KOMPAS.com - Memasuki Era Revolusi Industri 4.0, diperkirakan 35 persen jenis pekerjaan akan hilang tahun 2025, tetapi 65 persen kompetensi baru berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan lahir.
“14,2 juta tenaga kerja saling beremigrasi antar negara ASEAN. Ini merupakan tantangan untuk kita karena kita memiliki wilayah yang sangat luas, penduduk yang jumlahnya sangat banyak, sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, konsumen (pasar) yang besar di mata pengusaha," demikian hal ini disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar “Grand Design Pendidikan di Jawa Barat”, di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat, Jumat (7/12/2018).
Oleh karena itu, lanjutnya, kalau kita mau bersaing di ASEAN, kalau kita tidak pandai-pandai maka kita akan menjadi sasaran konsumen (pasar) bagi negara lain. Contohnya orang Indonesia sekarang kalau berobat ke Penang, padahal dokter-dokternya juga lulusan dari Universitas di Indonesia.
Pemerintah saat ini, dalam rilis yang diterima Kompas.com (9/12/2018), sedang membuat grand design untuk menangani masalah pendidikan secara menyeluruh yakni yang dikenal dengan istilah zonasi.
Baca juga: Mendikbud: Semua Penanganan Pendidikan Akan Berbasis Zonasi
Jumlah zonasi saat ini sudah ditetapkan sebanyak lebih dari 2.500 zona. “Isu yang kita usung yakni pemerataan yang berkualitas. Kita harapkan agar di setiap zona, kualitas pendidikannya rata, tidak boleh ada kesenjangan yang terlalu jauh,” ujar Mendikbud.
Zonasi juga bisa digunakan untuk menata guru. Sekarang ini terjadi ketimpangan jumlah guru di beberapa daerah. Dengan zonasi maka jumlah guru PNS dan honorer harus merata. Selain itu, juga harus ada rotasi.
Untuk guru ASN, maksimum 4 tahun mengajar di satu tempat. Begitu juga dengan kepala sekolah. Hanya guru yang bagus bisa menjadi kepala sekolah, dan hanya kepala sekolah bagus bisa menjadi pengawas.
“Saat ini kami sedang memperjuangkan tunjangan khusus untuk jabatan kepala sekolah dan pengawas. Yang memiliki kedaulatan di masing-masing zona adalah Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)," ujar Mendikbud.
Tentu saja kepala dinas pendidikan tetap memiliki otoritas di dalamnya. Bahkan untuk pembinaan pelatihan guru akan kami turunkan langsung ke zona, jelasnya.
Diungkapkan Mendikbud, saat ini ada 736.000 guru honorer di Indonesia dan terbesar jumlahnya di Jawa Barat.
“Sebenarnya guru honorer adalah guru pengganti pensiun. Akan tetapi guru pensiun tidak pernah diganti karena ada moratorium sehingga tidak boleh mengangkat guru. Akhirnya kepala sekolah memutuskan mengangkat guru honorer dengan gaji dari BOS. Padahal BOS untuk operasional sekolah, bukan gaji guru,” ungkap Mendikbud.
Nantinya, tambah Mendikbud, Aparatur Sipil Negara (ASN) dibagi 2 yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). PPPK lahir karena ada peraturan melarang mengangkat orang berusia lebih dari 35 tahun untuk menjadi PNS.
Gaji dan tunjangannya sama, yang berbeda hanya tidak ada pensiun.
“Kita berharap tahun depan sudah ada PPPK guru. Perlu diingat bahwa tidak boleh lagi ada moratorium guru karena setiap tahun harus mengangkat guru mengganti yang pensiun, menambah jumlah kapasitas karena ada sekolah baru, ruang kelas baru, peserta didik baru, serta ada guru meninggal dunia maupun mengundurkan diri,” terang Mendikbud.
Sebagai upaya peningkatan kompetensi guru, Mendikbud meminta UPI agar para calon guru memiliki minimum menguasai 2 bidang pelajaran, yaitu mayor dan minor.
“Misalnya matematika juga belajar fisika, biologi juga belajar kimia sehingga ketika di lapangan dia punya 2 sertifikat keahlian," imbau Muhadjir.
Saat ini, jumlah mahasiswa Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) mencapai 1.000.600 orang di seluruh Indonesia. Lulusan per tahun antara 250.000-300.000 orang. "Padahal kebutuhan kita tidak sampai 100.000 guru per tahun. Oleh karena itu, kita harus berani melakukan konversi,” pungkas Mendikbud.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.