Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indy Hardono
Pemerhati pendidikan

Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 

Proklamasi, Sebuah Overture Kebangsaan...

Kompas.com - 20/08/2018, 10:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Latief

KOMPAS.com - Dalam sebuah orkestra, overture atau bagian pembukaan, bagian yang sangat penting. Melalui alunan pembuka ini penonton diajak memasuki alam pikir sang komposer ataupun konduktor.

Lewar overture penonton alam tahu akan dibawa kemana orkestra yang akan berlangsung selama 2-3 jam ke depan.

Begitu juga proklamasi bangsa ini. Proklamasi adalah overture, yang menggigit, menghentak, mengejutkan, membangkitkan, bahkan menyadarkan.

Para pendiri bangsa kita sudah memainkan sebuah overture sangat indah. Overture yang menghentak dunia, karena kita bukan sekadar mendeklarasikan, tapi juga memproklamasikan.

Proklamasi, diambil dari kata proclamare mengandung makna "teriakan keras". Di dalamnya terdapat unsur gairah, agresifitas, dan semangat.

Jadi, proklamasi sungguh sebuah overture yang mengejutkan dan menyadarkan dunia bahwa Indonesia punya sikap dan keberanian, punya warna untuk menentukan nasibnya sendiri.

Overture yang indah ini dibuka dengan pernyataan singkat, tegas dan penuh determinasi yang bernama naskah proklamasi. Proklamasi ini menegaskan orkestra apakah yang kelak akan disuguhkan, entah musik klasik berat seperti karya-karya komposer Bach, atau orkestra easy listening bernuansa romansa seperti David Foster?

Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila adalah bagian penting dalam overture proklamasi itu. Pancasila mengawali proklamasi dan UUD 1945 dalam mengartikulasikan proklamasi.

Tidak Nyambung

Coba kita tengok dan cermati. Bukankah bentuk, tujuan, dan filsafat negara secara eksplisit disebutkan dalam pembukaan UUD 1945? Lalu, mengapa kita tidak berangkat dari situ?

Mengapa gubahan dan komposisi yang dimainkan sekarang sepertinya tidak nyambung dan tidak konsisten dengan overture proklamasi, UUD 1945 dan pancasila?  

Jelas dan lugas disampaikan di dalamnya apa, kemana dan bagaimana bangsa ini? Negara Kesatuan, negara serikat, negara berbasis agama? Atau apa? Semua sudah jelas di dalam overture itu!

Lalu, kenapa overture bernama ekonomi kerakyatan kemudian diikuti gubahan bernama liberal kapitalistik? Bukankah aneh jika overture-nya berubah menjadi kumpulan lagu-lagu Koes Plus kemudian diikuti oleh komposisi dari Bethoven?

Jika dalam overture perekonomian kita yang disebutkan pada pasal 33 di UUD 1945 "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara", kenapa rakyat belum dapat sepenuhnya menikmati itu semua, bahkan 73 tahun setelah overture tersebut dimainkan?

Lalu, mengapa energi bangsa ini habis untuk meributkan siapa yang seharusnya menjadi konduktor orkestra atau bahkan lebih parah lagi membuang uang puluhan miliar untuk meributkan siapa yang pantas memainkan biola.

Uang miliaran "dibuang" untuk sebuah pilkada tingkat kabupaten yang pendapatan daerahnya mungkin lebih kecil dari biaya pilkada itu sendiri. Ini sungguh suatu demokrasi yang teramat mahal dan mencekik rakyat.

Kita memang memilih langsung wakil kita, gubernur kita, presiden kita, tapi sudahkah proses dan spirit demokrasi kita selaras dengan cita-cita proklamasi? Rakyat seakan dipaksa untuk menikmati orkestra musik dangdut yang diawalnya dibuka oleh overture musik klasik.

Lalu, mana komposisi dan gubahan cantik tentang demokrasi yang bernafaskan kedaulatan rakyat dan persatuan Indonesia? Mengapa bukan itu saja yang dipertontonkan di berbagai media oleh semua yang mengatasnamakan rakyat dan menganggap dirinya pantas untuk memimpin orkestra ini?

Standing Ovation

Negara ini tidak perlu overture lagi yang sudah dimainkan dengan sangat ciamik oleh Soekarno, Hatta, dan juga para pendahulu lainnya seperti Cokroaminoto, Muhammad Yamin, Ki Hajar Dewantara dan Wahidin Sudirohusodo.

Yang harus kita lakukan sekarang dan nanti adalah menampilkan komposisi dan gubahan indah yang mengamplifikasi overture tersebut. Telah 73 tahun kita merdeka. Sudah berapa standing ovation kita dapatkan dari rakyat dan dunia?

Apakah kita mampu mendapat standing ovation di tahun 2045 sebagai 'the 4th largest economy' yang dibarengi dengan lompatan Human Development Index (HDI) yang sekarang masih di level 113 dari 188 negara?

Orkestra ini bernama Indonesia. Kita tak perlu overture baru. Yang kita perlukan adalah komposisi dan gubahan yang mengartikulasi dan mengelaborasi overture dan juga seorang konduktor yang dapat memahami, menghayati dan memimpin orkestra tersebut dengan lincah dan penuh kecintaan sehingga di setiap akhir komposisi yang dimainkan penonton akan berdiri untuk sebuah standing ovation, bukan lemparan telur busuk.

Dirgahayu negeriku! Dirgahayu Indonesia ke-73

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com