Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Masih Butuh Banyak 'Tukang Insinyur'

Kompas.com - 14/08/2018, 16:59 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Masih ingat sinetron "Si Doel Anak Sekolahan"? Para pemirsa era itu ingat betul betapa Si Doel justru sulit mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah dan meraih gelar Insinyur. Sebabnya hanya satu. Idealisme, si Doel ingin bekerja sesuai dengan gelar yang ia miliki.

Fenomena insinyur bekerja di luar bidang keilmuan sudah menjadi hal lumrah dan diterima dalam masyarakat kita.

Fakta ini juga dikemukakan Bambang Brodjonegoro Menteri Perencanaan Pembangunan dan Kepala Bappenas dalam Sidang Terbuka Penerimaan Mahasiswa Baru di Kampus UP, Selasa (14/8/2018).

1. Kompetisi berbasis teknologi

"Menghadapi tantangan era digital ekonomi dan industri 4.0, Indonesia membutuhkan banyak engineering atau insinyur. Data yang kami miliki saat ini Indonesia memiliki setidaknya 700 ribu insinyur. Namun hanya 9 ribu yang memang benar-benar bekerja sesuai bidang keilmuannya," jelas Bambang.

Di hadapan lebih dari 1.400 mahasiswa baru UP, Bambang menambahkan Indonesia masih membutuhkan banyak tenaga insinyur yang benar-benar mengabdikan diri pada pengembangan teknologi.

Ke depan, menurut Bambang sumber daya alam tidak lagi relevan menjadi keunggulan sebuah negara. Persaingan ekonomi saat ini lebih kepada kompetisi berbasis teknologi. "Pilihannya saat ini, dalam kompetisi teknologi apakah kita akan jadi pemimpin atau hanya pengikut," tantangnya.

2. Pengembangan sumber daya manusia

Oleh karenanya, pengembangan sumber daya manusia menjadi sangat penting saat ini. "Korelasi antara human capital dan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat penting," ujar Bambang.

Baca juga: Miliki 10 Hal Ini Agar Tidak Menganggur di 2020

Produktifitas nantinya akan ditentukan pada kemampuan sebuah negara dalam mengadaptasi teknologi. Pada saat produktifitas naik maka human capital juga akan turut naik dan akan berdampak pada naiknya kesejahteraan.

Bambang menjelaskan, indikator majunya sebuah negara juga dilihat dari jumlah wirausahawan. "Indonesia saat ini tidak hanya membutuhkan tenaga profesional saja namun juga entrepreneur, termasuk entrepreneur bidang teknologi," kata Bambang.

3. Melahirkan lebih banyak "unicorn"

Inovasi anak bangsa, menurut Bambang tidak kalah dengan bangsa lain. Ia melihat setidaknya sudah ada 4 "unicorn", start up teknologi Indonesia yang mendapat investasi besar secara internasional: Treveloka, Bukalapak, Gojek dan Tokopedia. 

Untuk melahirkan lebih banyak lagi "unicorn", maka Indonesia tidak boleh berhenti pada program "wajib belajar" saja. Dari Bappenas telah merancang tahun 2015-2019 untuk peningkatan sumber daya manusia berkualitas dengan penguasaan ilmu pengetahuan (iptek).

"Diharapkan tahun 2020-2024 kita sudah tidak lagi bicara mengenai penguasaan iptek namun sudah menghasilkan sumber daya manusa Indonesia yang memiliki daya saing dalam iptek," tegas Bambang.

Tantangan terbesar menurut Bambang saat ini adalah masih rendahnya angka akses pendidikan tinggi. Saat ini Indonesia masih berada di peringkat 91dalam akses pendidikan ke pendidikan tinggi.

"Tantangan lain adalah masih rendahnya budaya riset atau inovasi di Indonesia. Di sinilah perguruan tinggi dapat mengambil peranannya dalam menumbuhkan budaya inovasi, riset atau penelitian," harap Bambang.

Bambang mengharapkan di perguruan tinggi akan semakin banyak bermunculan "Science and Techno Park"  yang dapat mendorong munculnya inovasi, terutama inovasi-inovasi yang mempermudah hidup bangsa. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com