JAKARTA, KOMPAS.com - Perjuangan guru dalam mendidik murid-muridnya seolah tak pernah putus. Begitulah yang dilakoni Anissa Alhaqqoh Darwis, guru Sekolah Luar Biasa Negeri Bontang, Kalimantan Timur.
Sekira 17 tahun sudah ia mengampu sebagai guru bagi anak berkebutuhan khusus di Bontang. Selepas kuliah di Padang, perempuan asal Palembang ini mengajar siswa tunanetra di Kota Pempek.
Setelah menikah, ia dan suaminya yang juga pengajar siswa luar biasa merantau ke Bontang. Pada awal mengajar, di SLB itu belum ada jurusan bagi siswa tunanetra. Tak ada pula, siswa berkebutuhan khusus tunanetra di situ.
Keluarga dengan anak-anak berkebutuhan khusus di Bontang umumnya tak tahu harus menyekolahkan anak-anak mereka. Sosialisasi dari pemerintah daerah sangat minim. Anissa pun mulai perburuannya.
Baca: Guru Berperan Vital dalam Pendidikan Karakter Siswa
Matanya awas mencari anak-anak berkebutuhan khusus di pinggiran dan sudut-sudut Kota Minyak itu.
Suatu kali, ia melihat seorang anak tunanetra tengah mengemis di pasar. Ia meminta suaminya menghentikan motor, lalu menghampiri dan menyapa anak itu. Setelah berbincang akrab, dibujuklah anak itu agar bersekolah.
“Dia hanya bilang iya Bu. Tapi dua hari kemudian sudah tak ada lagi di situ,” tuturnya di sela Seminar Nasional Membangun Pendidikan Karakter melalui Keteladanan Guru pendidikan Dasar di Hotel Ambhara Jakarta, Kamis (23/11/2017) petang.
Lain waktu, ia tengah berkunjung ke Samarinda, ibukota Provinsi Kalimantan Timur. Tanpa sengaja ia melihat anak tunanetra itu sedang mengemis. Padahal, Samarinda terletak sekira 120 kilometer dari Bontang. “Mungkin ada yang memanfaatkan dia untuk bekerja sebagai peminta-minta,” ujarnya.
Baca: Pemerintah Daerah Didorong Lebih Berperan dalam Redistribusi Guru
Ia tak putus asa menjaring anak-anak berkebutuhan khusus. Anissa pun rajin mencari informasi dari warga. Suatu kali, seorang pedagang sayur memberi tahu bahwa ada anak penyandang tunanetra.
Anak itu pernah bersekolah hingga tingkat SMP. Malang, ia pernah terjatuh dan penglihatannya tak pernah kembali.
Setelah diberi alamat tempat tinggal anak itu, ia pun menelusuri keberadaan calon siswanya. Malang tak dapat ditolak, tapi untung bisa diraih demikian pepatah yang bisa menggambarkan perasaan Anissa.
“Orangtuanya merasa bersyukur karena anak itu bisa bersekolah. Karena selama ini tidak tahu harus bagaimana, sudah dibawa ke dukun, ke mana-mana tidak tahu harus mengobati bagaimana,” ungkapnya.
Anak itu, kata dia, sempat stres karena tidak bisa apa-apa dengan perubahan yang terjadi dalam hidupnya.
Kebanggaan diungkapkan ibu siswa itu saat anaknya ikut dalam lomba Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ). Saat itulah orangtuanya menyadari bahwa anak yang tunanetra juga bisa berkembang sama dengan anak lainnya.
Mengajari baca tulis hingga berpakaian
Pelajaran dasar yang diberikan pada penyandang tunanetra adalah membaca dan menulis dengan braille.
Selain itu, pelajaran orientasi mobilitas. Siswa berkebutuhan khusus tunanetra diajarkan mengenali lingkungan agar bergerak lebih mudah. Termasuk, menggunakan tongkat agar tidak tergantung pada orang lain terus menerus.
“Mereka juga belajar melipat pakaian untuk melatih kemandirian siswa,” ujar Anissa.
Menjadi pendidik anak berkebutuhan khusus bukan hal sepele. Selain ketekunan dibutuhkan perhatian dan kesabaran luar biasa. Suatu hari, Anissa mengajak siswanya bepergian dengan mobil. Dalam perjalanan, ia memberi buah kelengkeng pada anak itu.