KOMPAS.COM - Jenis musik yang kita dengar adalah satu dari banyak faktor yang membentuk warna musik kita. Mengenali potensi diri dan mengakui kekurangan adalah awal kesuksesan yang waktunya adalah misteri.
Itulah pesan awal dari Chandra Darusman di buku Perjalanan Sebuah Lagu ini. Masih banyak pesan lain yang dia selipkan, yang datang dari awal karirnya bermusik, termasuk persoalan hak cipta yang belakangan aktif digelutinya. Jadi, tak cuma menceritakan siapa sesungguhnya Chandra Darusman!
Ya, buku ini akan mengajak Anda menelusuri bagaimana orang "sekelas" Chandra Darusman mengenal musik, memainkan musik, mengenal panggung, masuk dapur rekaman, hingga akhirnya menjadi sejajar para musisi senior di zamannya hingga kini.
Yang paling penting, tentu saja, belajar dari perjalanan karirnya itulah Chandra sadar akan pentingnya hak cipta yang ujung-ujungnya juga urusan periuk sebagai hak dari jerih payah para musisi seperti dirinya yang kerap terlupakan atau malah sengaja diabaikan.
Chandra menulis, ironisnya, bahwa kemajuan teknologi justeru berdampak buruk dengan makin maraknya pembajakan musik, yang bahkan lebih dahsyat dibandingkan pembajakan kaset dan CD di era 80-an sampai 90-an. Apakah Anda, sadar akan hal ini? Lewat buku ini Chandra mengingatkan kesadaran itu!
‘UpTown Funk’ Bruno Mars Digugat, Apa Pentingnya Hak Cipta?
Belakangan hak cipta kembali mendapatkan sorotan. Orang jadi berbondong-bondong menilik kembali pasal demi pasal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tersebut setelah lagu duet Bruno Mars dan Mark Ronson berjudul “UpTown Funk” digugat ke ranah hukum. Akor lagu yang meroket pada 2014 itu, dinilai amat mirip dengan lagu orbitan band asal Minneapolis Collage, “Young Girls” pada 1983.
Namun, tak berhenti sampai di situ, baru-baru ini, Lastrada Entertainment yang memegang lisensi lagu klasik Roger dan Zapp berjudul “More Bounce to The Ounce”, ikut mengajukan gugatan penjiplakan karya intelektual. Lastrada Entertainment bersikeras, Ronson telah menyelipkan ketukan musik “More Bounce To The Ounce” pada 48 detik pertama lagu “UpTown Funk” Bruno Mars.
Jadi, apa sih pentingnya hak cipta ini? Mengapa semua orang meributkan soal itu? Bukankah setiap orang bebas berekspresi? Lagipula di mana salahnya jika seseorang merasa terinspirasi dari lagu orang lain? Toh, ada istilah, tidak ada yang baru di bawah kolong langit ini. Dengan begitu maka sah jika musik dapat dinikmati setiap orang, tanpa harus digugat sana-sini?
Candra Darusman dan HKI
Penyanyi sekaligus penulis lagu Candra Darusman dalam buku perdananya, Perjalanan Sebuah Lagu: Tentang Penciptaan, Perlindungan dan Pemanfaatan Lagu, ini menjelaskan pentingnya hak cipta sebagai basis industri kreatif.
Khususnya dalam bab kedua buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) ini, Chandra banyak membicarakan soal fungsi perlindungan yang dimuat dalam UU Hak Cipta ()
Buku ini diluncurkan bersama dua single terbarunya, “Kau” dan “Rintangan” tepat pada hari ulang tahun Chandra ke-60, Senin, 21 Agustus 2017 lalu. Bertempat di Shoemaker Studio, Cikini, Jakarta Pusat, acara peluncuran buku itu turut dihadiri oleh para pesohor, seperti Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, musisi legendaris Addie MS, Guruh Soekarno Putra, dan Titiek Puspa, Glenn Fredly, Andien. Hadir pula pengamat musik Bens Leo dan Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf.
Tak heran, dalam satu kesempatan, yakni saat menghadiri Lokakarya Penulis dan Penerbit di Indonesia International Book Fair (IIBF) 2017 di JCC Senayan, Jakarta, 9 September 2017, Triawan Munaf tak sungkan mengakui bahwa buku ini diadopsi oleh Bekraf untuk menjadi pegangan.
Triawan juga merekomendasi buku ini kepada khalayak luas guna mendapatkan pemahaman yang lebih mudah tentang pentingnya hak cipta.
“Begitu buku ini dilahirkan Candra Darusman, bagi kami ini bak hikmah yang membantu mencairkan tugas kami, yang kalau boleh saya katakan memang (Bekraf) terlambat untuk hadir. Banyak elemen yang perlu dikaji ulang secara kelembagaan dan saya belajar banyak dari buku ini," sanjungnya.
Menyinggung kembali soal hak cipta, Candra Darusman menyebutnya sebagai hak eksklusif dan diperoleh secara otomatis. Beda dengan hak kekayaan intelektual (HKI) lain yang harus lebih dulu didaftarkan, hak cipta langsung dipegang oleh orang atau pihak pertama yang mempublikasikan dan menyiarkan karya tersebut. Sementara hak eksklusif, maksudnya, hak tersebut dimiliki pencipta sebelum dia mengalihkannya kepada pihak lain.
“Hukum tertua hak cipta itu untuk buku, percetakan dan penerbitan. Pertama kali berlaku di Inggris pada 1709, dikeluarkan oleh Kerajaan Inggris,” tuturnya.
Tujuan awal hak cipta waktu itu bukan semata bisnis. Kerajaan Inggris bermaksud menguasai peredaran paham di masyarakat. Dengan kata lain, fungsi hak cipta pada waktu itu juga untuk penyensoran.
"Maka terjadilah kolusi formal antara dunia bisnis dan kerajaan. Kolusi ini berlangsung lama, hingga tiba saatnya perjanjian tersebut diperpanjang," sambung dia.
Para penerbit menuntut hak lebih dengan dalih perlindungan pada penulis. Padahal otak mereka murni laba saja. Pihak kerajaan untungnya tak masuk perangkap. Mereka mengabulkan aturan yang pada akhirnya lebih menguntungkan penulis daripada penerbit.
Begitulah cikal-bakal lahirnya Statute of Anne pada 1709, yang selanjutnya jadi acuan negara lain mengundangkan hak cipta.
Fungsi Perlindungan dalam Hak Cipta
Di Indonesia, hak cipta merupakan salah satu cabang konsepsi hukum dalam Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia. Bagi penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru 2016 itu, dengan adanya ketentuan hak cipta, berarti negara sudah berupaya untuk melindungi kreasi dari para pelaku industri kreatif. Sayangnya, aturan tersebut jauh lebih sering diterabas daripada dipatuhi.
Padahal, menurut perintis Jazz To Campus ini, setiap manusia kreatif patut dihargai, diberikan perlindungan dan insentif terus menerus. Semua itu demi menjaga agar dia tetap berkarya dan karyanya bisa sampai ke masyarakat.
“Meminjam istilah pemerintah, ada green eco untuk ekonomi pertanian. Ada juga istilah blue eco untuk program ekonomi kelautan. Nah, sekarang ada pula orange eco, program untuk meningkatkan mutu ekonomi nasional di bidang industri kreatif," kata Candra Darusman.
Lebih lanjut, Candra menganalogikan hak cipta ibarat pagar suatu kebun yang luas. Di dalam kebun itu ada buah-buahan yang ranum dan manis, serta gurih, juga bermacam-macam bunga yang indah. Adik Marzuki Darusman tersebut menjelaskan, dengan adanya pagar, isi kebun akan terjaga kelestariannya. Singkat kata, orang lain tidak bisa sembarangan masuk dan memetik hasilnya, maupun menginjak-injak bunga yang sudah dirawat sedemikian apik oleh pemiliknya.
"Sama halnya dengan pagar itu, hak cipta fungsi utamanya adalah perlindungan. Jadi tidak sembarang orang bisa masuk dan mengambil keuntungan dari kreasi orang lain," tegasnya.
Candra Darusman mengajak pendengarnya untuk membayangkan dunia tanpa hak cipta. “Apakah buku dan lagu yang dikreasikan akan aman?” Jawabnya, sudah tentu, akan ada banyak perselisihan, orang-orang meributkan suatu karya sebagai miliknya, seraya mengklaim pihak seberang yang sudah meniru karyanya.
Selain perlindungan, Candra Darusman menerangkan bahwa hak cipta juga bertujuan menjembatani individu yang berkarya dengan publik yang dengan sukacita menikmati karya tersebut.
“Singkatnya, hak cipta dibutuhkan ketika seseorang mulai memasarkan karyanya. Bukan pada saat mulai berkarya. Dan selama belum ditemukan sistem alternatif lain, sistem hak cipta yang tertata dapat menjadi insentif atau perangsang untuk berkarya,” urainya dalam buku Perjalanan Sebuah Lagu .
Arbitrase “UpTown Funk”
Kembali ke kasus “UpTown Funk” yang dipopulerkan oleh Bruno Mars, apakah perlu digugat ke ranah hukum? Mari belajar dari kasus “Mutiara yang Hilang”. Kasus ini termasuk salah satu contoh yang dimuat Candra Darusman dalam bukunya Perjalanan Sebuah Lagu.
Sengketa penciptaan lagu tersebut terjadi pada 1990-an, ketika Candra Darusman masih menjabat General Manager Yayasan Karya Cipta Indonesia (KCI), 1991-2001. Lagu “Mutiara yang Hilang” diperebutkan oleh Yessi Wenas dan Agus Muhadi. Kedua pencipta lagu ini adalah anggota KCI.
Demi menemukan siapa yang lebih dulu melahirkan karya tersebut, diambil jalur hukum. Yessi dan Agus sepakat menempuh jalur arbitrase. Melalui pengumpulan bukti-bukti dan kesaksian, akhirnya diperoleh buku musik Agus Muhadi lebih tua daripada bukti yang disodorkan Yessi Wenas.
“Dengan demikian, Agus Muhadi berhak atas seluruh royalti yang dikumpulkan oleh KCI atas lagu ‘Mutiara yang Hilang’,” tutupnya.
Candra Darusman percaya, peristiwa ini dapat menjadi contoh bahwa mekanisme arbitrase, efektif dan efisien dalam menyelesaikan suatu perkara. Pihak yang bertikai pun wajib menerima keputusan pengadilan.
(SILVIANA DHARMA/KPG)