Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Pendidikan, Membangun Metode Berpikir

Kompas.com - 14/09/2017, 09:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Anak saya yang baru masuk kelas 1 SMA mengeluh soal pelajaran dan guru di sekolahnya. “Guru tidak menjelaskan, cuma menyuruh kami belajar sendiri, lalu dia memberi kami soal-soal untuk diselesaikan,” keluhnya. Apa yang terjadi dengan sekolah? Konon, ini pola belajar berdasarkan kurikulum 2013.

Entahlah, apa benar demikian atau tidak. Saya tidak melakukan kajian sistematis soal kurikulum. Namun selama mendampingi anak-anak saya belajar, saya perhatikan ada beberapa masalah pada buku-buku pelajaran mereka. Masalahnya adalah, sering adanya lompatan dalam materi pelajaran.

Prinsip belajar adalah bertahap. Setelah paham sesuatu, pelajar dibawa ke tahap selanjutnya. Tanpa memahami sesuatu yang merupakan pendahuluan, sulit untuk memahami materi di tahap berikutnya. Untuk memahami perkalian, misalnya, pelajar harus paham dulu soal penjumlahan. Tanpa pemahaman itu, mustahil dia paham soal perkalian.

Keluhan anak saya, dia belajar soal vektor dalam pelajaran fisika. Tapi gurunya tidak memberi penjelasan soal definisi sinus dan cosinus yang dipakai untuk menjelaskan vektor. Kata gurunya, itu materi yang harus didapat dalam pelajaran matematika. Sementara pelajaran matematika belum sampai ke materi itu.

Akibatnya anak-anak bingung. Bukan hanya anak-anak saya. Teman-temannya bingung semua. Saya jelaskan materinya pada anak saya. Lalu teman-temannya tertarik untuk ikut belajar pada saya.

Keluhan seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Saya sendiri pernah mengalami masalah serupa, yaitu tidak paham materi pelajaran karena penjelasan guru kurang memadai. Apakah ini masalah kurikulum? Tidak selalu. Bahkan sama sekali bukan.

Guru adalah raja di kelasnya. Ia bukan hamba kurikulum. Maka ia tak boleh gagal menjelaskan hanya karena dibatasi oleh kurikulum. Kurikulum itu bukan kitab suci yang harus diikuti kata per kata. Ia hanya panduan besar. Guru boleh keluar dari situ, untuk membangun pemahaman bagi pelajarnya.

Masalahnya, banyak guru yang tidak paham. Banyak yang tidak paham materi yang harus ia ajarkan. Atau, tak paham bagaimana menjelaskannya. Ada banyak guru yang bertahun-tahun bertahan dalam ketidakpahaman. Ia tak berusaha membangun pemahaman bagi dirinya sendiri. Itulah salah satu sebab gagalnya pendidikan kita.

Pendidikan pada dasarnya bukan sekadar soal mengajarkan pengetahuan. Dalam hal fisika, misalnya, bukan soal bagaimana agar para pelajar paham hukum-hukum fisika. Para pelaku pendidikan sering gagal memahami itu. Fokus mereka pada materi pelajaran. Bagaimana menyampaikan materi pelajaran. Bagaimana membuat anak-anak mampu menyelesaikan soal tes.

Jadi, kalau tidak paham, hafalkan saja. Termasuk hafalkan saja cara menyelesaikan soal. Kalau soalnya begini, cara menyelesaikannya begini. Ganti rumus ini dengan angka ini, nanti hasilnya ini.

Situasi itu jauh dari maksud pendidikan. Kita tak mengajari anak-anak kita tentang fisika dengan harapan agar mereka semua jadi ahli fisika. Demikian pula dengan matematika, dan pelajaran lain. Bagian terpenting dari semua pelajaran itu adalah membangun metode berpikir, dengan menjalani prosesnya.

Dalam setiap pelajaran ilmu alam sebenarnya diperkenalkan topik tentang metode ilmiah. Tentang bagaimana pengetahuan tentang sesuatu diperoleh, bagaimana sesuatu diselidiki lalu disimpulkan. Sayangnya, bagian ini pun sering kali hanya menjadi bagian hafalan dalam pelajaran. Ia tidak menjadi fondasi dalam proses belajar selanjutnya.

Tahapan dalam materi pelajaran pada dasarnya disusun untuk membangun metode berpikir. Sepanjang masa belajar para pelajar digembleng untuk menjalani proses berpikir, dilatih untuk berpikir, membangun metode berpikir. Karena itu materi pelajaran tidak sekadar soal isi teori, tapi juga membahas bagaimana teori itu dibangun. Pada teori atom, misalnya, tidak langsung meloncat pada isi teorinya, tapi juga membahas bagaimana sejarah perumusan teori itu.

Sebagian besar anak-anak kita kelak tidak akan bekerja dengan memakai teori atom atau Hukum Newton. Kalau materi pelajaran yang menjadi prioritas, yakinlah bahwa itu akan sia-sia, karena akhirnya tidak akan dipakai dalam hidup. Tapi kalau proses berpikir yang dilatihkan, maka proses itu akan menjadi pola yang melekat sampai kapan pun. Itu akan berguna dalam banyak kesempatan sepanjang hidup.

Para orang tua dan guru harus selalu menyegarkan kembali kesadaran mereka soal ini. Agar mereka tidak tenggelam dalam kesesatan, mengejar target materi, lupa membangun proses berpikir. Ketika harus menjelaskan sesuatu yang pendahuluannya belum dipahami anak-anak, mutlak bagi guru untuk membangun pemahaman soal pendahuluan itu. Kalau tidak, ia tidak sedang membangun metode berpikir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau