Mau Sukses? Anda Harus Bodo Amat!

Kompas.com - 20/04/2018, 20:01 WIB
M Latief

Editor

KOMPAS.com - Berapa kali dalam sehari Anda melongok linimasa akun Instagram Anda? Tak terhitung?

Berapa kali dalam sehari Anda mengecek baju-baju, gawai, atau produk apa pun yang sedang "happening" di toko daring? Mungkin juga tak terhitung.

Rasa-rasanya itu adalah keseharian yang telah menjadi wajar saat ini. Walau sekilas terkesan wajar, dampaknya tak seenteng Anda kira.

Manusia modern atau yang selama ini dijuluki Generasi Milenial cenderung lebih cepat merasa tidak puas, bahkan putus asa dengan hidup mereka. Ini semua bisa diurut dari kebiasaan memakai media sosial.

Itulah yang ditangkap oleh Mark Manson, seorang bloger kenamaan asal New York. Baginya kehidupan saat ini menyediakan banyak fasilitas yang tidak pernah terbayangkan 30 tahun sebelumnya.

Ya, siapapun saat ini bisa mendapatkan ponsel dengan kekuatan setara empat buah komputer, berlangganan ratusan kanal televisi, dan bisa bepergian ke mana pun orang mau. Dalam hitungan menit, bahkan detik, semua bisa hadir di depan mata.

Namun, seiring dengan tiada terbatasnya hal-hal yang bisa diperoleh, tidak terbatas pula hal-hal yang bisa membuat orang merasa jelek, tidak sukses, putus asa, dan tidak bahagia. Seringkali, ini menyangkut hal-hal sepele.

Berputar pada hal sepele

Pernah Anda terjebak dalam keresahan Anda sendiri? Merasa tidak percaya diri dengan kulit Anda yang tidak putih? Anda begitu resah, karena kenyataan itu membuat Anda merasa tidak menarik. Begitu resahnya, sampai Anda tidak habis pikir hal itu harus dipikirkan.

Nah, sejenak kemudian, Anda jadi resah karena merasa bersalah, karena harus meresahkan hal yang Anda anggap sepele. Anda mengalami dua keresahan sekaligus!

Kemudian, keresahan itu terus memberati Anda, sebab Anda teramat resah lantaran tidak menemukan cara menyembunyikan keresahan tersebut.

Saat ini banyak orang berputar-putar dengan bermacam keresahan mereka. Padahal, yang diresahkan itu hanya hal-hal sepele. Bukan saja kulit yang tidak putih, orang-orang bisa saja meresahkan hal-hal lain seperti berat badan, merek pakaian, merek ponsel, hingga lengkung alis.

Gara-gara melihat postingan teman atau selebritas yang mereka ikuti di Instagram atau media sosial lain yang semua tampak menyenangkan, mereka jadi merasa kecewa sendiri.

Mereka lalu merasa hidupnya suram dan tidak menarik. Mereka mencoba menutupinya dengan membeli barang-barang paling keren, paling mahal, bahkan paling banyak, untuk dipamerkan, toh perasaan tidak puas masih terus datang.

Kondisi itu diperburuk dengan iklan dan media yang terus membobardir dengan pesan-pesan yang mengajak orang untuk mencari yang lebih lebih kaya, lebih modern, lebih menarik, lebih putih, dan sebagainya.

Kalau Anda sudah punya ponsel pintar terbaru, dalam waktu sebulan muncul lagi ponsel lain yang lebih mutakhir. Tiba-tiba, Anda merasa terbelakang sekian puluh tahun.

Ya, akibat keresahan atas hal-hal sepele itu, orang jadi lupa bahagia. Pengejaran atas terlalu banyak hal tidak penting, mengacaukan tugas dan tanggung jawab yang sesungguhnya.

Memedulikan terlalu banyak hal

Bagaimana menghadapi kondisi semacam ini? Manson menjelaskan sebuah seni yang unik, yaitu 'Seni Bersikap Bodo Amat'.

Dia menulis demikian pada bukunya, Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (terjemahan dari The Subtle Art of Not Giving A F*ck): Kunci untuk kehidupan yang baik bukan tentang memedulikan lebih banyak hal; tapi tentang memedulikan hal yang sederhana saja, hanya peduli tentang apa yang benar dan mendesak dan penting.

Pada buku ini Anda diajak untuk bersikap bodo amat. Melalui buku ini Manson mengajak siapa pun untuk realistis.

Anda hanya perlu menemukan yang Anda anggap sebagai nilai terpenting dalam hidup ini, dan kejarlah. Hal-hal lain yang memberatkan Anda, tidak perlu digubris.

Namun begitu, sikap bodo amat yang diangkat oleh Manson berbeda dengan apatisme atau acuh tak acuh. Dia menjelaskan bahwa bodo amat berarti Anda tetap merasa nyaman ketika dianggap berbeda; bodo amat berarti Anda tidak peduli dengan kesulitan yang menghadang perjuangan Anda; dan bodo amat berarti Anda memperjuangkan sedemikian rupa hal yang Anda yakini.

"Kalau saya bersikap apa adanya, apa jadinya kalau saya dianggap jelek, dan kepercayaan diri saya berkurang? Bukankah saya tidak bisa meraih performa yang baik, jika saya merasa seperti itu?”

Pertanyaan itu pasti akan muncul. Jawaban Manson dalam buku ini sederhana. Hidup ini memang tidak harus seindah postingan pada Instagram, kok.

Mungkin hidup Anda akan sulit, penuh risiko, atau bahkan menyakitkan. Namun, Anda tidak sepantasnya berkecil hati.

Pastikan bahwa kesulitan itu terjadi sebagai risiko dari perjuangan Anda mewujudkan keyakinan Anda. Semua orang akan mengalaminya, jika ingin maju. Yang harus Anda lakukan, lagi-lagi, bersikap bodo amat terhadap kesulitan-kesulitan itu.  

Tak heran, buku karangan Manson ini menuai popularitas cukup lama. Selama satu tahun buku ini bertengger di posisi pertama di Amazon Charts sebagai buku nonfiksi paling laris.

Banyak artis dunia merekomendasikan buku ini. Itu semua berkat pembahasannya secara jujur dan contoh-contohnya yang kekinian. Bahkan, Chris Hemsworth, pemeran Thor besutan Marvel, melontarkan buku ini pada akun Instagram.

Pembahasan seni bersikap bodo amat menjadi bernas, sebab diperkaya dengan aneka referensi. Manson dengan fasih berkisah tentang kisah hidup seorang pejuang Jepang yang keras kepala, Hiroo Onoda, Bukowsky, hingga William James. Ada pula pembahasan tentang filosofi kematian Ernest Becker.

Bukan saja referensi yang memikat, Manson juga memberikan kiat-kiat realistis, mulai Hukum Kebalikan hingga Prinsip Lakukan Sesuatu. Semuanya sangat praktis.

Nah, selamat membaca, dan selamat melatih seni yang adiluhung ini, yaitu seni untuk bersikap bodo amat!

(ADINTO FAJAR/GRASINDO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau