Perhimpunan Pelajar Indonesia
PPI

Perhimpunan Pelajar Indonesia (www.ppidunia.org)

UNBK dan Cara Berpikir Kritis

Kompas.com - 30/04/2018, 07:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TENTU saya bukan siswa yang beberapa waktu lalu menghadapi ujian nasional berbasis komputer (UNBK). Namun, keluhan yang membanjiri akun official Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hingga menjadi headline pemberitaan nasional menjadikannya menarik.

Menarik karena bila menengok bahwa persoalan utamanya, sebagaimana dituturkan oleh Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy, adalah upaya awal pengenalan higher order thinking skill (HOTS) melalui soal-soal UNBK.

Kebijakan Muhadjir ini banyak dikritik karena tidak ada sosialisasi sebelumnya serta ketidaksesuaian antara kisi-kisi yang ditetapkan dan apa yang muncul di ujian nasional. Sehingga, jadilah adik-adik kelas kita melepas gundah pascaujian dengan cuitan-cuitan jenaka hingga viral di media sosial.

Saya tidak bisa menolak UNBK sepenuhnya, meski tentu saja meresahkan bila nantinya kebijakan pemerintah sering diadakan tanpa kesiapan dari masyarakat Indonesia selaku obyek yang dilayani dan paling merasakan dampaknya. Hanya saja, menurut sepengetahuan saya, model pendidikan kritis yang "dadakan" ini sebenarnya memiliki basis teori yang dikenal luas.

Dalam kajian literatur, teori klasifikasi pedagogi kritis milik Robert Ennis merupakan teori utama--yang meski tidak sempurna--namun diikuti dan direplikasi atau menjadi kiblat bagi sebagian besar penelitian dunia.

Salah satu pendekatan pendidikan kritis adalah dengan pemberian tugas atau soal kepada siswa yang menuntut penalaran secara implisit atau tanpa sama sekali sebelumnya diberikan informasi bahwa mereka sedang dilatih kemampuan berpikir kritisnya.

Metode yang disebut Ennis sebagai "imersi" ini dirancang untuk mengejutkan dan secara bersamaan memaksa siswa untuk berpikir secara orisinal, menemukan perspektif baru, dan mencari jalan keluar dari permasalahan yang sama sekali belum pernah dihadapi.

Lebih lanjut, berpikir kritis memiliki suatu indikator ketercapaian belajar, yaitu ketika siswa berpikir secara autentik.

Untuk menuju ke sana, dibutuhkan suatu kondisi mendekati alami yang mampu membawa siswa seketika ke dalam masalah besar yang menentukan "hidup-matinya".

Muhadjir, yang menjabat rektor ketika saya kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), pernah mengajarkan apa yang disebut "metode Eskimo". Konon katanya, orang-orang Eskimo menenggelamkan sejenak bayi-bayi berusia belia ke dalam sungai bersuhu dingin ekstrem agar tubuhnya segera mampu beradaptasi dengan ekstremnya salju.

Terlepas dari akurasi akan apa yang ia katakan, saya menangkap kesan bahwa Menteri Pendidikan kita menyadari bahwa kehidupan itu keras dan selalu hadir tak terduga. Dan, hanya manusia dewasa dan terdidik untuk berpikir kritis dalam segala situasilah yang mampu menghadapinya.

Muhadjir mungkin juga menyadari bahwa critical-thinking memiliki turunan pada dua bentuk kemampuan berpikir tingkat tinggi lainnya, yaitu problem-solving dan creative-thinking. Keduanya vital bagi dunia pendidikan dan industri.

Mengingat pentingnya, berbalik dengan Indonesia dan negara-negara Muslim serta Asia kebanyakan, pendidikan kritis di negara-negara Barat telah menyatu sempurna dengan sistem pendidikannya.

Di kampus-kampus di Australia, atau kampus saya sendiri, Flinders, misalnya, hal ini sangat ditekankan.

Implikasinya, rekan-rekan saya mahasiswa dari negara-negara Asia Tenggara--kecuali Singapura dan Malaysia--penerima Australia Award Scholarship (AAS) menjalani pelatihan berbulan-bulan di Indonesia dan diperkuat lagi di Australia sebelum studi mereka bermula. Salah satu tujuan pelatihan ini adalah mengasah kemampuan berpikir kritis.

Pelatihan ini diadakan karena kesadaran Australia akan gap antarsistem pendidikan mahasiswa internasional dari negara-negara berkembang peserta AAS.

Kebanyakan siswa dari negara-negara dunia ketiga di Asia itu tidak mengenal bentuk formal dari struktur tulisan serta bagaimana pengaruh pilihan kata terhadap intensi dari pesan yang terungkap bagi pembaca. Mereka juga kurang memiliki tendensi untuk menemukan kekurangan dari literatur.

Kekurangan akan kemampuan dan sikap kritis ini menyebabkan mereka "secara alami" gagal menganalisis dan menunjukkan kekuatan serta kelemahan dari suatu argumen, sehingga terkesan melumat mentah-mentah pendapat ahli dari suatu tulisan.

Mengingat bahwa menulis juga diartikan sebagai proses untuk menawarkan inovasi, maka tulisan yang tidak kritis akan menyumbang nihil bagi pengetahuan. Di Barat, cara menulis seperti ini diganjar dengan skor minimal.

Tentu, pengalaman itu menjelaskan mengapa pada awalnya saya kesulitan karena saya termasuk mahasiswa yang jarang terpapar dengan tugas kuliah yang memberi ruang berpikir untuk menemukan suatu gagasan baru.

Bahkan bila ditilik lebih jauh, pendidikan wajib 12 tahun yang saya dan kebanyakan siswa di Indonesia alami hingga kini jarang memberi kesempatan untuk bernalar kritis.

Hal ini terlihat dari metode penilaian yang lebih banyak berbentuk pilihan ganda ketimbang esai atau pertanyaan terbuka.

Selain karena faktor kemudahan untuk mendapatkan nilai kuantitatif, hal ini juga mungkin disebabkan guru-guru kita adalah produk pendidikan tradisional yang sama, yang tidak menjumpai pentingnya daya analisis dalam proses pendidikan mereka.

Karenanya, bagi saya seharusnya berpikir kritis telah diajarkan dan diujikan mulai puluhan tahun lalu sedari sekolah dasar hingga kuliah, dalam pelajaran baik ilmu alam dan sosial. Itu perlu bila Indonesia ingin mengejar ketertinggalan.

Cara-cara pendidikan lama yang menekankan hafalan semata harus secara perlahan diubah. Apalagi bila mempertimbangkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi terbanyak dan diproyeksikan menjadi bagian dari kompas peradaban dunia baru.

Dengan membawa optimisme saya katakan bahwa cita-cita bangsa itu sulit diwujudkan, tetapi bukan mustahil untuk dikabulkan.

Yang dibutuhkan hanya keterbukaan untuk mau melatih satu karunia dari Tuhan yang membuat kita manusia sebagai mahkluk paling sempurna. Akal, tentu saja.

Ahmad Sulaiman

Mahasiswa Master Psikologi Kognitif dan Pendidikan di Universitas Flinders, Australia. Sekretaris Jendral PPI Australia (ppidunia.org) 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau