Indy Hardono
Pemerhati pendidikan

Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 

Pemuda Indonesia, Sebuah Cerita Bersambung...

Kompas.com - 28/10/2017, 09:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

SETIAP tahun kita tak pernah lupa memperingati Hari Sumpah Pemuda. Kita bahkan hafal luar kepala isi naskah Sumpah Pemuda.

Namun setelah 89 tahun, apakah Sumpah Pemuda hanya menjadi sekedar catatan bagi bangsa ini? Apakah sumpah yang dilantangkan pada tanggal 28 Oktober 1928 di Kramat Raya 106 itu hanya menjadi sekedar pengisi lembar buku sejarah sekolah dasar, yang hanya dihafalkan dan ditelan begitu saja tanpa makna?

Tidakkah kita perlu menelusuri lebih dalam, apakah ada pola yang sama antara tahun 1928 dan tonggak-tonggak sejarah bangsa setelah itu, lalu kemudian menemukan benang merahnya?

Bagaikan rally Paris-Dakar, sejarah membuktikan gerakan kebangsaan harus melalui berbagai etape sangat berat. Mari kita tengok beberapa etape yang dikendarai para pemuda, yang kemudian menjadi etape penentu dalam “rally’ kebangsaan itu.

Etape 1 : Tempat Kongkow di Kramat Raya 106

Kramat Raya pada 1928 merupakan kawasan tempat kongkow  anak muda zaman itu. Letaknya yang sangat strategis di pusat kota Jakarta menjadikan daerah ini kurang lebih seperti jalan-jalan di daerah sibuk Jakarta saat ini, yang dipenuhi oleh berbagai co-working space atau kafe-kafe tematik di pusat kota Bandung atau Yogyakarta.

Tempat yang sering disebut  Indonesische Clubhuis tersebut  adalah oase bagi para pemuda pada zaman itu. Mereka bertemu, bersosialisasi dan  berdiskusi tentang tantangan terbesar bangsa pada saat itu: meraih kemerdekaan!

Mereka adalah para pemuda ‘gaul’ dan berpendidikan masa itu, seperti misalnya Muhammad Yamin, Soegondo Djojopoespito, Amir Sjarifuddin, Ki Mangunsarkoro, Soenario Sastrowardoyo, J. Leimena dan WR Supratman yang saat itu masih sangat belia dengan kisaran umur antara 22-27 tahun, namun memiliki tingkat kesadaran dan kepekaan luar biasa untuk membawa  bangsa ke arah perubahan.

Kramat Raya laksana kota Florence di Italia yang menjadi pusat kegundahan para kaum intelektual dan pembaharu yang ingin keluar dari era kegelapan, zaman feodalistik dan dogmatis, kota yang akhirnya melahirkan gerakan revolusi budaya – Renaissance, yang mengubah peradaban Eropa.

“Ik heb een elganter formuleren voor de resolutie (saya mempunyai rumusan resolusi yang lebih luwes)," kata Muhammad Yamin yang ditunjuk menjadi sekretaris Kongres Pemuda saat itu, sembari menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo pada saat penutupan kongres.

Isi tulisan di secarik kertas itu adalah “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.” Sebuah pemikiran revolusioner, yang dihasilkan oleh para pemuda yang datang dari latar belakang pendidikan dan budaya berbeda. Pemikiran yang keluar dari pakem, dan terdengar asing di jamannya. Pokok-pokok pikiran baru itu bernama Persatuan! Sungguh suatu Renaissance bagi bangsa ini.

Etape ke 2 : Salemba, Kampus Perjuangan, 1966

“Alma Mater, janganlah bersedih. Bila arakan ini bergerak perlahan. Menuju pemakaman Siang ini. Anakmu yang berani. Telah tersungkur ke bumi. Ketika melawan tirani.”

Taufik Ismail, salah seorang aktivis mahasiswa yang ikut dalam pergerakan mahasiswa paling revolusioner dalam sejarah negeri ini, menulis puisi itu untuk menggambarkan drama 60 hari yang penuh dengan pekikan, kegundahan, kemarahan, dan juga darah mahasiswa.

Gerakan pemuda yang dipelopori oleh mahasiswa Universitas Indonesia seperti Cosmas Batubara, Akbar Tanjung, Mar’ie Muhammad, Sulastomo, Malik Fadjar, AM Fatwa, Fahmi Idris, iyu berangkat dari kesadaran dan kepekaann tentang nasib rakyat yang tak menentu di saat ekonomi negara sudah berada pada titik nadir.  

Halaman Berikutnya
Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau