Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irwan Suhanda
Editor dan Penulis

Editor dan Penulis

Menyindir

Kompas.com - 15/05/2017, 07:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAna Shofiana Syatiri

Ketika saya masih duduk di bangku SMP, pernah menyaksikan tetangga ribut besar dengan tetangga seberang rumahnya gara-gara "sindiran". Saya tidak tahu persis apa dan bagaimana bentuk sindiran tersebut, tetapi yang pasti, pertengkaran  antara dua ibu rumah tangga ini begitu sengit. Kata-kata yang penuh makian meluncur dengan deras, kemudian dibalas lagi dengan makian yang lebih kasar.

Pertengkaran yang semula hanya dilakoni dua ibu rumah tangga, kini suaminya ikut campur membela masing-masing istrinya. "Pertempuran" makin menghebat. Tetangga lainnya hanya bisa menonton tanpa bisa melerai. Barulah ketika Pak RT datang, semua bisa diatasi. Pertengkaran besar ini gara-gara hal sepele, yaitu "menyindir".

Seorang teman yang bekerja di luar kota Jakarta, pernah bercerita bahwa pimpinannya memiliki hobi menyindir anak buahnya. Kalau berbicara dalam rapat atau keseharian di kantor, pimpinannya sangat pandai mengeluarkan kata-kata sindiran.

Misalnya, pimpinannya melihat anak buahnya pakai kaos tak berkerah ke kantor, timbul sindiran, "Berangkat ke kantor dan ke pasar sama ya?" Anak buahnya yang mendengar sudah mahfum makna sindirannya. Atau kalau pas rapat melihat anak buahnya belum juga menyelesaikan pekerjaannya, timbul sindiran, "Yaa, perusahaan milik sendiri sih..."

Gaya bahasa

Seseorang dalam berbicara atau menyindir biasanya memiliki gaya sendiri. Dalam tata bahasa, ada yang dinamakan  majas atau gaya bahasa, artinya bahasa kiasan atau perumpamaan. Gaya bahasa  ini  digunakan pada sebuah kalimat lisan atau tertulis yang ditujukan kepada seseorang agar timbul perasaan tertentu pada orang tersebut.

Jadi, melalui bahasa, seseorang bisa mengungkapkan perasaan batin berupa kata dan kalimat. Bisa saja saat mengungkapkannya dalam suasana marah, benci, jengkel, senang, sedih, kecewa, dsb. Suasana hati seperti ini bisa dilukiskan melalui sindiran.

Seorang ahli linguistik Gorys Keraf dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa (1984) mengatakan bahwa majas atau gaya bahasa merupakan cara khas seseorang dalam mengungkapkan pikirannya melalui bahasa. Pengungkapan secara khas ini sesungguhnya menunjukkan jiwa dan kepribadian orang tersebut.

Apabila orang tersebut bertutur dengan bahasa yang sopan, maka orang berkesimpulan bahwa orang ini punya etika. Sebaliknya, kalau orang tersebut mengeluarkan kata-kata yang kasar, orang bisa berkesimpulan orang ini tidak punya etika.

Gorys Keraf membagi majas sindiran dalam tiga bentuk:

1) Ironi, majas sindiran yang sifatnya bertentangan antara yang diucapkan dengan kenyataan. Misalnya, memuji-muji, padahal dalam hati mengumpat.

Majas ironi akan tampak berhasil mencapai sasaran apabila orang yang disindir paham maksud sindiran tersebut.

Contoh: Kalau menyanyi suaramu bagus ya, kayak kaleng rombeng!

2) Sinisme, majas sindiran yang sifatnya mengejek, mengolok-olok secara langsung. Bahkan bisa berkesan menghina. Dibandingkan dengan majas ironi, majas sinisme lebih keras. Tetapi terkadang sulit membedakan antara keduanya.

Contoh: Kamu orang jujur, tak sepantasnya korupsi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com