Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Memilih Sekolah Dasar, Apa Saja yang Perlu Dipertimbangkan?

Kompas.com - 15/10/2018, 10:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Tahun ajaran 2019-2020 masih 9 sampai 10 bulan lagi. Masih tahun depan. Namun orangtua sudah mulai panik, khususnya mereka yang memiliki anak berusia 7 atau 6 di tahun mendatang.

Sekolah, khususnya sekolah swasta sudah mulai melakukan “open house”, bahkan sejak bulan September tahun 2018 untuk pendaftaran tahun 2019. Para orangtua mulai gelisah dan terburu-buru.

Mereka berbondong-bondong mendatangi sekolah-sekolah swasta favorit, berburu brosur, bertukar gosip, dan saling membanggakan sekolah sasarannya.

Untuk pendidikan anak, uang bisa dicari

 

“Saya sudah daftar loh mbak di SDIT MajuMundur, di sana gedungnya bagus, fasilitas lengkap, kurikulumnya Cambridge dan Oxford sekaligus”. Pihak sekolah pun cerdik memanfaatkan situasi, baliho-baliho besar dipajang di perempatan jalan.

Spanduk-spanduk bergambar siswanya berprestasi dipajang berdesakan memenuhi pagar sekolah. Si A menang olimpiade fisika tingkat kecamatan, si B juara 3 lomba menyanyi, dan lain-lain.

Untuk anak, tebal tipis dompet tidak masalah. Uang bisa dicari. Pihak sekolah tahu benar hal ini, sehingga uang pangkal masuk SD bisa sampai puluhan juta. Iya, puluhan juta.

Supaya orangtua lebih mantap, gedung dibuat megah, bahasa Inggris sebagai pengantar, ada trip keluar negeri, pengajar asing, dan lainnya. Uang pangkal tidak kalah dengan biaya S2 di perguruan tinggi terkenal. Belum SPP per bulan, ada yang lebih tinggi dari UMR (Upah Minimum Regional) daerahnya.

Ada uang ada barang. Produk asuransi pendidikan pun menjadi produk unggulan perusahaan asuransi. Student loan, pinjaman pendidikan pun mulai banyak terdengar. Kalau perlu untuk bayar sekolah, bisa hutang dulu.

Ketika sekolah menjadi industri

 

Tidak hanya itu, karena pendaftar gelombang satu pun membludak tentu sekolah ingin menerima siswa paling pintar, paling cemerlang dari para pendaftarnya. Semakin moncer anak didiknya, semakin mudah mengklaim sekolahnya mencetak anak-anak berprestasi. Tentu, makin banyak pula spanduk prestasi bisa nangkring di depan sekolah.

Untuk itu sekolah melakukan seleksi, atau observasi, atau apapun namanya. Intinya, anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis, jangan harap bisa sekolah favorit ini. Anak yang sudah bisa membaca, menulis, berhitung (calistung) kemudian lebih diprioritaskan dibandingkan anak yang belum bisa.

Padahal jelas dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 69 ayat 5 disebutkan penerimaan siswa baru SD kelas 1 atau sederajat tidak didasarkan pada hasil calistung atau bentuk tes lain.

Penerimaan siswa baru hanya mempertimbangkan dua hal yaitu usia (6 tahun ke atas) dan kedekatan jarak sekolah dengan rumah. Artinya seleksi yang dilakukan sekolah pada calon siswa didiknya adalah illegal.

Fenomena di atas terjadi karena sekolah sudah menjadi industri. Siswa menjadi komoditasnya. Tujuan pendidikan bukan lagi memberikan ilmu pengetahuan dan kecakapan mencakup budi pekerti (karakter) serta tuntunan bertumbuh sesuai kodratnya. Tujuan pendidikan ini disampaikan Ki Hajar Dewantara pada artikelnya berjudul “Dasar-dasar Pendidikan” terbit pada majalah “Keluarga” bulan November 1936.

Jangan-jangan tujuan akhir pendidikan anak jaman sekarang adalah peningkatan kemampuan kognitif sebagai upaya untuk mencapai keamanan finansial.

Tips memilih sekolah

Jadi saran saya, ketika kita mencari sekolah terbaik untuk anak, kembalikan lagi pada tujuan utama kita sebagai orangtua. Apakah kita menyekolahkan anak untuk membangun karakter anak dan membantu anak mengaktualisasikan bakatnya? 

Atau tujuannya nantinya agar anak dapat mempunyai kesempatan bekerja mapan sebagai dokter, pilot, PNS, karyawan BUMN, atau karyawan perusahaan mentereng? 

Saya kira itu pilihan. Kebetulan saya memilih yang pertama. Jadi saya menghindari sekolah-sekolah yang melakukan seleksi, menyingkirkan anak kurang pintar. Menurut saya visi-misi, budaya sekolah, dan karakter guru pada gilirannya akan turut mempengaruhi perkembangan karakter anak.

Ketika memilih sekolah, saya akan melakukan beberapa hal sebagai berikut. Menurut saya kualitas sekolah bisa dilihat dari visi-misi sekolah, saya akan menanyakannya langsung pada kepala sekolah atau guru.

Hal-hal lain yang bisa diperhatikan adalah perilaku guru dan staf sekolah, termasuk misalnya sekuriti, penjaga kantin, atau sopir antar-jemput. Bagaimana reputasi guru sekolah tersebut, pandangan guru mengenai anak berkebutuhan khusus.

Saya juga akan tanyakan apa arti kata pintar menurut para guru. Apakah ada kasus bullying dan bagaimana penanganannya. Pada sekolah tertentu saya juga menanyakan pandangan guru terhadap nasionalisme dan NKRI.

Terakhir soal infrastruktur, saya hanya akan lihat toilet dan seberapa lengkap koleksi buku perpustakaan sekolah. Itu semua yang menjadi pertimbangan saya menyekolahkan anak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com