Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dian Purnomo
Penulis

Penulis.

Mangga Indramayu dan Eksploitasi Tubuh Perempuan

Kompas.com - 12/01/2019, 20:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APA yang muncul di kepala tentang Indramayu? Mangganya yang enak? Perempuannya yang cantik? Atau keduanya secara bersamaan?

Dua tahun lalu, pada saat menyelesaikan tugas akhir kuliah, saya menghabiskan beberapa waktu tinggal di Indramayu untuk mengumpulkan data.

Indramayu—satu kabupaten di Jawa Barat—bukan tempat yang asing buat saya. Sebelumnya, bersama OnTrackMedia Indonesia, saya wara-wiri di sana untuk melakukan kampanye migrasi aman.

Mendengar reputasi mangga yang enak sampai cerita eksploitasi perempuan di sana, sudah bukan hal baru lagi bagi kami.

Saking bangganya Indramayu terhadap produksi mangga di wilayahnya, jika Anda mengunjungi kota kecil ini maka hampir pasti akan melewati Tugu Mangga di wilayah Simpang Lima. Persimpangan jalan ini adalah jalur wajib dari arah Barat menuju Cirebon atau ke Balongan.

Di desa Bongas tempat saya melakukan penelitian, setiap rumah memiliki pohon mangga. Ketika sedang kompak berbuah semua, pohon-pohon mangga ini menjadi suguhan mata yang indah.

Namun, tidak pernah terpikir bahwa orang akan menghubungkan mangga dengan subyek penelitian saya, yaitu perempuan khususnya anak perempuan yang dilacurkan. Sampai, salah seorang narasumber menyampaikan kaitan itu dalam wawancara.

Perempuan Indrayamu itu seperti mangga, Bu,” kata informan tersebut, yang tetap melanjutkan ceritanya bahkan ketika melihat mata saya sudah nyaris keluar setengah.

Jadi gini lho. Mangga Indramayu itu kan sudah tidak perlu dipertanyakan lagi kelezatannya. Jadi banyak pedagang mangga yang suka ngaku-ngaku kalau mangganya dari Indramayu, padahal bukan. Nah, perempuannya juga gitu. Karena yang terkenal enak, bersih, dan cantik, mohon maaf, ya perempuan Indramayu, makanya banyak yang ngaku-ngaku dari Indramayu.”

Kemudian, dia menambahkan kalau sebenarnya sekarang ini sudah tidak banyak lagi perempuan apalagi anak dari Indramayu yang luruh duit. Ini istilah yang dipakai untuk menghaluskan pekerjaan sebagai orang yang dilacurkan.

Menurut dia, rata-rata yang bekerja ke luar daerah itu bekerja di pabrik atau jadi asisten rumah tangga.

Bisa jadi informan saya benar. Karena pendataan yang kacau, siapa pun bisa memiliki identitas lebih dari satu. Karenanya, orang mudah saja mengaku dari Indramayu, asalkan KTP-nya berbunyi begitu.

Namun, pernyataan bahwa tidak banyak lagi anak dan perempuan yang dilacurkan itu sangat debatable. Penelitian saya masih menemukan kasus anak yang dilacurkan, ada lebih dari dua anak di satu desa.

Maka, ini berarti masalah eksploitasi seksual anak khususnya di Indramayu masih belum selesai. Tidak bisa berlega dan bangga hati dengan mengatakan sudah tidak banyak lagi anak yang dilacurkan.

Konstruksi sosial

Kembali ke mangga. Cara bapak tadi menganalogikan perempuan seperti mangga itu rasanya sangat menyedihkan. Dan rupanya si bapak ini bukan satu-satunya orang yang berpendapat serupa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com