Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/08/2017, 07:11 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


JENGAH
dengan polah tingkah sejumlah oknum politisi dan partai politik pada hari ini? Mulai kepikiran mempertanyakan guna keberadaan partai politik?

Masih perlukah ada partai politik? Apakah partai politik sekadar “kendaraan” untuk menuju tampuk kekuasaan atau—amit-amit—kongkalikong korupsi dan kolusi? Atau, seperti apa seharusnya partai politik yang ideal?

Soekarno, yang pada 1933 baru “berstatus” aktivis politik dan belum jadi Presiden Indonesia, bisa jadi punya kegelisahan serupa dan lalu mengutarakan sederet pertanyaan yang sama. Pada tahun itu, dia menulis artikel “Gunanya Ada Partai”.

Situasi saat tulisan itu ditulis memang pra-kemerdekaan dan pergerakan berhadapan dengan penguasa kolonial. Namun, persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, atau masalah ketidakadilan, jelas juga ada seperti saat ini.

“... Kita bergerak tidak karena ‘ideal’ saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup tempo pendidikan, ingin cukup meminum seni dan kultur, pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagian dan cabang-cabangnya,” tulis Soekarno di awal artikelnya.

Menurut Soekarno, perbaikan nasib ini hanya bisa datang ketika kapitalisme dan imperialisme hilang. Karenanya, ujar dia, pergerakan tidak boleh berskala kecil-kecilan.

Pergerakan kita janganlah hanya suatu pergerakan yang ingin rendahnya pajak, janganlah hanya ingin tambahnya upah, janganlah hanya ingin perbaikan kecil yang bisa tercapai hari sekarang... Pergerakan kita haruslah dus suatu pergerakan yang di dalam hakikatnya menuju kepada suatu ommekeer susunan sosial,” lanjut Soekarno.

Ommeker adalah kata dalam bahasa Belanda, yang artinya dalam konteks itu adalah pembalik. Soekarno berpendapat, kondisi ini memang butuh kemauan dan tenaga rakyat. Meski begitu, untuk mendatangkan hasil sesuai keinginan, ujar dia, gerakan itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan sepenuh tekad.

(Baca juga: Andai Negarawan Seperti Mereka Masih Ada)

Kita pun harus menggerakkan rakyat jelata di dalam suatu pergerakan radikal yang bergelombangan sebagai banjir, menjelmakan pergerakan massa yang tadinya onbewust dan hanya raba-raba itu menjadi suatu pergerakan massa yang bewust dan radikal, yakni massa aksi yang insaf akan jalan dan maksud-maksudnya,” tegas Soekarno.

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti kata “radikal” dalam konteks politik dan pemerintahan sebagai “amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir atau bertindak”.

Di sini lah Soekarno menyebut gunanya partai, dengan menulis, “Welnu, bagaimanakah kita bisa menjelmakan pergerakan yang onbewust dan ragu-ragu dan raba-raba menjadi pergerakan yang bewust dan radikal? Dengan suatu partai! Dengan suatu partai yang mendidik rakyat jelata itu ke dalam ke-bewust-an dan keradikalan. Dangan suatu partai, yang menuntun rakyat jelata itu di dalam perjalanannya ke arah kemenangan, mengolah tenaga rakyat jelata itu di dalam perjuangannya sehari-hari, menjadi pelopor daripada rakyat jelata itu di dalam menujunya kepada maksud dan cita-cita.”

Idealnya partai politik

Menurut Soekarno, partai politik seharusnya menempatkan diri sebagai penerang pergerakan, berjalan di muka, menerangi jalan yang gelap dan penuh dengan beragam tantangan menuju jalan yang terang. “Partailah yang harus mengasih ke-bewust-an pada pergerakan massa, mengasih kesadaran, mengasih keradikalan,” ujar dia.

Untuk bisa begitu, ada syaratnya. Soekarno menggarisbawahi, partai harus juga lebih dulu menjadi partai yang memiliki kesadaran dan radikal, menjadi partai pelopor. “Hanya partai yang bewust dan sadar dan radikal bisa membikin massa menjadi bewust dan sadar dan radikal, ... menjadi pelopor yang sejati di dalam pergerakan massa...,” tegas dia.

Namun, kata Soekarno, bukan berarti seluruh rakyat Indonesia harus jadi anggota partai. Menurut dia, pemikiran seperti itu adalah “pengelamunan kosong”. Sudah cukup, kata dia, bila ada partai yang menjadi pelopor sejati.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com