BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dan Tanoto Foundation

Kala Belajar Peta Buta Tak Lagi Bikin Pening…

Kompas.com - 05/09/2017, 08:33 WIB
Haris Prahara

Penulis

KOMPAS.com - Wajah Nurayani Sihite semringah pagi itu, Kamis (24/8/2017). Ia asyik memandu jalannya pembelajaran di kelas VI SDN 010157 Sei Muka, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.

“Ayo anak-anak, sebelum mulai belajar, kita bagi kelas ini jadi dua kelompok besar!” pinta wanita yang karib disapa Yani itu.

Sontak saja, kelas yang berisi sekitar 20 siswa itu riuh rendah. Seluruh siswa mulai bergerak mencari teman kelompok, seolah tak ada yang ingin ditinggal sendirian.

Setelah terbagi menjadi dua kelompok, Yani lantas melanjutkan proses belajar-mengajar. Ia mulai melontarkan pertanyaan pembuka yang lagi-lagi membuat suasana kelas menjadi riuh.

“Siapa di sini yang sudah pernah naik pesawat?” tanya Yani dengan nada penasaran.

“Saya, Bu. Saya, Bu!” begitu jawaban yang menggema dari sejumlah siswa.

“Yah, saya belum pernah, Bu,” timpal seorang siswa perempuan diiringi tawa rekan-rekan kelompoknya.

Yani pun segera menenangkan situasi dan menunjukkan sebuah kertas karton berukuran sekitar 60 sentimeter x 60 sentimeter. Karton tersebut berisi gambar gugusan pulau di Indonesia. Peta tersebut terlihat berwarna-warni dengan sejumlah titik terlukis di masing-masing pulau.

“Hari ini kita akan belajar peta buta. Kita akan mengenal lebih jauh kondisi geografis Tanah Air,” ucapnya.

Siswa tampak mulai serius memperhatikan materi pelajaran pagi itu. Mereka bergegas menyiapkan buku pelajaran disertai alat tulis untuk mencatat.

Setiap kelompok diwajibkan untuk menebak provinsi mana saja yang termasuk ke dalam zona Waktu Indonesia Barat (WIB), Waktu Indonesia Tengah (WITA), dan Waktu Indonesia Timur (WIT).

Secara bergantian, mereka maju ke depan kelas untuk mengisi titik-titik kosong yang tergambar di peta buta tersebut.

“Tidak semua provinsi di Indonesia itu memiliki waktu yang sama. Ini disebabkan oleh perbedaan garis bujur yang melintasi wilayah-wilayah Indonesia,” papar Yani kepada siswanya.

Seperti itulah salah satu gambaran proses pembelajaran di SDN 010157 Sei Muka sehari-hari.

Nurayani Sihite (berbaju kuning) tengah mengajar kelas VI SDN 010157 Sei Muka, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, pada Kamis (24/8/2017).Kompas.com/ Haris Prahara Nurayani Sihite (berbaju kuning) tengah mengajar kelas VI SDN 010157 Sei Muka, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, pada Kamis (24/8/2017).
Seusai mengajar, Yani mengatakan kepada Kompas.com bahwa metode belajar berkelompok disertai interaksi dua arah diharapkan membuat situasi kelas lebih bergairah dan tidak kaku.

Dengan begitu, siswa dapat menangkap materi pelajaran secara cepat dan mendorong mereka aktif serta kreatif.

“Kami berupaya untuk selalu menciptakan alat peraga saat mengajar. Seperti misalnya, La duela Geographica atau alat peraga untuk mengajarkan tentang peta buta,” tuturnya.

Yani mengisahkan, awalnya metode pembelajaran di sekolah itu bersifat satu arah dengan siswa yang duduk sendiri, tanpa berkelompok. Namun, imbuh dia, metode itu berubah setelah guru di sekolah itu mendapat bantuan pelatihan Tanoto Foundation pada 2013 lalu.

“Mereka (Tanoto Foundation) melatih guru di sini bahwa mengajar adalah proses transfer ilmu yang selayaknya dibuat menyenangkan dan membuat siswa nyaman, bukan sebaliknya,” katanya.

Aplikatif

Serupa dengan SDN 010157 Sei Muka, metode belajar menyenangkan juga diterapkan oleh guru di SDN 010152 Sei Muka, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara. Salah satu alat peraga yang digunakan adalah pijak angka.

Guru SDN 010152 Sei Muka Nurhaida Siagian mengatakan, sarana itu diharapkan membuat siswa lebih mudah mencerna materi berhitung angka.

Cara menggunakannya pun sederhana. Siswa dibagi ke dalam kelompok berisi 5 hingga 7 orang dan mereka akan berdiri dalam lingkaran berisi angka 0 sampai 9.

Pengajar kemudian akan memberi tahu operasi bilangan yang dikerjakan, apakah penambahan, pengurangan, perkalian, atau pembagian. Setelah itu, mereka akan menyebutkan sebuah angka.

“Misalnya, berapa dikali berapa hasilnya 15. Nah, siswa perlu mencari angka yang sesuai dengan hasil itu. Dalam hal ini, maka siswa perlu menginjak angka 3 dan 5,” papar Nurhaida.

Lebih lanjut, ia mengatakan, metode belajar seperti itu membuat siswa tak jenuh dan tentunya memudahkan mereka menyerap materi pelajaran.

Salah satu aktivitas belajar-mengajar siswa SDN 010152 Sei Muka, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara pada Kamis (24/8/2017).Kompas.com/ Haris Prahara Salah satu aktivitas belajar-mengajar siswa SDN 010152 Sei Muka, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara pada Kamis (24/8/2017).
Salah seorang siswa, Akbar, mengatakan, metode pembelajaran kreatif membuatnya lebih semangat datang ke sekolah. “Bisa lebih akrab juga dengan teman-teman lain karena duduknya berkelompok,” ucapnya.

Terkait metode-metode belajar di atas, Training Specialist Tanoto Foundation Wilayah Sumatera Utara Jepri Sipayung mengatakan, guru merupakan ujung tombak kemajuan pola pikir siswa.

Karena itu, salah satu kemampuan yang krusial dimiliki guru masa kini adalah mengajar dengan pendekatan kontekstual. Guru seyogianya dapat mengembangkan imajinasi siswa dengan contoh konkret dan mudah dipahami.

Sebagai contoh, materi pelajaran menganai profesi. “Wilayah yang dominan di Sumatera Utara ini adalah perkebunan. Karena itu, guru bisa mengembangkan materinya dari fakta tersebut, misalnya apa yang dilakukan tukang kebun sehari-hari, apa hasilnya, diolah jadi apa hasil itu, dan seterusnya,” ujar Jepri.

Berkaca dari kebutuhan pembelajaran kontekstual tersebut, imbuh Jepri, pihaknya berupaya memberikan pelatihan bertajuk Pelita Guru Mandiri untuk para pengajar.

Hingga kini, program itu telah diterapkan kepada lebih dari 100 sekolah di Sumatera Utara. Para pengajar setempat yang telah dilatih Tanoto Foundation sebagai fasilitator lokal juga didorong untuk melatih guru-guru lain yang belum mendapatkan pelatihan.

Jika saja setiap pengajar mampu membuat setiap pelajaran jadi menyenangkan, tentunya sekolah sebagai rumah kedua penuh kebahagiaan tak lagi sekadar impian.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau