Namun, prestasi di perlombaan saja tidak cukup. Indonesia perlu mengembangkan--meminjam istilah Jawaharlal Nehru--perangai ilmiah atau scientific temper.
Ini bisa mulai dari kebijakan-kebijakan yang berbasis data dan bukti (evidence-based policy) dan penguatan elemen riset di universitas dan lembaga pemerintah dengan menaikkan belanja riset (research and development budget) negara.
Negara-negara maju sudah memetik buah dari investasi riset mereka, misalnya dalam bidang pengadaan sumber energi terbarukan, kendaraan rendah emisi karbon, dan penemuan-penemuan di bidang kesehatan.
Indonesia sebagai negara berkembang yang masih mengimpor beras dan banyak kebutuhan alat elektronik dan kendaraan bermotor dari Thailand dan negara Asia Timur, seperti China, Jepang, dan Korea, bisa memulai mengencangkan investasi riset dari hal yang mendasar seperti bahan pangan dan sandang, industri obat dan kosmetik, lalu industri yang lebih high-tech lagi.
Indonesia belum terlambat untuk membangun industri strategis berbasis teknologi. Indonesia harus punya mimpi memproduksi kebutuhannya sendiri mengingat Indonesia adalah pasar yang besar.
Jangan sampai Indonesia hanya menjadi pasar perkembangan smartphone, keluaran mobil terbaru, atau ladang proyek infrastruktur negara lain.
Hari ini kita melihat bisnis berbasis teknologi informasi dan e-commerce sedang naik daun. Namun, secara riil pemerintah tidak punya saham di perusahaan-perusahaan tersebut.
Pemerintah seharusnya tidak berpuas diri melihat kesuksesan anak bangsa meningkatkan geliat ekonomi dengan unicorn yang sepenuhnya didanai oleh swasta.
Pemerintah justru seharusnya berbenah dan melirik potensi industri dalam negeri yang berbasis teknologi, sumber daya alam, juga kerajinan.
Indonesia kaya akan potensi sumber daya alam dan sudah punya stok orang-orang pintar yang capable untuk membangun pabrik tekstil, obat, kosmetik, alat elektronik, bahkan otomotif sendiri.
Pemerintah cukup mengumpulkan para insinyur berpengalaman, master dan doktor yang sudah disekolahkan negara lewat LPDP, serta investor untuk duduk bersama memetakan apa yang akan dikerjakan dalam jangka pendek dan menengah.
Harapannya, produk-produk lokal sudah bisa jadi pemain utama di negeri sendiri sebelum 2045, menyisihkan pemain besar asing seperti Unilever dan Toyota.
Berikutnya, harapan-harapan besar pada pemerintah tentu tidak akan berjalan optimal tanpa partisipasi aktif para intelektual muda menyicil membangun portfolio dan ekspertisenya.
Setidaknya, ada tiga pekerjaan rumah yang harus dipikirkan bersama para intelektual muda jika ingin melihat percepatan positif pada pembangunan Indonesia secara riil dan mengakar selain perkembangan fisik/luaran yang merupakan atas pinjaman lunak luar negeri.
Pertama, belajarlah sampai tuntas. Jika menjadi seorang ahli adalah mimpimu sejak kecil, maka belajarlah sampai tuntas. Seorang ahli tidak harus menjadi dosen.