Dinda Lisna Amilia
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

Pendidikan yang Membebaskan dalam Bingkai Film

Kompas.com - 02/05/2019, 17:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

CARPE diem! Frasa ini menjadi moto yang paling mengubah hidup enam murid Akademi Welton dalam film Dead Poets Society yang legendaris itu.

Kendati sudah 20 tahun film tersebut berlalu, film yang dirilis pada 1989 tersebut nampaknya masih sangat relevan dengan kondisi pendidikan Indonesia sekarang.

Carpe diem, yang berarti seize the day atau "petiklah hari", adalah sebuah frasa yang meyakinkan kita untuk melakukan yang terbaik pada hari ini, ekstremnya, karena kesempatan akan esok hari belum tentu ada.

Pesan tersebut disampaikan oleh seorang guru bahasa Inggris bernama John Keating, yang diperankan oleh mendiang Robin Williams.

Tak ayal, frasa tersebut juga diterjemahkan Keating dalam metode belajar praktik yang kontras dilakukan para guru pada umumnya.

Metode mengajar anti-mainstream seperti belajar di luar kelas, sambil main sepak bola, hingga menyobek sebuah halaman yang dianggapnya tak relevan dengan nilai-nilai pelajaran yang diajarkannya.

Model belajar seperti itu memang kurang tepat diterapkan di sekolah berbasis nilai-nilai militer seperti dalam Akademi Welton, hingga resistensi pun mulai nampak.

Yang ingin saya sampaikan adalah, apa yang ingin diajarkan oleh Keating adalah proses berpikir ala freethinkers.

Di sana para murid dibiarkan berpikir secara bebas, mempunyai beragam perspektif, hingga berani mengambil risiko untuk mengejar mimpinya.

Sayangnya, metode belajar yang membebaskan logika berpikir anak menjadi sesuatu yang kurang lazim dilakukan di Indonesia.

Di negara kita yang elok ini, anak kecil tak ubahnya seperti mahluk yang didoktrin bahwa matematika adalah pelajaran yang harus mereka kuasai, bahwa jurusan-jurusan saintek adalah jurusan yang harus mereka kejar nantinya.

Padahal, salah satu efek dari paksaan dalam pendidikan adalah bahwa hal itu menghancurkan orisinalitas dan minat intelektual.

Keinginan akan pengetahuan biasanya menjadi kewajaran bagi kaum muda, tetapi umumnya bisa menghancurkan fakta bahwa mereka diberikan lebih dari yang mereka inginkan atau dapat diasimilasi (Bertrand Russel: 1932).

Belajar memang menjadi kewajiban bagi seorang anak. Namun, orangtua atau sekolah sebaiknya tidak perlu menjadikan belajar sebagai beban. Apalagi untuk anak berkebutuhan khusus atau yang punya kepribadian unik.

Di negara-negara berkembang pada umumnya, pendidikan dirancang untuk pribadi ekstrover yang mudah mengungkapkan ekspresinya secara verbal.

Namun, untuk kepribadian introver, sekolah yang memaksa mereka mengeluarkan pendapat dan bersosialisasi malah akan menghancurkan inner peace seorang anak introver itu sendiri. Atau, misalnya, anak berkebutuhan khusus level ringan seperti disleksia.

Cerita tentang seorang anak disleksia yang struggle dalam proses belajar-mengajar dipaparkan dengan apik dalam film India berjudul "Tare Zameen Par" (Like Stars on Earth).

Film yang dibintangi dan disutradarai oleh Aamir Khan ini bercerita tentang seorang anak bernama Ishaan yang menderita disleksia, Ishaan ini juga bersekolah di sekolah umum.

Nahasnya, lingkungan keluarga dan sekolah tidak mengetahui Ishaan mempunyai disleksia.

Yang mereka tahu, Ishaan hanyalah anak bermasalah yang kurang pandai dan tidak bisa menangkap semua instruksi yang diberikan oleh para guru.

Dalam konteks pendidikan, Ishaan pun menjadi korban. Seorang anak kecil yang diperlakukan semena-mena oleh ketidaktahuan orang-orang dewasa di sekitarnya.

Para orangtua dan pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan seharusnya menyadari bahwa semua anak tidak seharusnya diperlakukan sama, apalagi dalam metode belajar.

Orangtua juga tidak perlu membanding-bandingkan anak-anaknya karena semua anak punya keahlian dan keunikan yang berbeda-beda.

Yang harus orangtua lakukan adalah membantu anak-anaknya menemukan bidang yang cocok untuk anaknya sehingga bila nilai sang anak tidak memenuhi targetnya, yang disalahkan bukan sekolah.

Di sekolah, anak sudah berusaha menunaikan kewajibannya. Kendati tempat mereka bersekolah juga belum tentu sudah memfasilitasi minat mereka pada hal-hal spesifik.

Presiden pertama Tanzania Mzee Nyerere mengatakan, sekolah itu kebun. Mirip dengan konsep Maria Montessori, Friedrich Frobel, dan Jean Piaget yang pernah bilang kiasan serupa. Namun, terlalu detail memfokuskan pada lembaga pra-sekolah bagi TK.

Bapak Pendidikan Nasional Indonesia Ki Hadjar Dewantara juga menggunakan sebutan yang sama, yaitu Taman Pendidikan, meski dalam praktik nyatanya masih tetap pada lembaga pendidikan formal (Topatimasang: 1998).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau