Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ahmad Rizali
Pemerhati pendidikan

Pemerhati pendidikan, Kabid Pendidikan NU Circle, dan Presidium Gernas Tastaka

Korupsi dan Kepala Sekolah Kita...

Kompas.com - 21/12/2018, 09:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Latief

KOMPAS.com - Kita memang harus terkejut melihat kemampuan siswa Indonesia dalam matematika, sains dan membaca sangat rendah. Itu adalah fakta terbaru berdasarkan hasil survei Indonesia National Assesment Program (INAP) yang dilakukan Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Balitbang Kemendikbud.

Namun, baru juga usai menyaksikan fakta itu, kita sudah disodori lagi dengan ditangkapnya Bupati Cianjur dengan barang bukti Rp 1,5 miliar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Baca: Korupsi Dana Pendidikan Diduga Sudah Sejak Bupati Cianjur Periode Sebelumnya

Menurut KPK uang sebesar itu diserahkan kepada sang bupati sebagai sogokan dari anasir MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) yang semua guru memahami, adalah organisasi para Kasek (kepala sekolah), semacam KKG (Kelompok Kerja Guru) untuk Guru Kelas SD dan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) untuk Guru Mata Pelajaran.

Dus, terang benderang terlihat, bahwa kepala sekolah melalui kelompok musyawarahnya menyogok bupati.

Kepala sekolah adalah Guru yang diberi tugas tambahan sehingga pada dasarnya mereka adalah guru. Lalu, saat jabatan sebagai kepala sekolah itu usai, mereka akan kembali mengajar sesuai aturan.

Oleh sebab itu, kepala sekolah juga memperoleh uang Tunjangan Profesional Pendidik (TPP) alias "uang sertifikasi". Maka, gaji plus TPP dan tunjangan kepala sekolah mestinya mencukupi untuk hidup sebagai guru bersahaja.

Kepala sekolah itu jabatan mentereng, terutama di sekolah favorit. Bahkan, seringkali jabatan ini menjadi rebutan, seperti sekolahnya yang menjadi rebutan orangtua murid.

Tetapi, sekolah favorit itu ibarat BUMN favorit pula, yang tidak mudah bisa menjadi jajaran direksinya, apalagi dirutnya. Demikian pula di sekolah favorit, yang perlu "ongkos" untuk menjadi kepala sekolah di sana.

Tapi, meskipun mentereng, kepala sekolah lebih sengsara ketimbang seorang dirut BUMN yang seringkali bisa "berbagi wewenang" dengan direktur lain. Wewenang kepala sekolah jarang bisa didelegasikan kepada wakilnya.

Ya, kepala sekolah itulah penanggungjawab Anggaran Penerimaan dan Biaya Sekolah (APBS) yang di dalamnya berada dana BOS, BOSDA dan termasuk terpaksa berhutang kepada pemasok ketika dana tersebut belum cair dan berwenang mengatur "sistim pembayaran" agar tak melanggar SOP.

Kepala sekolah pula yang akan pasang badan ketika ada pemeriksaan BPK dan Irjen, "gangguan" LSM dan wartawan, kemarahan Pìengawas, Kadisdik hingga Gubernur/Walkot/Bupati, serta anggota Dewan.

Lantaran kondisi seperti itulah kepala sekolah perlu perlindungan atasan. Sebaliknya, perlindungan itu seringkali tidak gratis, apalagi ketika si kepala sekolah yang sebelum menjabat adalah guru penyelinap dalam anggota tim sukses gubernur, walikota atau bupati.

Maka, terjadilah simbiosis mutualisme di antara keduanya. Kelihatannya, kasus di Cianjur adalah jenis terakhir ini.

Tetapi, yang umum terjadi, kepala sekolah yang seorang guru senior ketika menjabat pada dasarnya, dipaksa sistem untuk mengikuti pakem yang tak mengikuti kaidah tata kelola sekolah yang baik atau "good school governance".

Ya, seringkali pilihannya adalah pembelajaran di sekolah akan macet atau terpaksa melanggar aturan. Ada kepala sekolah yang nekad dan tak mau mengikuti pakem "musik sumbang" dengan risiko melorot kembali menjadi "hanya" seorang guru.

Tetapi, lebih banyak lagi, selama menjadi kepala sekolah, mereka bersikap solider kepada koleganya di MKKS untuk tetap bermain "musik sumbang" itu dengan risiko dihadapi bersama dan berharap perlindungan dari atasannya, meski kenyataannya tak sedikit kepala sekolah yang dikorbankan ketika terjadi kasus korupsi.

Tata Kelola Sekolah 

Persoalan terbesarnya, sekolah bukanlah institusi "subject to audit". Dinas pendidikanlah yang harusnya diaudit.

Sekolah melaporkan penerimaan dan penggunaan uangnya secara "cash basis" kepada dinas pendidikan, seperti laporan keuangan masjid yang disampaikan setiap awal ritual shalat Jumat.

Dengan demikian, sangat sering kepala sekolah tak faham nilai aset sekolah dan memiliki bendahara sebanyak sumber dana masuk. Ada Bendahara BOS, bendahara BOSDA, bendahara Paku Foundation dan lain-lainnya sehingga tak ada sekolah negeri yang mempunyai satu laporan keuangan entitas sekolah atau laporan keuangan terpadu. Tidak ada!

Karena ketiadaan sistem laporan keuangan terpadu tersebut, kecenderungan adanya salah kelola sangat mungkin terjadi dan kepala sekolah berada dalam posisi terlemah dari relasi kerja birokrasi kepala sekolah-pengawas-subdinas-dinas-gubernur/walikota/bupati sehingga karena anggaran umumnya ditujukan ke sekolah, maka kepala sekolah seperti posisi pengepul dalam relasi kerja industri sampah daur ulang, bahkan lebih sengsara karena pengepul masih punya kemerdekaan sikap, sementara kepala sekolah tidak.

Sejatinya, ketiadaan sistem administrasi dan keuangan sekolah yang terpadu adalah "dosa" Kemendikbud yang tak mewajibkan dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) agar sekolah menggunakan sistem yang siap diaudit oleh Kantor Akuntan Publik tersebut, meskipun dinas pendidikan sebagai subyek audit sudah tentu menggunakan Sistim Akuntansi Keuangan Pemerintahan.

Tapi, dihitung-hitung lagi, "dosa" itu harusnya tidak hanya menimpa Kemendikbud, tapi juga juga Kemendagri yang "membawahi" gubernur, walikota dan bupati. Jika mendagri memerintahkan setiap daerah membuat laporan terpadu, maka dana alokasi khusus transfer daerah sekitar 64 persen dari 20 persen dana pendidikan setiap tahun dan dana BOS serta BOSDA akan mudah dikendalikan dan menolong kepala sekolah yang baik untuk menghindari potensi sewenang wenang atasan langsung mereka.

Bayangkan, betapa sengsaranya seorang kepala sekolah ketika harus memberikan servis ke semua jenjang "upliner" dan terakhir harus menyetor sekian miliar rupiah langsung kepada oknum "ndoro" gubernur/bupati/walikota.

Adapun dana yang tidak bisa dimainkan hanyalah TPP yang langsung masuk ke dalam rekening pribadi para guru. Selain itu, seratus persen proses terserah kepada kepala sekolahnya sehingga salah satu cara mencegah terjadinya korupsi grarifikasi seperti ini adalah dengan mewajibkan sekolah mempraktikkan prinsip "Good School Governance".

Good School Governance adalah pengelolaan administrasi sekolah yang transparan dan akuntabel secara terpadu dan bisa dikonsolidasi oleh dinas pendidikan provinsi untuk dikmen atau pendidikan menengah dan dinas pendidikan kabupaten/kota untuk dikdas (pendidikan dasar). Ini adalah sebuah sistem yang sudah seharusnya didukung penuh oleh Kemedikbud, Kemendagri dan Kemenkeu, serta KPK. Mutlak harus didukung!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com