Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perguruan Tinggi Diajak Kembangkan "Renewal Energy"

Kompas.com - 02/02/2018, 15:00 WIB
Kurniasih Budi

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah meminta perguruan tinggi mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Pengembangan EBT harus segera dilakukan untuk mengantisipasi berkurangnya sumber energi fosil, seperti minyak, gas, dan batubara.

Dalam catatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berupa Outlook Energi 2015, konsumsi energi final di Indonesia meningkat dari 778 juta Setara Barel Minyak (SBM) pada 2000 menjadi 1.211 juta SBM pada 2013 atau tumbuh sebesar 3,46 persen per tahun.

Tingginya tingkat konsumsi energi tersebut menguras sumber daya energi fosil dibandingkan penemuan cadangan yang baru. Oleh karena itu, penggunaan EBT tak bisa lagi ditunda. Pemerintah menargetkan pemanfaatan EBT dalam bauran energi nasional mencapai 23 persen pada 2025.

Baca: Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan di Bendungan Terus Dikaji

Potensi EBT yang bisa dimanfaatkan antara lain angin (bayu), tenaga matahari (surya), gelombang laut, panas bumi (geothermal), biomassa, air (hidro). Bahkan, sampah yang dikelola sedemikian rupa bisa digunakan sebagai sumber energi pembangkit listrik.

Potensi EBT di Indonesia cukup besar, seperti energi air sebesar 75 Giga Watt (GW), panas bumi 17 GW, surya 200 GW, dan biomassa 33 GW. “Potensinya sangat besar dan masih banyak yang belum digarap,” kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Archandra Tahar, saat peringatan Dies Natalis Universitas Pertamina di Gedung Wanita Patra, Kamis (1/2/2018).

Menurut dia, pengembangan EBT saat ini masih terganjal tingginya tingkat bunga perbankan dalam negeri untuk investasi sektor EBT. Tingkat bunga sebesar 10 hingga 11 persen dinilai tidak kondusif untuk pengembangan EBT.

Akibatnya, pengusaha kurang berminat dengan rate of returns sekitar 14 persen. Selisih yang bakal didapat pengusaha hanya sekitar 3 persen.

Panel surya dipasang di atap gedung Universitas Pertamina Jakarta yang menghasilkan daya 10 KWPKOMPAS.com/ KURNIASIH BUDI Panel surya dipasang di atap gedung Universitas Pertamina Jakarta yang menghasilkan daya 10 KWP

Pemerintah terus berupaya agar biaya pokok produksi EBT Indonesia tidak lebih mahal daripada energi fosil. Oleh sebab itu, Kementerian ESDM mengupayakan mencari pembiayaan dari luar negeri dengan bunga yang lebih rendah.

Timur Tengah bisa menjual energi surya dengan harga 3 sen/KWh sebab lahan yang digunakan untuk memasang penampang surya tanpa biaya. Tak hanya itu, tingkat suku bunga di sana hanya sebesar 2 hingga 3 persen.  

"Bisakah di Indonesia lahan yang digunakan untuk pengembangan EBT bebas biaya, di Monas misalnya?" ujarnya.

Paparan sinar matahari di Timur Tengah juga jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Sementara, langit Indonesia kadang kala tertutup awan. Pasokan sinar matahari yang tidak stabil di Indonesia juga membutuhkan penanganan tersendiri.

Penggunaan tertinggi energi surya di Timur Tengah untuk pendingin ruangan pada siang hari, saat di mana matahari bersinar. Sementara, Indonesia masih membutuhkan energi untuk penerangan di malam hari. Dengan begitu, dibutuhkan batere untuk menyimpan energi sinar matahari agar dapat digunakan pada malam hari.

“Kompleks sekali persoalan kita dalam mengembangkan EBT,” katanya.

Sinergi triple helix

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com