APA yang masih menjadi perbincangan hangat publik, khususnya di media sosial, setelah debat kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang mempertemukan dua calon presiden (capres), beberapa hari lalu?
Tampaknya, salah satu yang paling melekat di benak publik adalah penyataan capres nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi), yang dinilai “menyerang” lawan debatnya, capres nomor urut 02, Prabowo Subianto, soal kepemilikan lahan ratusan ribu hektar di Kalimantan Timur dan Aceh.
Serangan Jokowi itu begitu melekat di benak publik karena hentakannya datang tiba-tiba dan sama sekali tidak bisa diprediksi.
Saat itu, Prabowo menyampaikan posisinya terkait reforma agraria sembari mengkritik pendekatan bagi-bagi sertifikat tanah yang dilakukan pemerintah sebagai tidak menyelesaikan inti masalah. Tiba-tiba, Jokowi membalasnya dengan informasi soal lahan yang dikuasai Prabowo sembari menyatakan hal itu tidak terjadi di eranya.
Bagi mereka yang mendamba debat capres di Indonesia memakai format debat “berdarah” capres Amerika dengan para kandidat saling serang satu sama lain, gaya attacking Jokowi itu laiknya oase dari keringnya nuansa dramatik dari pelaksanaan debat pertama Pilpres 2019.
Dalam debat pertama pun, Jokowi konsisten bermain ofensif lewat isu calon anggota legislatif Partai Gerindra yang dia sebut banyak diisi mantan napi koruptor.
Sebaliknya, performa Prabowo dalam menanggapi serangan-serangan Jokowi dinilai terlalu dingin dan mengecewakan. Prabowo menanggapi serangan itu dengan gaya normatif dan tidak melakukan serangan balik.
Tanggapan Prabowo memicu kekecewaan mereka yang ingin mendapatkan tontonan debat “berdarah”, tidak saja di kalangan publik tetapi bahkan di internal pendukung Prabowo sendiri.
Pertanyaannya, mengapa Prabowo tidak menyerang balik Jokowi?
Pada awalnya, saya menilai penampilan “dingin” Prabowo dalam debat pertama dan kedua Pilpres 2019 lahir dari pemahamannya atau saran dari para penasihatnya, tentang dua hal.
Pertama, pemahaman tentang hakikat debat capres dan dampak elektoralnya. Kedua, pemahaman mendalam Prabowo tentang medium televisi.
Terkait hal pertama, dalam banyak literatur, dampak debat politik pada pilihan politik dianggap sangat kecil.
Sebagaimana dipaparkan ilmuwan politik Thomas Holbrook (1996), persepsi dari kebanyakan penonton debat capres sangat dipengaruhi kecenderungan politik mereka sebelum debat. Karenanya, tegas Holbrook, alat ukur paling baik untuk menebak pandangan penonton tentang siapa yang memenangkan debat adalah dengan melihat preferensi politiknya.
Karenanya, seusai debat kita bisa melihat riuh rendah klaim para pendukung masing-masing kandidat bahwa kandidat yang didukungnya memenangkan debat.
Saya menilai Prabowo dan timnya mengetahui hal ini sehingga tidak terlalu menganggap serius serangan lawan debatnya karena adanya keyakinan bahwa debat tidak terlalu berpengaruh pada pilihan massa yang telah mendukungnya sebelum debat.