Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Sekolah Menjadi "Penjara"

Kompas.com - 01/10/2018, 19:52 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com -  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengajak masyarakat melihat pendidikan kesetaraan sebagai alternatif pendidikan formal.

Hal ini disampaikan Mendikbud dalam dalam Rapat Koordinasi Pengembangan Zonasi untuk Pemerataan Kualitas Pendidikan Tahun 2018 Region III, di Medan, Sumatera Utara (22/9) dalam kaitan penyuksesan wajib belajar 12 tahun.

"Yang tidak mau di sekolah, harus dicarikan alternatif yaitu di pendidikan kesetaraan. Sehingga tidak boleh lagi anak usia wajib belajar 12 tahun yang tidak belajar," diungkapkan Mendikbud kala itu.

Namun sayangnya, pendidikan kesetaraan atau yang dikenal dengan kejar paket atau 'home schooling' masih mendapat stigma.

Pendidikan holistik

Di sela-sela peresmian saat cabang Elite International ke-51 di Sunter, Jakarta (29/9/2018), Edward Kim, Chief Academic Officer Elite Education Group menyampaikan bahwa tantangan terbesar dalam dunia pendidikan saat ini adalah "waktu".

"Saya telah berkeliling Asia dan melihat para siswa menghabiskan waktu 6-8 jam waktu mereka di sekolah. Pulang sekolah mereka masih dibebankan dengan kursus-kursus dan masih mengerjakan tugas-tugas sampai di rumah. Lalu kapan mereka memiliki waktu untuk mengembangkan talenta dan mempersiapkan masa depan mereka?" kata Edward kepada Kompas.com.

Baca juga: Guru Honorer Jadi Garda Depan Kualitas Pendidikan di Daerah Terluar

Hal ini sangat jauh berbeda dengan kondisi kurikulum Amerika yang lebih menekankan pada pendidikan yang lebih holistik atau menyeluruh. "Mereka memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan akademik dan juga memberikan kesempatan bagi anak dalam mengembangkan minat bakat dan juga mempersiapkan masa depan," jelas Edward.

Hal senada disampaikan Djoni Kristanto Managing Director Elite Indonesia. "Tidak semua anak cocok dengan sekolah sebagai sebuah sistem pendidikan formal. Ada yang mungkin secara akademik justru tidak dapat berkembang dengan cara pendidikan di sekolah," ungkap Djoni.

Namun sayangnya saat ini sekolah masih menjadi 'mainstream' pola pendidikan yang dianggap paling efektif. Home Schooling masih menyandang stigma 'bukan sekolah sungguhan'.

"Hal ini makin diperparah dengan lulusan home schooling yang sulit melanjutkan ke pendidikan tinggi karena soal akreditasi kelulusan," tambah Djoni.

Fokus mempersiapkan masa depan

Edward Kim, Chief Academic Officer Elite Education Group dalam peresmian cabang Elite International ke-51 di Sunter, Jakarta (29/9/2018). Dok. Kompas.com Edward Kim, Chief Academic Officer Elite Education Group dalam peresmian cabang Elite International ke-51 di Sunter, Jakarta (29/9/2018).

“Umumnya anak-anak Asia mengalami kegagalan atau kalah bersaing dengan siswa Amerika bukan karena mereka kalah pintar. Kalau dipikir tes SAT (Scholastic Aptitude Test tes standar untuk penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi di Amerika Serikat) 'hanya' tes reading dan tes writing," kata Edward.

Edward menambahkan, hal ini dikarenakan kemampuan berbahasa Inggris, kemampuan menganalisa masalah dan mengungkapkan pendapat, kreatifitas serta daya hidup mandiri anak-anak Asia jauh di bawah rata-rata siswa Amerika. 

"Kemampuan literasi bahasa dan digital, berpikir kritis dan berpikir kreatif menjadi kunci dalam menghadapi era Industri 4.0," lanjut Edward. Pola pendidikan yang ditawarkan Elite ini menjadikan Elite sebagai "future education" dalam World Economic Forum 2018 untuk bidang pendidikan.

Djoni menambahkan 3 unit pendidikan dalam Elite yakni Institute, Open School dan Elite International Consulting secara khusus mempersiapkan para siswa untuk fokus secara akademik dan personal untuk mampu bersaing secara global terutama fokus untuk masuk ke 50 universitas terbaik di Amerika.

Peran orangtua menentukan masa depan

Dalam kesempatan yang sama, Caroline Suryaatmadja Branch Director menekankan peran orangtua dalam menentukan masa depan anak. "Banyak anak tidak memiliki gairah, semangat dan motivasi dalam memilih jurusan di perguruan tinggi sesuai minat dan bakat. Akhirnya mereka pasrah dengan pilihan orangtua tanpa memperjuangkan keinginan diri sendiri," jelas Caroline.

Caroline menambahkan, Ini akan berdampak hingga mereka lulus kuliah dan memilih karir di dunia pekerjaan. "Bahkan sampai saat mereka membentuk keluarga dengan pola yang sama, melahirkan generasi yang juga apatis dengan masa depan mereka," tambahnya.

"Kami mengajak para orang tua untuk berpikir lebih jauh demi masa depan dan kebahagiaan anak. Selain itu kami mengajarkan kepada anak-anak untuk mengenali bakat dan potensi diri, kemudian memacu diri belajar giat demi mencapai cita-cita mereka," tutup Caroline.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com