Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rhenald Kasali: Akademisi Percaya "Quick Count", Akan Kawal Persatuan

Kompas.com - 01/05/2019, 08:01 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali meminta semua pihak menahan diri membuat kegaduhan pascapemilu yang telah memasuki masa penghitungan suara KPU (Komisi Pemilihan Umum).

Di sela-sela acara pengukuhan Guru Besar President University Prof. Joni Oktavian di Auditorium Dinas Pariwisata Kabupaten Bekasi, Cikarang (26/4/2019), Rhenald Kasali juga meminta para kandidat menghormati apapun hasil keputusan KPU.

Hargai suara rakyat

"Para kontestan harus siap menang siap kalah. Masing-masing kandidat harus percaya diri, itu cerminan dari leadership. Jadi kalau tidak percaya diri, kalau sekarang main salah-salahan ini bukan saatnya," ujar Rhenald kepada Kompas.com.

Ia melanjutkan, "Kalau sekarang, biarkan rakyat tenang. Capek 9 bulan kampanye situasi gaduh, capek."

Baca juga: Tiga Hal yang Perlu Dievaluasi dari Pemilu Serentak Menurut Akademisi

"Indonesia menganut sistem sedemikian rupa sehingga 1 suara saja lebih dari yang lain sudah pasti menang. Oleh karena itu sekarang hargai suara rakyat. Apalagi nanti kalau kita lihat hasilnya berbeda jauh, itu harus kita hormati," ujarnya.

Jadi stop kegaduhan, jangan bikin ramai di jalan. Tahan diri dan rekonsialiasi," tegasnya.

Pemilu berbasis teknologi

Terkait banyaknya petugas pemilu yang meninggal, Guru Besar UI ini melihat bahwa tugas ini memang tidak mudah dan meletihkan. 

"Memang meletihkan. Kita yang mencoblos saja meletihkan. Kita memilih nama, setelah itu mereka (petugas) menghitung. Belum lagi tuduhan. Mereka takut salah. Apalagi satu hari sebelumnya mereka harus sudah ada di sana. Kita hormati, ini tidak mudah," ujarnya.

Rhenald menyarankan tetap mempertahankan proses pemilu saat ini di mana pemilihan presiden dan legislatif dilakukan bersamaan.

"Kalau menurut saya tetap disatukan, tetapi sistemnya nanti akan lebih baik dengan sistem online menggunakan teknologi. Dunia sudah berubah kok," kata Rhenald. 

Ia menambahkan, "Malaysia itu sudah membangun koridor IT-nya tahun 96, Indonesia baru membangun 2015 Palapa Ring. Jadi kalau Malaysia sekarang sudah siap karena tahun 1996, Indonesia tahun 2024 harusnya sudah siap. Sekarang ujian nasional saja sudah pakai komputer semua."

 

Akademisi kawal kejujuran dan persatuan

Terkait polemik quick count yang berkembang, Guru Besar UI menyampaikan, "Kalau akademisi kami percaya dengan quick count. Sains itu yang kami ajari. Kalau mengajar S3 kami selalu memeriksa hal itu. Bagaimana samplingnya, prediksa bagaimana. Itu alat kontrol."

Ia menyampaikan, "Dunia akademisi tidak mau ada keributan. Dunia akademisi akan kawal persatuan, akan mengawal kejujuran, akan mengawal hal yang sifatnya fairness."

"Harapan kami tahan diri. Jangan saling mengancam. Walaupun kami juga membaca ancaman ini hal hanya merupakan bentuk-bentuk deal. Ajukan syarat yang tinggi, ancaman, setelah itu satu-persatu mundur," lanjutnya.

Rhenald menjelaskan, "Real count di KPU nanti kalau sudah 50-an persen dalam sains akan terjadi yang namanya titik belok. Pada saat menjelang titik belok akan ada yang nyalip duluan. Koalisi dari yang kalah akan balik badan, akan merapat. Perlahan-lahan akan terjadi seperti itu."

"Dan lama-lama setelah itu, 'ya sudah lah kita terima sajalah'," tutup Rheinald.    

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com