Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indy Hardono
Pemerhati pendidikan

Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 

Ternyata, Kita Rindu Bung Hatta...

Kompas.com - 15/04/2019, 18:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Latief

KOMPAS.com - Banyak rujukan tentang kepemimpinan, pemimpin dan memimpin. Namun, menelusuri rujukan satu ini, seperti menyadarkan bahwa, kita mulai sering memanjakan pemimpin dengan puja-puji kering logika.

Ya, kita telah mengubah definisi dan menyederhanakan arti pemimpin. Kita tidak lagi menuntut pemimpin untuk memimpin.

Adalah Muhammad Hatta, sosok yang seringkali luput dari lampu sorot dan halaman pertama lembar-lembar sejarah negeri ini. Cerita tentang Hatta sering kali hanya sebatas cerita tentang seorang co-proklamator dan Bapak Koperasi.

Wajar saja. dari sisi fisik, Hatta sudah tenggelam di balik sosok Bung Karno yang karismatik. Di samping Bung Karno si orator ulung, Hatta terlihat sangat minor. Tak tersirat sedikit pun sosok pria Minang punya aroma militansi ataupun karakter seorang pendobrak.

Dia sosok yang tidak open page seperti Soekarno. Hatta terkesan sebagai antithesis dari dirinya sendiri.

Hatta militan dan pragmatis, namun tetap diplomatis dan filosofis. Sosok kecil yang tak banyak senyum, namun penggagas ide-ide besar dan revolusioner.

Mendapat pendidikan tinggi di luar negeri menjadikan Hatta seorang yang multi facet. Dia terpapar dengan berbagai ideologi seperti Marxisme, Sosialisme, Liberalisme, Islami, yang membuatnya sangat pragmatis dan nilai-nilai yang dianutnya sangat bearoma "barat".

Namun, Hatta sangat puritan dalam beribadah. Dia tak menyentuh alkohol. Ia berpikiran "barat", namun tidak kebarat-baratan.

Satukan, gelorakan, gerakkan

Memimpin adalah mempersatukan jiwa. Memimpin adalah menggerakkan daya, dan memimpin adalah menggelorakan cita.

Hatta adalah pejuang di garis depan yang berani menggerakkan dan menggelorakan  persatuan dan hasrat merdeka. Tak tanggung-tanggung, panggung yang dipakainya adalah mahkamah pengadilan di Den Haag dan lakon yang dibawakan adalah Indonesie Vrij – Indonesia Merdeka!

Sebuah pledoi, narasi pembelaan yang maha dasyat, mengecam Pemerintah Belanda atas ekploitasi rakyat sekaligus penangkapan terhadap dirinya dan pelajar Indonesia lain yang sedang studi di Belanda, yakni Nazir Pamoentjak dan Ali Sastroamidjojo.

"Bahwa penjajahan Belanda akan berakhir, bagiku itu pasti. Itu hanya soal waktu dan tidak soal ya atau tidak. Janganlah Nederland mensugesti dirinya sendiri, bahwa penjajahannya akan tetap sampai akhir zaman".

Sungguh suatu kecaman yang menggetarkan jiwa dan tikaman, langsung ke jantung pemerintah kolonial saat itu.

Pledoi berdurasi 3 jam itu disusun dan dibacakannya di Belanda pada waktu ia masih berusia 26 tahun! Eropa terpukau, tanah air tersentak, dan orang Indonesia mulai bergerak.

Pemimpin tidak cukup hanya memiliki ilmu. Dia juga harus pandai meramu dan meracik ilmu itu, bak seorang apoteker.

Banyak ahli hukum teritorial di negeri ini, tak terhitung ahli ekonomi dan pakar bidang aquaculture dan juga ahli pengindraan jarak jauh. Namun, kita belum memiliki "juru racik" yang piawai untuk membuat racikan yang mampu merubah predikat negara kepulauan menjadi negara maritim tangguh.

Bung Hatta adalah seorang peracik ilmu. Dia tak puas hanya dengan ilmu ekonomi yang digelutinya di Handelshogeschool atau Sekolah Tinggi Bisnis di Rotterdam yang sekarang dikenal sebagai Erasmus University of Rotterdam.

Jauh sebelum ada konsep intradisciplinary, interdisciplinary dan transdiciplinary, Bung Hatta sudah asyik berselancar dalam dunia multidisiplin.

Ya, gagasannya tentang ekonomi kerakyatan dan pengakuan kedaulatan dari Pemerintah Belanda pada 1949 adalah beberapa hasil "racikan" ilmu dan keahlian Hatta.

Baginya, memimpin adalah membangun demokrasi. Hatta juga seorang politikus. Tapi, ia berpolitik dengan cara seorang scholar.

Dia lebih percaya membangun demokrasi dengan kaderisasi melalui pendidikan. Tanpa gegap gempita orasi dan pawai, tak perlu bersandar pada dalil ketokohan.

Bagi Hatta demokrasi politik tak akan berjalan tanpa demokrasi ekonomi. Memimpin tidak harus selalu dikerumuni dan dielu-elukan rakyat. Namun, kebijakannya harus selalu prorakyat. Itulah arti sebenarnya Kedaulatan Rakyat.

Namun, pemimpin tidak menggagas ide usang. Dia mampu mentransformasikan bangsa.

Bung Hatta hanya butuh 13 tahun setelah pledoi Indonesie Vrij dilantangkan di Den Haag untuk mengantar negeri ini kepada kemerdekaan. Buah pikirnya menuai berbagai karya monumental seperti naskah proklamasi dan landasan konstitusi ekonomi kerakyatan dalam UUD 1945.

Bagi Hatta demokrasi politik tak akan berjalan tanpa demokrasi ekonomi. Memimpin tidak harus selalu dikerumuni dan dielu-elukan rakyat. Namun, kebijakannya harus selalu prorakyat. Itulah arti sebenarnya Kedaulatan Rakyat.INDY HARDONO Bagi Hatta demokrasi politik tak akan berjalan tanpa demokrasi ekonomi. Memimpin tidak harus selalu dikerumuni dan dielu-elukan rakyat. Namun, kebijakannya harus selalu prorakyat. Itulah arti sebenarnya Kedaulatan Rakyat.
Tutur yang tertatar

Lisan dan sikap Bung Hatta terjaga. Dia tidak menggebu dan bergemuruh, namun sanggup menujam kalbu.

Tutur kata Hatta lembut. Walau akhirnya ia undur diri dari pemerintahan, tak pernah ia mengkritik Soekarno secara frontal di muka publik.

Dia juga dikenal luwes berdiplomasi, bak seorang gelandang dalam kesebelasan. Namun, Bung Hatta dapat menyerang bak seorang striker dengan tikaman tajam narasinya.

Tulisan-tulisan dahsyatnya ada di Majalah Hindia Poetra yang dirintisnya dengan para pelajar Indonesia di Belanda. Itu adalah amunisi perjuangannya.

Ya, Hatta memang tak pernah berhenti menulis. Sepanjang hayatnya dia menulis. Tak kurang  dari 800 tulisan terhitung sejak ia berusia 16 tahun sampai 77 tahun.

Sejatinya, kita rindu Bung Hatta. Kita rindu figur multidimensi ini hidup kembali. Kita rindu pemimpin yang bijak ucap dan pikirnya. Yang tidak menggadang wacana, namun bicara nyata.
 
Kita rindu pemimpin yang jarak pandangnya melampaui zaman, yang mampu melihat Indonesia secara utuh, tak bersekat.

Hatta bukan suatu anomali. Dia adalah rujukan "sahih" bagi sebuah kepemimpinan nasional. Tak cukup satu zaman dan berpuluh buku untuk menggambarkan sosok, pemikiran dan nilai – nilai yang dianutnya. 

Reinkarnasi Hatta rasanya suatu kemustahilan. Putaran waktu tidak memberi kemewahan seorang Hatta dalam setiap generasi, apalagi di setiap gelar demokrasi 5 tahunan.

Namun, suatu masa nanti, Hatta dapat "terlahir" kembali. Bukan esok, entah kapan. Alamlah yang akan menentukan. Tugas kitalah yang akan menekan tombol pikir dan menghidupkan saklar naluri untuk mencari pemimpin sejati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com