Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Perhimpunan Pelajar Indonesia
PPI

Perhimpunan Pelajar Indonesia (www.ppidunia.org)

Pendidikan Informal untuk Penguatan Pembelajaran di Daerah Tertinggal

Kompas.com - 10/10/2017, 17:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

MASALAH kualitas pendidikan di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) di Indonesia menjadi bahan wajib diskusi untuk pegiat dunia pendidikan. Sebab, pemerataan pendidikan masih menjadi agenda pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pemerintah menetapkan jumlah daerah tertinggal setiap lima tahun sekali. Pada 2015, tercatat ada 122 kabupaten tertinggal dan 43 kabupaten terdepan dan terluar.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 menyebutkan, kriteria daerah tertinggal yang terdiri dari sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah.

Nah, pertumbuhan sumber daya manusia menjadi salah satu kunci melepas status tertinggal suatu daerah itu sendiri.

Untuk mendongkrak kualitas sumber daya manusia, tentu perlu memperbaiki kualitas pendidikannya. Bicara mengenai kualitas pendidikan, sejatinya Indonesia bisa kembali ke sistem pendidikan di luar jalur pendidikan formal.

Hal itu merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa "Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling memperkaya dan melengkapi".

Mereka yang tidak bisa mendapatkan pendidikan formal sebenarnya bisa mengambil alternatif pendidikan nonformal atau informal.

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang seperti kursus dan pelatihan.

Adapun pendidikan informal adalah jalur pendidikan lingkungan dan keluarga. Pendidikan ini bisa kita temui lewat sekolah rumah (homeschooling) atau juga Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM).

Pendidikan formal dan informal memang berbeda. Salah satunya, pendidikan formal mengenal ujian nasional (UN), sedangkan peserta didik pendidikan informal mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK).

UNPK ini istimewa karena ijazahnya dapat digunakan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Misalnya ketika seseorang memutuskan ikut pendidikan informal di tingkat SD, lalu ingin merasakan jenjang pendidikan formal pada SMP, maka bisa mendaftar ke SMP negeri atau swasta dengan ijazah kejar paket A (setara SD).

Achmad Fauzi dan Ertiana bersama Kepala SD Padang Panjang dan tiga siswa di depan sekolah SDN Padang Panjang, Pedalaman Kabupaten Alor, tempat mereka mengabdi sebagai guru, Jumat (31/3/2017). Masih banyak hal yang perlu dibenahi di bidang pendidikan di pelosok.KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA Achmad Fauzi dan Ertiana bersama Kepala SD Padang Panjang dan tiga siswa di depan sekolah SDN Padang Panjang, Pedalaman Kabupaten Alor, tempat mereka mengabdi sebagai guru, Jumat (31/3/2017). Masih banyak hal yang perlu dibenahi di bidang pendidikan di pelosok.
Ijazah UNPK juga diakui bila pelajar ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri. Regulasi pendidikan kesetaraan benar-benar menjanjikan citra yang sebanding dengan pendidikan formal.

Sayangnya, image pendidikan kesetaraan belum seperti itu. Masih ada sekat dalam citra pendidikan formal dan nonformal. Potretnya menyisakan disparitas bagi kalangan tertentu. Bahkan, image yang cenderung buruk.

Bukan pilihan terakhir

Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai pendidikan informal, saya ingin meluruskan sedikit hal mengenai UNPK. Ini perlu sebab banyak orang yang mengira UNPK atau yang lebih dikenal sebagai kejar paket adalah ujian untuk mereka yang tidak lulus ujian pendidikan formal. Padahal, seiring dengan perkembangan pendidikan di Indonesia, pendidikan kesetaraan kini ditawarkan sebagai alternatif, bukan jalan terakhir untuk mendapat ijazah.

Begini, bila seorang siswa dinyatakan tidak lulus ujian nasional (UN), UNPK bukan menjadi pilihan akhir. Mereka diberi pilihan untuk tinggal kelas satu tahun dan kembali ikut UN atau pindah memilih jalur pendidikan informal dan mengikuti UNPK sesuai jenjangnya (kejar paket A untuk SD, B untuk SMP, dan C untuk SMA).

Relawan mendampingi anak-anak menulis proses mencapai cita-citanya di sekolah alam Kampung Batara di Papring, Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (24/9). Kegiatan edukasi tersebut bertujuan untuk memperkuat literasi pada anak-anak sekolah alam yang terletak di pinggir hutan produksi perhutani. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/foc/17.BUDI CANDRA SETYA Relawan mendampingi anak-anak menulis proses mencapai cita-citanya di sekolah alam Kampung Batara di Papring, Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (24/9). Kegiatan edukasi tersebut bertujuan untuk memperkuat literasi pada anak-anak sekolah alam yang terletak di pinggir hutan produksi perhutani. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/foc/17.
Mungkin sudut pandang yang berkembang di masyarakat juga tidak lepas dari pemberitaan media. Sebab, tidak semua penulisnya mengerti apa yang dimaksud dengan pendidikan kesetaraan.

Saya sempat menemukan berita tentang seorang artis yang diberitakan mengikuti ujian kejar paket karena tak lulus UN. Padahal, artis tersebut menjalani homeschooling yang menjadi salah satu metode pendidikan informal.

Jadi, pembaca tidak boleh menelah sebuah berita mentah-mentah. Pembaca juga harus berpikir kritis apalagi bila berita yang ditampilkan tidak cover both side (konfirmasi kedua pihak).

Anak istimewa pilih pendidikan informal

Sebenarnya, tanpa kita tahu, banyak peserta didik istimewa yang memilih pendidikan informal. Istimewa maksudnya mereka bisa menyelesaikan materi pelajaran tiga tahun menjadi satu tahun saja.

Di pendidikan formal, kita biasa mengenal kelas akselerasi untuk anak istimewa. Namun, pendidikan kesetaraan belum mengenal istilah ini.

Peserta didik istimewa dengan pendidikan informal sebenarnya bisa mengikuti placement test untuk membuktikan dia layak mengikuti UNPK lebih cepat. Hanya saja, placement test hanya bisa dilakukan di Jakarta.

Bisa dibayangkan bila pemerintah terus mengembangkan fasilitas untuk pendidikan kesetaraan. Jalur pendidikan nonformal bakal menghasilkan lulusan-lulusan muda yang siap melanjutkan ke perguruan tinggi.

Yang lebih penting lagi, mereka adalah peserta didik yang paham dengan potensi dan cita-citanya yang murni. Bukan dengan pilihan yang menjadi desakan atau bentukan pemikiran kaum mayoritas.

Pendidikan informal di daerah 3T

Konkretnya, pendidikan informal bisa diaplikasikan juga pada pendidikan dasar di daerah 3T. Kenapa saya memilih pendidikan informal sebagai alternatif bentuk pendidikan di daerah 3T? Karena, pendirian balai pendidikan informal tidak akan memakan waktu dan biaya sebesar pendidikan formal.

Kita sejatinya harus realistis dengan kondisi infranstruktur di daerah 3T yang masih jauh dari kata sempurna. Adapun pembangunan sumber daya manusia di seluruh pelosok Indonesia adalah masalah mendesak. Di samping itu, pendidikan menjadi hak penduduk Indonesia. Sayang, belum semua anak usia sekolah berkesempatan merasakan haknya sebagai warga negara Indonesia.

Bicara mengenai upaya pemerintah mengentaskan anak putus sekolah di daerah 3TM, sisi pemerataan guru, pemerintah sebenarnya telah membuat program Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (SM-3T).

Namun, semua itu tidak akan pernah cukup bila belum mengatasi permasalahan pendidikan dari akarnya, antara lain di Papua Barat. Masalah itu adalah mengembalikan anak usia sekolah untuk mendapatkan haknya mengenyam dunia pendidikan di tanah mereka sendiri.

Sekolah informal tidak akan menuntut siswanya menggunakan seragam, duduk di dalam kelas mendengarkan guru mengajar sesuai kurikulum.

Sekolah dengan pendidikan informal bisa diatur secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan siswa dan keadaan guru. Bahkan mungkin, pemerintah tidak perlu repot mencari guru dengan kualifikasi lulusan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).

Lulusan setara D3 atau S1 berbagai disiplin ilmu bisa ikut mengajar menjadi fasilitator di pendidikan formal, tentunya dengan pembekalan seputar pendidikan informal sebelum berangkat mengabdi ke pedalaman tersebut.

Pendidikan informal juga bisa diadakan di tempat-tempat terisolasi, yang jangkauannya jauh dari pendidikan formal. Ini bisa dilakukan di desa yang hanya memiliki belasan anak usia sekolah, tetapi pendidikan formal terdekat masih harus ditempuh belasan kilometer.

Dalam kondisi seperti itu, pemerintah bisa mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang merupakan salah satu media jalur pendidikan informal. Dengan begitu, anak usia sekolah bisa mengikuti proses belajar dengan fasilitator (guru) yang disediakan.

Bahkan, bila jumlah anaknya sedikit dan fasilitator masih mempunyai banyak waktu, fasilitator bisa membuat kelas tambahan yang dibuka untuk orang dewasa. Contoh yang paling simpel adalah kelas baca tulis, bahasa Indonesia, kelas kerajinan tangan, atau ilmu apa saja yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau keahlian fasilitator.

Teknis ujian

Selain sistem proses belajar-mengajar yang fleksibel, ujian nasional (UN) untuk siswa pendidikan informal atau ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK) atau juga ujian kejar paket bisa tetap dilaksanakan dengan fleksibel.

Pelaksanaan UNPK di Jawa, misalnya, dilaksanakan di lokasi yang sama dengan UN, tetapi pada waktu yang berbeda. Jadi, bila UN dilaksanakan pada pagi hari, ujian kejar paket dilaksanakan di siang hari.

Pelaksanaan UNPK di daerah 3T pun bisa tetap dilaksanakan dengan cara seperti itu untuk menjaga standar yang ditetapkan. Namun, untuk memudahkan siswa peserta ujian, pemerintah idealnya memfasilitasi akomodasi peserta didik UNPK untuk bolak-balik ke lokasi ujian atau menginap.

Kenapa ini perlu? Karena, ini adalah upaya untuk menjaga semangat peserta didik UNPK untuk tetap melanjutkan pendidikan.

Bagaimanapun juga generasi muda dari daerah 3T adalah mereka yang patut diberi semangat. Tujuan jangka pendeknya untuk menjaga dan meningkatkan rasa nasionalisme mereka. Dengan begitu, mereka merasa diperhatikan oleh negara.

Dalam jangka panjang, perlakuan dari negara semacam itu tidak akan membuat mereka mendukung, bergabung, bahkan untuk sekadar berpikir mengenai separatisme.

Namun yang juga harus dipahami, fasilitator harus berperan aktif melihat perkembangan peserta didik karena sangat memungkinkan untuk menemukan bibit-bibit unggul dari daerah 3T.

Peserta didik yang dinilai berpotensi untuk melanjutkan pendidikan menengah bisa diikutkan program-program beasiswa untuk menempuh pendidikan di luar daerah 3T tersebut.

Siswa dari Papua, misalnya, dapat menerima beasiswa Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) untuk melanjutkan SMA/SMK di Pulau Jawa. Ada juga Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK) yang memberi beasiswa ke perguruan tinggi.

Dinda Lisna Amilia

Mahasiswi S2 Mass Communication and Journalism di University of Mysore India, Ketua Dewan Pengawas PPI India dan Wakil Kantor Komunikasi PPI Dunia (ppidunia.org).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com