis (12/05/2016).

Dengan formula N+1, misalnya, seseorang menyelesaikan pendidikan kedokteran 5 tahun. Kemudian, ia wajib mengabdi di daerahnya selama 6 tahun. Sebagai penerima beasiswa daerah, Raynaldo mendapat dana Rp 10 juta per tahun untuk kebutuhan kuliah.

“Dengan beasiswa daerah, diharapkan dokter asli daerah mau mengabdi hingga ke wilayah perbatasan Kalbar dan Malaysia,” ujar Rektor Untan Prof Thamrin Usman.

Pemerataan doker

Sampai saat ini, tenaga dokter di sebagian daerah di Indonesia kerap menjadi permasalahan.

”Bukan jumlah dokter kurang, melainkan sebaran yang tidak merata,” kata Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan Usman Sumantri, dilansir dari Kompas.com, Selasa (10/05/2016).

Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per 9 Mei 2016, jumlah dokter di Indonesia ada 110.720 orang. Jumlah itu dimaknai satu dokter melayani 2.270 penduduk.

Rasio dokter Indonesia ini sebenarnya sudah melampaui target 1 dokter berbanding 2.500 penduduk. Sayangnya, tenaga dokter umumnya terkumpul di kota besar dan provinsi tertentu.

Sebagai perbandingan, DKI Jakarta memiliki rasio satu dokter menangani 608 penduduk. Jumlah ini timpang bila melihat Sulawesi Barat yang rasio satu dokter mengurusi 10.417 penduduk.

Walaupun begitu, rasio satu dokter untuk 2.500 penduduk tak bisa diterapkan secara merata. Di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, rasio dokter belum terpenuhi akibat jumlah penduduk kebanyakan. Di Indonesia timur, misalnya, standar tersebut sulit diterapkan akibat wilayah luas, medan sulit, dan penduduk terpencar.

Salah satu kejadian terkait pentingnya dokter di daerah terpencil dialami dokter Lie Augustinus Dharmawan dan timnya pada bulan Maret 2009 di Pulau Kei Kecil, Maluku Tenggara.

Ada seorang ibu yang datang dengan anak perempuannya yang berusia 9 tahun. Anak itu mengerang kesakitan akibat ususnya terjepit.

Ternyata, demi mencapai posko pengobatan,  warga dari Saumalaki itu butuh waktu 3 malam 2 hari dengan naik kapal.

Melansir wawancara bersama dokter Lie di Rumah Sakit Husada, Jakarta, dari Kompas.com, Senin (17/08/2015) perjuangan mereka untuk bisa mendapat pelayanan kesehatan tak sekadar perjalanan yang jauh, tapi juga ongkos besar harus dikeluarkan.

Ibu dan anak perempuannya itu juga harus mencari uang terlebih dahulu untuk bisa menyewa kapal dan membeli bahan bakar minyak.

Kini, Lie sudah mendirikan rumah sakit apung. Lalu, bersama Lisa Suroso, ia membangun pula doctorSHARE atau Yayasan Dokter Peduli yang kegiatannya mengadaptasi sistem “jemput bola” atau mendatangi pasien dengan menggunakan rumah sakit apung karena keterbatasan akses dan infrastruktur kesehatan di daerah terpencil.

Semua tenaga medis yang sudah tergabung dalam yayasan tersebut turut membantu pengobatan gratis di daerah kepulauan, terpencil atau pedalaman. Adaoun pembiayaannya berasal dari donasi masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com