Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Dilan, Cinta, dan Cara Menemukan Pasangan

Kompas.com - 19/02/2018, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sebagian kita baru-baru ini pasti sudah ada yang nonton film “Dilan” yang booming itu, atau baca bukunya, atau dua-duanya.

Baru kemarin saya baca bukunya, setelah istri saya minta dibelikan. Itu pun gara-gara saya sendiri juga, yang tidak mau baca “PDF”-nya. Saya bilang di telepon, “Kita harus menghargai penulis Indonesia Bunda, jadi mending baca bukunya langsung daripada baca bajakannya.”

Lalu istri saya bilang “Ya sudah, beliin bukunya, semua ya, cuma tiga jilid kok. Oh iya sama sekalian bukunya Pidi Baiq yang lain, cuma empat jilid. Jadi total tujuh jilid. Daripada aku baca PDF-nya, bajakan, iya to??”

Saya agak kaget, produktif juga penulis kita ini “Tujuh buku ya..mmm..eengg..iya besok Ayah beliin.”

Suara saya terdengar sayup-sayup makin ga jelas dan tiba-tiba kepala saya agak pusing, dari seberang telepon terdengar teriakan kecil “Asiik..dibeliin semua bukunya, bener lo ya, bener loo.”

Tidak lama kemudian waktu anak-anak sedang sekolah, saya sudah nenteng semua bukunya Pidi Baiq di kasir sebuah toko buku diskon. Saya yang bawa bukunya, istri pegang dompet saya. Memang tidak jadi tujuh jilid, tapi enam. Karena yang satu jilid kebetulan baru kosong.

“Iya betul, kita harus mengkoleksi dan mengapresiasi karya penulis Indonesia ya Yah.” Katanya sambil membolak-balik buku novel yang lain. “Iya…” jawab saya sambil meringis.

Sampai minggu kemarin, saya selain beli juga ditugasi baca, dan sudah khatam buku Dilan yang pertama dan baru jalan yang kedua, musti saya selesaikan dalam dua hari. “Biar kita ngobrolnya nyambung.” Kata istri saya.

Nah itu perkenalan singkat saya dengan Dilan. Bukunya menarik, tapi tidak sampai membuat saya senyum-senyum sendiri seperti cerita, status, dan resensi para mamah-mamah muda yang bertebaran di media sosial itu.

Pasti mereka kepingin banget seperti Milea, digombalin a la Dilan. Diberi ramalan absurd, dikasih buku TTS (Teka-Teki Silang) sebagai hadiah ulang tahun, dikasih coklat yang diantar loper koran atau petugas PLN, dikirimin tukang pijat ke rumah, atau hal-hal unik yang lain.

Karena setting ceritanya tahun 1990-an, saya kemudian membayangkan mas-mas atau mbak-mbak karyawan swasta, PNS, atau pengusaha yang masih single terinspirasi dan mencoba menjadi unik seperti Dilan untuk menemukan pasangannya.

Saya bayangkan populasi ini berusia mendekati kepala tiga atau di awal tiga puluh tahun dan masih berjuang menemukan pasangan terbaiknya untuk menjalani sisa hidupnya dengan bahagia.

Tapi saya bilang begini, menjadi Dilan itu berat mas dan mbak, biar Dilan saja yang begitu.

Saya punya cara ampuh yang lebih realistis dan sudah terbukti secara ilmiah yang mungkin bisa speed up,bisa membantu mempercepat dalam perjuangan menemukan pasangan anda.

 

Candu Alamiah

Helen E. Fisher, psikolog dari Kinsey Institute, Universitas Indiana menulis sebuah hasil penelitian yang bertitel “Intense, Passionate, Romantic Love: A Natural Addiction? How the Fields That Investigate Romance and Substance Abuse Can Inform Each Other.”

Penelitian tersebut terbit dalam Jurnal Frontier Psychology bulan Mei 2016. Dia menyatakan bahwa “jatuh cinta” adalah adiksi/candu alamiah.

Artinya bahwa proses seseorang jatuh cinta dengan orang yang lain itu mirip dengan proses kecanduan lain seperti bermain video games, berjudi, atau kecanduan belanja yang sifatnya alamiah atau tidak dipicu oleh bahan kimiawi dalam luar tubuh seperti rokok atau obat-obatan terlarang.

Kecanduan ini mengaktifkan salah satu bagian otak yang bernama ventral tegmented area (VTA), yaitu area yang kaya akan dopamine. Dopamine adalah neurotransmitter di dalam otak yang mengatur perasaan bahagia, senang, puas, atau nikmat.

Itu yang dirasakan Milea ketika bertubi-tubi diberikan stimulus “humor yang mengagetkan” dan stimulus “perlindungan atau perbuatan baik” oleh Dilan.

IlustrasiThinkstockphotos Ilustrasi

 

VTA dalam otak Milea akan menyemburkan dopamine secara regular dan itu membuat Milea “kecanduan” atau bahasa kerennya jatuh cinta dengan Dilan. Gejala-gejala kecanduan ini menurut Fisher termasuk ingin “bertemu” terus-menerus (craving), perasaan yang teraduk-aduk (mood modification), ketergantungan fisik dan emosional (emotional and physical dependence), dan menarik diri dari sesuatu yang tidak terkait atau melawan stimulan (withdrawal).

Bahasa kerennya masing-masing adalah rindu, sangat bahagia atau sebaliknya sangat sedih, posesif, dan cemburu. Lebih familiar kan mas, mbak?

Untuk membuat Milea jatuh cinta, Dilan memberikan stimulus yang unik. Misalnya memberikan surat yang isinya jadwal pelajaran sekolah beserta gurunya. Kita bisa lihat stimulus apa yang diberikan Nandan dan Beni, tokoh lain dalam cerita ini yang juga menyukai Milea.

Nandan memberikan hadiah-hadiah seperti boneka beruang raksasa, Beni memberikan perhatian dengan memberikan kue selamat ulang tahun pada Milea tepat pada pukul 12 malam di hari ulang tahunnya atau memberikan potongan puisi Kahlil Gibran.

Padahal tujuannya sama, supaya Milea senang, perempuan senang diberikan perhatian dan diistimewakan.

Tapi stimulus-stimulus Nandan dan Beni sudah mainstream, sudah biasa, hampir semua laki-laki berpikir seperti mereka sehingga Milea tidak terlalu terpesona sedangkan stimulus Dilan lebih unggul karena tujuannya sama tapi dengan cara yang tidak biasa.

Benjamin Franklin Effect

 

Tapi apakah untuk membuat Milea senang kita harus selalu “memberikan” sesuatu? Rupanya, ada cara lain yang lebih sederhana dalam memberi stimulus ini, dengan tujuan sama, efek yang sama, tapi tidak dengan memberi, tapi justru meminta. Lho?

Metode ini dinamakan Benjamin Franklin Effect, dituliskan oleh founding father Amerika Benjamin Franklin dalam autobiografinya “The Private Life of the late Benjamin Franklin”.

Dalam kisah tersebut, Franklin memiliki rival politik yang sama-sama duduk dalam dewan legislatif Pennsylvania, Franklin menyebutnya “Old Maxim”. Orang ini tadinya memperlihatkan permusuhan dan sama sekali tidak tertarik untuk berteman dengannya.

Untuk tidak membuat suasana lebih buruk, Ben menulis surat pada rekannya ini untuk meminjam sebuah bukunya. Sang rival mau dan mengirimkan bukunya melalui kurir ke rumah Franklin.

 

 

Seminggu kemudian setelah selesai membaca, dia mengembalikan lagi bukunya dengan sepucuk surat yang menyatakan banyak terima kasih dan bahwa bukunya sudah banyak membantunya. Ternyata sejak itu rekannya ini mulai mau bicara dengan Franklin, awalnya berdiskusi mengenai bukunya, lalu berlanjut mengenai semua hal yang lain. Mantan musuh Franklin ini kemudian menjadi sahabatnya sampai akhir hayat.

Efek ini juga sudah banyak diteliti oleh psikolog sejak tahun 1969. Penelitian terbaru mengenai hal ini dilakukan oleh Yu Niiya, psikolog dari Universitas Hosei, Tokyo yang diterbitkan dalam The Journal of Social Psychology, vol.156 tahun 2016.

Semua menunjukkan hal yang sama, yaitu ketika misalnya seseorang meminta bantuan pada orang lain, tidak peduli pada awalnya orang lain tersebut suka atau tidak suka ada orang yang meminta bantuan. Setelah dimintai bantuan, orang itu akan cenderung menyukai orang yang meminta bantuan.

Sebagian psikolog menghubungkannya dengan teori Cognitive Dissonance, yaitu secara kognitif manusia akan mengalami konflik apabila ada yang tidak sinkron antara pikiran dan perbuatan sehingga akan mencari pembenaran kognitif untuk mensinkronkan. Misalnya tadinya seorang wanita memiliki perasaan biasa saja dengan seorang pria, tapi kemudian terjadi hubungan interpersonal ketika si pria meminta bantuan kecil pada sang wanita.

Ketika sang wanita mau dan proses ini berulang, sang wanita tidak bisa tidak menyukai si pria. Apabila dia sebelumnya biasa saja atau malah tidak suka maka akan terjadi konflik kognitif, bahwa orang yang kita bantu itu sudah seharusnya orang yang kita sukai.

Sebut saja namanya Maun, teman saya. Maun hampir selalu berhasil memulai hubungan dengan lawan jenis. Sejak masa SMA sampai lulus kuliah, beberapa kali punya hubungan khusus. Semuanya hampir berjalan mulus, mulus mulainya dan mulus putusnya dan tekniknya sama sekali tidak pernah gagal.

IlustrasiThinkstockphotos Ilustrasi

 

Tapi ini kita bicara soal memulai ya, bukan membina hubungan. Itu hal yang lain lagi mungkin lain waktu bisa dibahas disini. Setelah saya pikir-pikir, teknik Maun ini aplikasi langsung dari Benjamin Franklin Effect. Berikut saran dari Maun yang diceritakan ke saya:

1. Pertama, cari tahu apa keahlian kita atau aktivitas apa yang kita senangi. Kalau sudah tahu, dalami lagi hingga benar-benar menguasai. Dalam hal ini Maun senang menulis. Bisa juga keahlian olahraga misalnya basket, sepakbola, keahlian lain seperti berbisnis, pokoknya yang kita sukai.

2. Kedua (opsional), bisa memperkuat tapi tidak harus. Tunjukkan prestasi dalam keahlian kita itu, yang kecil-kecil saja. Misalnya Maun karena suka menulis. Dia mengirimkan tulisannya ke media sekolah atau media kampus, dan dimuat tapi tidak di bayar. Nggak papa, yang penting ada buktinya tulisannya dimuat.

3. Ketiga. Mulai beranikan diri berinteraksi dengan orang yang kita sukai, pastikan juga punya minat di bidang keahlian kita. Bekalnya poin pertama dan kedua. Dalam hal ini Maun ingin menulis buku, keinginan ini bisa niat beneran, atau dibikin beneran untuk alasan pendekatan.

Terserah, yang penting prosesnya nyata, bukan modus. Maun kemudian meminta, sebut saja namanya Wati untuk membantunya menulis beberapa bab, atau membantunya menyunting.

Tentu dengan alasan-alasan yang masuk akal supaya Wati mau. Maun selalu berhasil karena dia (apapun niat di belakangnya) memang ingin menulis buku, plus sangat menguasai soal tulis-menulis, jurnalistik, dan punya karyanya. Jadi ibaratnya “sambil menyelam minum air”.

4. Keempat, buat prosesnya beberapa minggu sampai beberapa bulan, untuk memastikan ada waktu berinteraksi rutin misalnya seminggu dua kali. Dalam proses ini Maun menunjukkan keahliannya tanpa harus pamer. Selalu sampaikan apresiasi sehingga kita selalu bisa menunjukkan rasa terima kasih sudah dibantu. Lalu juga sisipkan bahan obrolan lain, jadi tidak hanya soal proyeknya.

5. Kelima, terakhir, dan yang paling penting. Semua poin diatas tidak akan ada artinya kalau tujuan utama bukan untuk memberikan perhatian lebih dan mengistimewakan calon pasangan kita. Karena nantinya, pasangan kita-lah yang harusnya menjadi orang yang paling istimewa dan paling kita jaga dibanding orang-orang lain selain keluarga kita.

Kalau kita tidak mengacaukannya, terutama sabar dan konsisten khususnya pada poin keempat dan kelima. Proses ini, menurut teman saya tadi, hampir selalu berhasil. Asisten menulis Maun yang terakhir menikah dengannya dan sekarang sudah punya anak lucu-lucu, ditambah lagi buku yang mereka tulis akhirnya terbit. Selamat berjuang mas dan mbak!


Sumber :
https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2016.00687/full

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau