BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan DanaRupiah

“Soft Skill”, Modal yang Tak Bisa Ditawar pada Era Disrupsi Digital

Kompas.com - 01/05/2019, 07:27 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

 

KOMPAS.com – Angka partisipasi pendidikan formal di Indonesia masih belum menggembirakan meskipun telah ada peningkatan.

Pada tingkat pendidikan SMK dan SMA pada 2017, nilainya 82,84 persen. Jumlah ini meningkat dari 2016 yang tercatat hanya 80,89 persen.

Di samping itu, pendidikan tinggi pada 2017 berada di 29,93 persen, atau meningkat dari periode sebelumnya yakni 27,98 persen.

Bahkan, Buku Statistik Pendidikan Tinggi 2017 memaparkan, dari total 6.924.511 mahasiswa terdaftar, sebanyak 195.176 mahasiswa drop  out dari kampusnya.

Dari angka tersebut, kontribusi terbesar adalah dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan persentase sebesar 96 persen. Sedangkan, Perguruan Tinggi Negri (PTN) berkontribusi 4 persen atau sisanya.

Daftar angka-angka itu menjadi pertanyaan, hal apa yang menjadi hambatan untuk menggapai pendidikan di Indonesia?

Latar belakangnya beragam. Nyatanya, salah satu alasannya disebabkan oleh biaya yang belum dapat dijangkau oleh sebagian besar masyarakat.

Menaikkan taraf hidup

Selain meningkatkan hard skill, pendidikan penting untuk mendapatkan pengembangan soft skill. Hal-hal tersebut lah yang nantinya dapat dijadikan modal oleh mereka untuk menaikkan taraf hidup.

Sayangnya, soal keterjangkauan biaya masih jadi pekerjaan rumah yang belum juga terselesaikan.

Meskipun ada beasiswa, atau lembaga pendidikan gratis sekalipun, biasanya ada beragam syarat dan keterbatasan kuota.

Belum lagi bagi mereka yang berada pada wilayah jauh dari kota-kota besar. Pendidikan makin sulit untuk digapai.

Cara terbaik ialah mencari alternatif pendidikan seperti pelatihan atau kursus. Sayangnya, soal keterjangkauan biaya juga tak dapat dipastikan.

Utamanya, karena sistem pembiayaan pada lembaga non-formal seperti itu tidak menawarkan beasiswa sebagaimana yang diberikan oleh pendidikan formal.

Oleh karena itu, mencari alternatif pembiayaan bisa jadi solusi utama. Sayangnya tak banyak yang menyediakan.

Satu dari perusahaan yang menyediakan jasa itu adalah PT Layanan Keuangan Berbagi melalui situsnya DanaRupiah sebagai salah satu layanan financial technology.

Dengan menggandeng beberapa lembaga pendidikan, program tersebut dapat jadi jalan keluar bagi generasi muda yang ingin menuntut ilmu, atau keterampilan tetapi terkendala finansial.

Ilustrasi MahasiswaSHUTTERSTOCK Ilustrasi Mahasiswa

“Sebagai perusahaan pembiayaan peer to peer (P2P), DanaRupiah merasa memiliki kewajiban untuk ikut dalam memajukan dunia pendidikan di Indonesia,” ujar Direktur DanaRupiah Wahyu S Ariyanto pada Kompas.com beberapa waktu lalu.

Ia juga berharap, dengan program ini, mereka tak hanya dapat membantu kebutuhan konsumtifnya saja, melainkan juga dapat membantu kebutuhan produktif.

“Pinjaman pendidikan ini untuk orang-orang yang ingin menuntut ilmu,” sambungnya.

Ia juga menjelaskan, program tersebut rencana diluncurkan pada Mei 2019. Adapun lembaga pendidikan yang dimaksud adalah yang berkecimpung di bidang training atau pelatihan.

Namun, tak menutup kemungkinan ke depannya dapat juga mencakup lembaga pendidikan formal.

Saat ini, perusahaan yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu mengunggulkan produk P2P lending dan branchless financial product yang fleksibel dan ramah konsumen.

Menyongsong era disrupsi digital

Pendidikan sebagaimana telah dibahas, juga penting untuk menyongsong era disrupsi digital seperti saat ini.

Seperti diketahui, era itu melahirkan tren-tren baru. Di antaranya adalah pola pekerjaan yang bergeser.

Pada sebuah perusahaan, posisi pekerjaan  tertentu bisa jadi berubah karenanya. Hal yang tadinya tak terpikirkan, bisa jadi menjadi pekerjaan penting dan menjadi prioritas di zaman ini.

Agar tak tergerus dengan zaman dan dapat meningkatkan daya saing, penyesuaiannya ada pada soft skill. Itulah kenapa mengikuti pendidikan non-formal, seperti kursus atau pelatihan dan seminar bisa jadi salah satu cara untuk mengejar soft skill.

Ibaratnya dalam hal ini, soft skill adalah modal yang tak bias lagi ditawar.

Nah, kalau minat ikut pelatihan untuk pengembangan soft skill sudah jadi niat, lalu metode pembiayaannya pun sudah ada, tak sulit lagi bukan untuk menjangkau pendidikan?

 


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com