KOMPAS.com – Saya pernah merasa muak karena harus seharian duduk di perpustakaan sembari membaca daftar bacaan yang seabrek. Saya merasa muram ketika winter yang dingin dan gelap ditambah harus mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Kalimat tersebut menjadi uneg-uneg salah satu mahasiswa magister asal Indonesia yang sedang menempuh studi di Jerman.
Ribuan kilometer berada jauh dari rumah dan kejenuhan menghampiri, banyak hal yang terasa berat. Namun, tekad untuk menempuh studi S-2 tentu tetap harus berlanjut.
Kisah mahasiswa tersebut dipaparkan bersama cerita dari 20 orang lebih mahasiswa lainnya dalam buku 'Perantau Ilmu Amerika-Eropa'.
Mereka adalah para mahasiswa yang kebanyakan menempuh studi magister atau doktor di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Belgia.
Nah, apakah ada juga teman Anda yang sedang kuliah di luar negeri saat ini? Terbesitkah rasa iri melihat foto-fotonya mereka di media sosial karena bisa belajar dan jalan-jalan di luar negeri?
Memang, kelihatannya sangat prestisius dan menyenangkan. Tapi, tunggu dulu, sebenarnya ada beragam cerita perjuangan mahasiswa demi melanjutkan kuliah di luar negeri. Itu bukan hal gampan!
'Perantau Ilmu Amerika-Eropa' adalah buku yang mengupas pengalaman masing-masing pelajar Indonesia dengan cukup lengkap. Berikut beberapa catatan perjuangan yang bisa dirangkum dan perlu diketahui di balik "nikmatnya" kuliah di negeri orang.
Perjuangan pendaftaran
Bagaimana sih cara mendaftar kuliah S-2? Jika Anda masih bertanya seperti itu ke teman Anda, bisa disimpulkan Anda belum benar-benar niat dan mempersiapkan diri untuk meraih S-2.
Jawaban dari pertanyaan tersebut dengan mudah dapat ditemukan melalui mesin pencari Google.
Umumnya, syarat mendaftarkan diri untuk S-2 adalah memiliki transkrip nilai yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, personal statement essay, surat rekomendasi, dan nilai IELTS atau TOEFL.
Belum lagi harus pandai pula mengatur waktu belajar IELTS di antara kesibukan lain seperti bekerja dan mengurus keluarga.
Setelah persyaratan lengkap dan mendaftar, maka yang ditunggu selanjutnya adalah surat penerimaan atau Letter of Acceptance (LoA). Tentu menyenangkan kalau Anda berhasil mendapat LoA. Tapi, ada juga cerita mahasiswa yang tidak diterima alias tidak dapat LoA dari universitas pilihannya.
Perjuangan awal lainnya adalah memburu beasiswa. Pada buku Perantau Ilmu Amerika-Eropa ada juga cerita mahasiswa yang ditolak tiga kali dari berbagai beasiswa yang sudah didaftarkannya.
Akan tetapi, dengan keinginan untuk S-2 di luar negeri yang tak surut, akhirnya beasiswa pun bisa diraih.
Mandiri dan proaktif
Belajar di luar negeri menuntut diri menjadi lebih mandiri dari segi akademis dan juga dalam mengatur kehidupan sehari-hari, misalnya mengatur keuangan.
Pada urusan belajar, misalnya, banyak cerita yang menekankan kalau menjadi mahasiswa internasional harus bisa aktif di kelas!
Dalam hal berkomunikasi sehari-hari, beberapa kisah mahasiswa menceritakan kalau tidak usah terlalu pusing dengan grammar Bahasa Inggris. Hal yang penting saat bercakap-cakap tersebut adalah percaya diri, lalu bisa memahami dan dipahami.
Selain wajib membaca bahan kuliah, pentingnya komunikasi perlu dilakukan di kelas dengan percaya diri guna membahas topik yang sudah dipelajari. Diskusi pun wajib dilakukan bersama dosen dan juga teman sekelas.
Selain itu, saat tugas kelompok juga tidak boleh sama sekali gabut atau gaji buta alias tidak bekerja karena beban pekerjaan sudah diatur sedemikian rupa agar merata dalam satu kelompok.
Menjadi minoritas, menghadapi rasisme
Perlu diingat, belajar di luar negeri berarti juga membawa identitas diri sebagai Warga Negara Indonesia. Sebuah cerita menarik di dalam buku ini memaparkan, kalau apa yang akan disampaikan di kelas berarti Anda juga membawa sudut pandang dari pengalaman diri sebagai warga Indonesia.
Tak lupa pula penjelasan ke mahasiswa asing lainnya kalau Indonesia sendiri terdiri dari beragam suku bangsa dan budaya, serta memiliki penduduk dengan populasi ke-4 terbanyak di dunia.
Isu-isu perlakuan rasis pun sempat terdengar oleh para mahasiswa internasional. Seorang pelajar sempat mengalaminya satu kali selama masa studinya di Jerman.
Ada warga lokal yang mendadak menggebrak meja dan memperingatkan untuk berbicara dengan Bahasa Jerman, bukan Bahasa Inggris. Saat itu, sepertinya orang tersebut mendukung kubu sayap kanan di Jerman yang cenderung rasis terhadap warga asing.
Namun, pengalaman tersebut hanya satu kali dan lebih banyak warga lokal yang ramah dan mau membantu.
Menikah, hamil, dan melahirkan saat kuliah
Kisah menarik lainnya ketika kuliah di luar negeri datang dari pelajar yang sudah menikah, berkeluarga, atau hamil dan melahirkan di sana. Bukan main perjuangannya dalam belajar dan membagi waktu juga untuk persiapan melahirkan.
Belum lagi, ada pasangan yang harus mengurus pindah rumah ke kota lain karena perbedaan selesai waktu kuliah. Tantangan-tantangan seperti ini bisa saja terjadi pada calon mahasiswa internasional lain.
Ternyata, cukup berat tantangan dan perjuangan yang perlu digeluti para pelajar Indonesia ketika masa studinya di luar negeri. Melalui banyaknya lika-liku kisah para pelajar, buku Perantau Ilmu Amerika-Eropa bisa menjadi sumber inspirasi dan informasi untuk Anda yang mau belajar di luar negeri.
Utamanya, para perantau ini tetap tidak menyerah dari berbagai keadaan dan bertekad kuat untuk terus belajar, menuntaskan tujuannya dalam mengenyam pendidikan tinggi.
Anda masih bersemangat kan meraih beasiswa? Simak buku Perantau Ilmu Amerika-Eropa yang ditulis oleh PPI Dunia dan diterbitkan oleh Elexmedia Komputindo ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.