Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ahmad Rizali
Pemerhati pendidikan

Pemerhati pendidikan, Kabid Pendidikan NU Circle, dan Presidium Gernas Tastaka

Seriuslah Terhadap Pendidikan...

Kompas.com - 21/06/2017, 04:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

KOMPAS.com - Sudah hampir setahun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Efendi menggantikan Mendikbud Anies Baswedan. Selama periode yang dijalani, berbagai program Mendikbud Anies dia teruskan dan perbaiki.

Sebutlah Kartu Indonesia Pintar (KIP) semakin lancar dan pendidikan karakter yang sudah dimulai di zaman Mendikbud Anies dikembangkan.

Bahkan, di awal masa menjabat, Muhadjir berupaya menuntaskan upaya Anies mengurusi Ujian Nasional (UN) hingga lepas dari syarat kelulusan menjadi sama sekali dihapuskan.

Mungkin, karena latar belakang Muhadjir adalah pakar dalam pendidikan anak usia dini, beliau melihat tidak tepatnya UN dilaksanakan di Indonesia saat ini.

Namun, alih alih mendukung gagasan Mendikbud, Presiden RI yang dalam janji kampanyenya akan menghentikan UN, justru menganulir gagasan yang sudah gagah berani disampaikan ke publik sehingga memperoleh dukungan dari berbagai kelompok masyarakat.

Mendikbud yakin gagasannya akan didukung, karena pekerjaan Menteri adalah membantu Presiden melaksanakan apa yang dijanjikan. Tetapi, nasib pembantu Presiden, hak prerogatif ditangan yang dibantu, gagasan Mendikbud dianulir Istana.

Mendikbud akhirnya fokus bekerja merujuk kepada yang diamanatkan Presiden ketika ditunjuk menggantikan Mendikbud Anies, seperti memusatkan pekerjaan ke program KIP dan Pendidikan Karakter dan dari sinilah muncul gagasan Full Day School (FDS).

FDS adalah sebuah gagasan yang mensinergikan semua anasir praktik pendidikan yang memungkinkan karakter murid dididik dalam kerangka besar pendidikan formal itu sendiri.

Sekolah yang beroperasi 5 (lima) hari sepekan dan di lain tempat 6 (enam) hari sepekan, diformalkan menjadi 5 (lima) hari sepekan dalam sebuah aturan formal Peraturan Mendikbud Tentang Hari Sekolah. Formalisasi gagasan ini memperoleh persetujuan Presiden dalam rapat terbatas, sehingga terbitlah Permendikbud tersebut.

M LATIEF/KOMPAS.com Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Menuai kecaman

Ternyata, mungkin Mendikbud kurang tepat menyosialisasikan gagasan tersebut ke publik, terutama kepada sekolah agama (Diniyah) yang jam belajarnya usai sekolah formal. Bahkan, tidak sedikit pihak yang mengecam Mendikbud akan menghancurkan Madrasah Diniyah (Madin) terutama dari kalangan NU sebagai pihak paling banyak menyelenggarakan pendidikan jenis ini.

Saking seriusnya, PBNU mengeluarkan Surat Penolakan resmi yang ditandatangani Ketua dan Sekjen PBNU. Ini berbeda dengan kondisi Pilgub DKI Jakarta yang terlihat agak pecah.

Dalam urusan FDS ini NU solid menolak. Meskipun dalam beberapa kejadian, Rois Aam NU, KH Makruf Amin sebagai ketua MUI mendukung FDS.

Polemik FDS atau Sekolah 5 (lima) Hari ini berpuncak pada dipanggilnya KH Maruf Amin sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mendikbud Muhadjir bahkan menghadap Presiden dan menggelar konferensi pers yang menyatakan bahwa Permendikbud tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang berisi gagasan Sekolah 5 (lima) Hari dianulir Presiden.

Jika pada kasus UN, gagasan yang belum formal dianulir, sekarang otoritas formal Mendikbud dalam bentuk Permendikbud yang dianulir Presiden dan pengumuman itu disampaikan oleh KH Makruf Amin, bukan oleh Mendikbud sebagai pemilik otoritas.

Sebagai mantan praktisi pendidikan dan pernah mengenyam lingkungan Kemdikbud, saya termasuk yang kurang setuju gagasan Sekolah 5 (lima) Hari tersebut diformalkan dalam bentuk Permen. Karena, fakta di lapangan semua sudah terjadi secara alamiyah.

Daerah yang siap sudah menjalankan bertahun-tahun dan yang belum tetap 6 (enam) hari sepekan, keduanya tetap menjalankan pagu waktu belajar yang ditetapkan Mendikbud untuk semua jenjang pendidikan perpekan. Madrasah diniyah juga tidak merasa terusik karena sudah menempatkan diri secara alamiyah.

Jika berniat memberi ruang yang lebih untuk penguatan karakter murid, Kemdikbud seharusnya cukup memfasilitasi praktek yang sudah terjadi, misalnya dengan membuat SKB (Surat Keputusan Bersama) dengan Kementerian Agama agar Madin dan pendidikan sejenis ikut menguatkan karakter murid.

Kemdikbud juga wajib mendorong Dirjen PAUD Pendidikan Masyarakat (Dikmas) Kemdikbud untuk memperkuat program Dikmas agar menopang persekolahan dengan memperhatikan keunikan daerah.

M LATIEF/KOMPAS.com Sekolah Dasar Negeri.
"Shortermisme"

Tetapi, ternyata Presiden berfikir dan bertindak lain. Meskipun isi Permendikbud tersebut formal, tetapi sangat akomodatif dan tidak menafikan Madin dan jenis pendidikan non-formal dan informal lain, dianggap perlu tidak dilaksanakan sehingga memerlukan peraturan Perundangan lebih tinggi, Peraturan Presiden (Perpres). Otoritas formal Mendikbud dalam kasus ini dianulir.

Tentu, tulisan ini tidak ingin menyorot kelemahan Kemdikbud dalam menyosialisasikan gagasannya kepada multi-pemangku kepentingan, terutama influencers pribadi dan kelompok ormas yang langsung terdampak, karena memang terlihat lemah dibanding pelaksanaan gagasan Kemdikbud sebelumnya tentang Pelaksanaan UN dan Pelepasan UN, sebagai syarat kelulusan.

Tulisan ini ingin khusus menyoroti cara Presiden mengelola Kemdikbud. Cara Presiden menganulir gagasan Kemdikbud ketika akan meniadakan UN mungkin masih bisa dianggap benar, meski seharusnya bisa lebih elegan daripada cara itu sehingga Kemdikbud tetap dipercaya publik.

Tetapi, cara Presiden menganulir otoritas Mendikbud yang sudah tertuang dalam bentuk Permen yang sudah diputuskan disetujui dalam rapat terbatas dan disampaikan oleh pihak lain, rasanya kurang bijak.

Membentuk persepsi publik sikap "shortemisme" dalam mengelola Pendidikan sehingga menumbuhkan kebingungan Sekolah yang harus memulai ajaran baru di pertengahan Juli 2017 dan sudah tentu ketidakpercayaan publik kepada kebijakan Kemdikbud.

Di media sosial grup Pendidikan, tidak sedikit yang mengatakan jika mereka menjadi Mendikbud, tidak ada tindakan terbaik kecuali menyerahkan amanah kepada Presiden. Karena, meski Menteri adalah jabatan politis dan bebas melakukan kebijakan strategis, tetapi saat ini Kemdikbud hanya diperlakukan seperti Unit Pelaksana Teknis (UPT) saja.

Seharusnya Presiden mendukung Permendikbud tersebut berjalan setidaknya dalam 2 (dua) semester dan bersikap setelah melakukan kajian pelaksanaan, sehingga saat memutuskan menganulir Permendikbud, bisa dilakukan oleh Kemdikbud sendiri berdasar nasehat Presiden yang merujuk kajian selama periode tersebut.

Jika hasil pelaksanaan Permendikbud terbukti bagus, maka perlu diapresiasi dengan memperkuat melalui Peraturan Presiden.

Ujaran Jawa pernah mengatakan "menang tanpa ngasorake". Falsafah ini mengandung arti, kepada musuh pun seseorang pantang merendahkan, apalagi tentu kepada bawahannya.

Mohon maaf, saya melihat dalam menganulir gagasan yang sudah menjadi formal ini, Presiden kurang bijak dan cenderung tergesa-gesa meskipun mungkin gagasan tersebut dianggap salah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com