Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Seberapa Penting Membaca, Menulis, dan Menghitung bagi Anak?

Kompas.com - 12/03/2018, 08:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dua puluh delapan tahun yang lalu, saya lulus di sebuah TK swasta favorit di Yogyakarta. Waktu itu orangtua saya mencari SD yang bagus untuk saya, sama persis seperti semua orangtua yang lain, tentu saja ingin anaknya mendapatkan yang terbaik.

Saya kemudian ikut “tes” masuk salah satu SD, favorit juga. Saya masih ingat waktu itu saya sudah pada usia 6 tahun di “wawancara” dan disuruh menyanyi. Sudah. Itu saja. Tentu ada syarat administrasi, seperti jarak dari rumah ke sekolah. Seberapa dekat domisili orangtua dengan sekolah sesuai KTP dan KK.

Hampir saja saya tidak “lolos” karena usia saya masih 6 tahun. Untung saja anak yang usianya lebih dari 6 tahun tidak sebanyak kursi yang ada di sekolah tersebut. Tidak ada pungutan, SPP sebulan 8 ribu rupiah. Alhasil saya dapat kursi waktu itu. Mungkin karena nyanyian saya lebih merdu dari anak 6 tahun yang lain. Saya tidak kepikiran tanya ke guru saya waktu itu kenapa saya akhirnya masuk. Wallahualam.

Proses seleksi dilakukan tidak lebih sebulan dari tahun ajaran baru. Sekarang saya tinggal di Jakarta. Tahun ajaran baru 2018/2019 masih 5 bulan lagi. Poster-poster dan baliho pendaftaran sekolah, terutama sekolah dasar atau TK/PAUD sudah nangkring dimana-mana.

Sudah banyak sekolah open house dan membuka pendaftaran untuk murid baru. Bahkan ada trial class atau kelas percobaan. Orangtua harus merogoh sekian ratus ribu untuk mencoba kelas selama seminggu atau kurang. Orangtua berbondong-bondong menyurvey sekolah terbaik untuk anaknya. Ibu-ibu sibuk berdebat mana sekolah yang paling oke sambil melirik dompetnya.

Tes Calistung

Tentu untuk anak, tebal tipisnya dompet tidak menjadi masalah. Uang bisa dicari. Pihak sekolah tau banget hal ini, sehingga uang pangkal masuk SD bisa sampai puluhan juta. Iya, puluhan juta. Supaya orangtua lebih mantap, gedung dibuat megah, bahasa inggris sebagai pengantar, ada trip keluar negeri, pengajar bule, dll. Tidak kalah dengan biaya sekolah S2 di perguruan tinggi terkenal. Belum SPP per bulannya. Ada uang ada barang.

Tapi itu belum semuanya. Karena pendaftar membludak, harus ada seleksi. Hal ini tidak hanya terjadi di sekolah swasta. Tapi juga di sekolah negeri yang “favorit”. Paling gampang kemudian seleksi dilakukan dengan tes membaca, menulis, dan berhitung (calistung).

Anak yang sudah bisa calistung lebih diprioritaskan dibandingkan dengan anak yang belum bisa. Padahal jelas-jelas peraturan pemerintah no 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan disebutkan. Dalam pasal 69 ayat 5 bahwa penerimaan siswa baru SD kelas 1 atau yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan calistung atau bentuk tes lain.

Penerimaan siswa baru hanya mempertimbangkan dua hal yaitu usia (6 tahun ke atas) dan kedekatan jarak sekolah dengan rumah. Persis seperti proses seleksi yang saya alami 28 tahun lalu. Meski juga ada tes menyanyi.

Lebih seram lagi penuturan direktur jendral pendidikan anak usia dini (PAUD) Sudjarwo yang pernah mengatakan dalam sebuah artikel berita (Republika, 18 Juli 2010) bahwa pengajaran calistung pada anak menimbulkan terhambatnya pertumbuhan kecerdasan mental. Tapi apakah benar demikian?

Kalau benar, kenapa buku pelajaran SD baik kurikulum lama (2006) dan kurikulum baru (2013) masih sarat dengan bacaan dibandingkan gambarnya? Bagaimana mungkin anak dilarang belajar calistung tapi tiba-tiba disuruh membaca karena buku pelajaran “memaksa” anak untuk membaca?

Tapi harus diakui dengan segala kekurangannya, buku pelajaran kelas 1 SD untuk kurikulum 2013 lebih baik, sudah ada buku panduan guru dan pelajaran metode tematik. Bisa dicek di :

1.    http://www.sekolahdasar.net/2013/07/download-buku-pelajaran-sd-kurikulum-2013.html
2.    http://bse.kemdikbud.go.id/buku/kurikulum2013

Belum lagi ketika anak belum bisa calistung belajar di kelas yang semua anak lain sudah bisa calistung karena sudah diajarkan sebelumnya. Anak akan runtuh kepercayaan dirinya dan merasa paling bodoh di kelas. Jelas situasi ini malah akan menghambat pertumbuhan mental anak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com