Jangan Salah, Balita "Horang Kaya" Juga Bisa Terkena Stunting, Kenapa?

Kompas.com - 26/05/2019, 11:17 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Data menarik diungkap Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2018: 20 persen anak-anak dari kalangan sosial-ekonomi menengah ke atas Indonesia juga mengalami stunting

Fakta ini disampaikan dalam diskusi “Pendidikan Gizi dan Generasi Emas Indonesia 2045” yang diadakan Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) Regional Centre for Food and Nutrition (RECFON) di Gedung SEAMEO, Kedokteran UI Salemba, Jakarta (24/5/2019).

Selain faktor kemiskinan, rendahnya edukasi pendidikan gizi, sanitasi, kesehatan reproduksi, dan keluarga berencana ditengarai menjadi penyebab masih tingginya angka stunting di Indonesia yang saat ini menduduki peringkat ke-2 di ASEAN di bawah Timor Leste.

Dialami keluarga menengah atas

“Kemiskinan memang salah satu faktor, tetapi ditelusuri lebih dalam lagi, ternyata pendidikan gizi, sanitasi, kesehatan reproduksi, dan keluarga berencana lebih berpengaruh,” tutur Grace Wangge, Manajer Riset dan Konsultasi SEAMEO RECFON.

Hal ini dibuktikan data Riskesdas 2018 yang menyatakan 20 persen anak-anak dari kalangan sosial-ekonomi menengah ke atas, atau yang kerap disebut netizen 'horang kaya', Indonesia juga mengalami stunting.

Baca juga: Kominfo: Pemerintah Bekerja Keras Menurunkan Stunting

Penyebabnya adalah makanan yang dikonsumsi tidak bergizi. Cenderung lebih banyak karbohidrat, gula, dan lemak seperti dari goreng-gorengan. Pemberian makanan secara tidak proporsional ini berlangsung semenjak anak diberi makanan pendamping ASI.

 

Hal senada ditegaskan Umi Fahmida, peneliti utama SEAMEO RECFON, "Kenapa anak orang kaya bisa stunting, karena ibunya melakukan pola asuh salah. Saat anaknya lahir, tidak diberikan ASI eksklusif banyak digantikan susu formula, makanya pertumbuhan anaknya berbeda dengan anak normal lainnnya."

Umi menyebutkan dua analisis baru-baru ini menunjukan bahwa anak yang disapih sebelum usia 6 bulan mempunyai potensi tinggi mengalami stunting.

Stunting anak keluarga perokok 

Dalam diskusi, merujuk hasil analisis data Indonesian Family Life Survey (IFLS), SEAMEO RECFON menyampaikan kemungkinan anak dari keluarga perokok menjadi stunting lebih besar dari anak keluarga tanpa perokok. 

Hal ini diperkuat hasil studi Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, anak-anak dari keluarga perokok kronis memiliki kecenderungan tumbuh lebih pendek dan lebih ringan dibandingkan dengan anak dari keluarga tanpa perokok.

"Belanja rokok di Indonesia menjadi pengeluaran terbesar ketiga dalam rumah tangga yakni 12,4 persen dari pengeluaran rumah tangga. Ini setara dengan dengan jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli sayur-mayur sebanyak 8.1 persen serta telur dan susu yang hanya 4.3 persen”, ujar Umi.

Ia melanjutkan, “Bayangkan, kalau yang 12,4 persen itu disisihkan akan sangat berkontribusi keragaman pangan yang bermanfaat bagi peningkatan gizi anak. Uang itu bisa dibelikan sesuatu yang berguna, mungkin dibelikan telur, ikan, sayur dan buah,” tegasnya.

Hal ini mendorong SEAMEO RECFON dan The Union-Bloomberg bekerja sama melakukan studi untuk menilai potensi peningkatan pajak dan cukai rokok dan mendorong pemanfaatannya untuk program gizi terkait pengentasan stunting di Indonesia.

Stunting, bahaya "pembunuh senyap"

Diskusi ?Pendidikan Gizi dan Generasi Emas Indonesia 2045? yang diadakan Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) Regional Centre for Food and Nutrition (RECFON) di Gedung SEAMEO, Kedokteran UI Salemba, Jakarta (24/5/2019).Dok. SEAMEO RECFON Diskusi ?Pendidikan Gizi dan Generasi Emas Indonesia 2045? yang diadakan Southeast Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO) Regional Centre for Food and Nutrition (RECFON) di Gedung SEAMEO, Kedokteran UI Salemba, Jakarta (24/5/2019).

Grace Wangge mengingatkan dalam jangka panjang, stunting tidak hanya mengakibatkan masalah pada masa depan balita stunting itu sendiri.

“Stunting akan menjadi masalah trans-generasi, dimana ibu yang pendek, cenderung akan mempunyai juga anak yang stunting”, ujar peneliti yang juga dokter lulusan UI ini.

Grace menambahkan, “Di usia produktifnya kelak, balita stunting akan mempunyai daya saing yang lebih rendah dibandingkan sumber daya manusia (SDM) negara lain yang memiliki balita sehat karena rendahnya fungsi kognitif mereka.”

Hal ini kembali ditegaskan Umi, "Stunting merupakan 'silent killer'. Tidak seperti penyakit lain yang langsung kita rasakan dampaknya, stunting memengaruhi tumbuh kembang anak dan kesehatannya hingga masa dewasa," ujar Umi kepada Kompas.com.

"Berdasarkan hasil penelitian, anak stunting memiliki income learning (kemampuan menyerap pembelajaran), 25 persen lebih rendah dibandingkan temannya yang lain," ujarnya.

Umi menambahkan, stunting akan menghambat pertumbuhan otak yang memengaruhi perkembangan kecerdasan anak dan juga meningkatkan risiko penyakit seperti diabetes dan penyakit lain karena pertumbuhan yang terhambat mengakibatkan kelainan sel pankreas.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau