Bersyukurlah Menjadi Perempuan Indonesia...

Kompas.com - 11/07/2017, 14:32 WIB

KOMPAS.com - Beruntunglah menjadi perempuan Indonesia, yang setidaknya masih punya hak istimewa. Mengapa pantas disebut istimewa? Karena di belahan dunia lainnya, hak ini tidak dapat dinikmati perempuan lainnya.

Setidaknya, itulah benang merah bisa diambil dari kisah dalam novel The Pearl That Broke Its Shell karya Nadia Hashimi yang diterbitkan oleh Bhuana Sastra (imprint penerbit Bhuana Ilmu Populer, 2017).

Berlatar kota Kabul, Afganistan, pada 2007, novel ini bercerita tentang kehidupan perempuan di negara yang menjunjung tinggi patriarki. Hak Rahima dan keempat saudarinya sangat dibatasi, mulai hak untuk sekolah, ke pasar, atau sekadar main kelereng di kompleks permukimannya.

"Ia menjadi orang yang berani bertindak. Ia menjadi orang yang menunjukkan kepada semua orang di sekelilingnya bahwa ia menerima siksaan mereka."

Bacha Posh

Dengan situasi ayahnya, seorang eks militer yang kecanduan opium dan menghabiskan sisa hidupnya bersantai-santai di sofa, Rahima harus menjadi seorang bacha posh, yakni tradisi para keluarga di Afganistan yang tidak memiliki putra, dengan mengubah penampilan anak perempuannya menjadi anak laki-laki untuk sementara hingga akil balig.

Sebagai seorang bacha posh, Rahima berganti nama menjadi Rahim. Dia juga bisa bersekolah seperti anak laki-laki Afgan pada umumnya.

Memang, setiap keluarga yang tidak memiliki keturunan laki-laki otomatis menjadi aib bagi sang istri. Alasan inilah salah satu pemicu poligini di Afganistan, yaitu dengan memperistri wanita yang bisa memberikan seorang putra sebagai warisnya.

Namun, ketika keluarga tersebut hanya berisikan anak gadis seperti keluarga Rahima, satu-satunya takdir bagi mereka adalah dinikahi, entah sebagai istri pertama, kedua, ketiga, atau keempat.

"Perasaan itu berawal manis dan berakhir dengan getir, saat ia menyadari bahwa ia berdiri di atas abu dari masa penuh kebahagiaan yang hanya berlangsung singkat."

Rahima lalu muak dengan situasi ini. Dengan tekad untuk mengubah takdirnya, ia terinspirasi dari nenek buyutnya, Shekiba, yang juga pernah menjadi seorang bacha posh dengan nama Shekib.

Ya, Shekib terpaksa menjalani kehidupannya sebagai laki-laki karena harus bertahan hidup seorang diri, tanpa orangtua dan adik-adiknya yang sudah meninggal. Shekiba berjuang dari kemalangan bertubi-tubi demi membangun kehidupannya yang baru.

"Aku bertanya-tanya apakah itu akan membuat perbedaan. Apakah satu perbedaan kecil dalam rangkaian kejadian akan mengubah jalan yang kami ambil."

Potret kesadaran

Penulis novel ini adalah Nadia Hashimi, seorang perempuan Afganistan yang lahir dan menetap di Amerika setelah orangtuanya meninggalkan Afganistan pada 1970-an sebelum invasi Soviet.

Dalam novel international best seller ini Nadia berhasil membawa potret kehidupan Afganistan kepada pembaca, terutama kaum perempuan, yaitu potret yang menggugah kesadaran akan eksistensi perempuan di dunia ini.

Khaled Hosseini, penulis novel The Kite Runner (2003) bahkan tak segan memberi testimoni di buku ini; "Sebuah kisah keluarga yang lembut dan indah. Nadia Hasimi selalu membuat cerita multigenerasi yang menarik sebagai potret Afganistan dengan segala kekacauan dan teka-tekinya, serta menjadi cermin perjuangan wanita Afganistan yang masih terjadi."

"Kurasa... seseorang harus bertindak di luar kebiasaan. Harus mengambil kesempatan jika sangat menginginkan sesuatu."

Tidaklah mengherankan bila novel ini mendapatkan penghargaan sebagai 'Goodreads Choice Award Nominee for Fiction of 2014' dan 'Goodreads Choice Award Nominee for Debut Goodreads Author of 2014'.

Membaca The Pearl That Broke Its Shell ini sepatutnya membuat kaum perempuan Indonesia bersyukur bahwa R.A Kartini, Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Dewi Sartika, dan para pejuang wanita lainnya lahir di Indonesia dan lebih dahulu ada ketimbang mereka. Melalui mereka, perempuan-perempuan Indonesia bisa berani bermimpi menjadi Wonder Woman milenial.

Membaca buku ini bisa membuat perempuan Indonesia tersadar, bahwa semangat Kartini para perempuan Indonesia tidak hanya bertahan satu hari saja, yaitu di Hari Kartini atau 21 April, dan kemudian pudar di 364 hari lainnya.

Hak perempuan Indonesia adalah sederajat dengan pria, yang tidak hanya pada 21 April, tetapi sepanjang tahun. Itu bukanlah hak biasa, melainkan hak istimewa.

(SHARA YOSEVINA/PENERBIT BHUANA ILMU POPULER)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau