Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Perhimpunan Pelajar Indonesia
PPI

Perhimpunan Pelajar Indonesia (www.ppidunia.org)

Apa yang Bisa Dilakukan Para Intelektual Pasca-pilres?

Kompas.com - 26/05/2019, 22:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Bening Tirta Muhammad

KOMISI Pemilihan Umum telah merilis hasil perhitungan suara Pemilu 2019 tapi perjuangan kedua kubu pendukung belum berakhir. Bukan untuk melanggengkan polarisasi, tetapi untuk terus mengawal kebijakan.

Yang tidak kalah penting adalah pertarungan ide dan track record yang akan terjadi pada tahun-tahun mendatang dan mewarnai peta politik, ekonomi, dan budaya Indonesia.

Salah satu hal yang akan mengisi lembar baru perjalanan Nusantara itu adalah keberadaan para intelektual Tanah Air.

Setidaknya, per hari ini sudah ada 20.000 orang lebih yang dinyatakan mendapatkan kesempatan kuliah pascasarjana di dalam dan luar negeri lewat beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan.

Mereka ada yang akan, sedang, dan sudah menyelesaikan studinya. Jumlah itu akan terus bertambah dengan dibukanya penerimaan beasiswa LPDP tahun 2019.

Itu artinya ada puluhan ribu orang berpendidikan tinggi dan para ahli (intelektual) yang akan mengisi kantung demografi muda Indonesia di masa datang, taruhlah lima tahun mendatang pada 2024.

Namun, kapasitas intelektual-intelektual muda ini tidak akan berkembang pesat tanpa difasilitasi oleh pengondisian lewat inisiatif pemerintah maupun masing-masing individu.

Di antara sumber-sumber daya manusia berkualitas, kita tidak mau doktor rumpun ilmu sosial sebatas berkarier di lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional tanpa kontribusi langsung memengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia.

Kita juga tidak ingin para prodigy (orang genius) yang berpuas mendalami bidang eksakta keahliannya tanpa membantu percepatan pembangunan lewat bagi ilmu maupun kolaborasi strategis.

Jangan pula para ahli teknologi informasi, bisnis, dan manajemen konsultan punya mimpi menaiki jenjang karier di perusahaan multinasional, seperti Google, McKinsey, IBM, atau Accenture, tanpa terbersit keinginan membuat perusahaan teknologi dan konsultan merek sendiri, buatan dalam negeri.

Diskusi soal pilihan karier dan benefit finansial memang hal abu-abu di mana urusan dompet ditabrakkan dengan mimpi idealis yang disampaikan lewat aplikasi dan wawancana beasiswa.

Jalan tengahnya adalah di mana pun kita berkarier saat ini, pastikan kita punya rencana (exit strategy) yang jelas. Anggaplah kita sedang "mencari pengalaman", yang nanti bisa mengamplifikasi dampak (impact) yang bisa kita sumbangkan bagi pembangunan Indonesia.

Indonesia sebagai bangsa yang peduli akan pembangunan SDM secara perlahan juga harus menggemakan kembali semangat kemandirian bangsa.

Jika dilihat dari prestasi olimpiade sains dan lomba penelitian internasional, delegasi Indonesia hampir selalu membawa pulang medali.

Namun, prestasi di perlombaan saja tidak cukup. Indonesia perlu mengembangkan--meminjam istilah Jawaharlal Nehru--perangai ilmiah atau scientific temper.

Ini bisa mulai dari kebijakan-kebijakan yang berbasis data dan bukti (evidence-based policy) dan penguatan elemen riset di universitas dan lembaga pemerintah dengan menaikkan belanja riset (research and development budget) negara.

Negara-negara maju sudah memetik buah dari investasi riset mereka, misalnya dalam bidang pengadaan sumber energi terbarukan, kendaraan rendah emisi karbon, dan penemuan-penemuan di bidang kesehatan.

Indonesia sebagai negara berkembang yang masih mengimpor beras dan banyak kebutuhan alat elektronik dan kendaraan bermotor dari Thailand dan negara Asia Timur, seperti China, Jepang, dan Korea, bisa memulai mengencangkan investasi riset dari hal yang mendasar seperti bahan pangan dan sandang, industri obat dan kosmetik, lalu industri yang lebih high-tech lagi.

Indonesia belum terlambat untuk membangun industri strategis berbasis teknologi. Indonesia harus punya mimpi memproduksi kebutuhannya sendiri mengingat Indonesia adalah pasar yang besar.

Jangan sampai Indonesia hanya menjadi pasar perkembangan smartphone, keluaran mobil terbaru, atau ladang proyek infrastruktur negara lain.

Hari ini kita melihat bisnis berbasis teknologi informasi dan e-commerce sedang naik daun. Namun, secara riil pemerintah tidak punya saham di perusahaan-perusahaan tersebut.

Pemerintah seharusnya tidak berpuas diri melihat kesuksesan anak bangsa meningkatkan geliat ekonomi dengan unicorn yang sepenuhnya didanai oleh swasta.

Pemerintah justru seharusnya berbenah dan melirik potensi industri dalam negeri yang berbasis teknologi, sumber daya alam, juga kerajinan.

Indonesia kaya akan potensi sumber daya alam dan sudah punya stok orang-orang pintar yang capable untuk membangun pabrik tekstil, obat, kosmetik, alat elektronik, bahkan otomotif sendiri.

Pemerintah cukup mengumpulkan para insinyur berpengalaman, master dan doktor yang sudah disekolahkan negara lewat LPDP, serta investor untuk duduk bersama memetakan apa yang akan dikerjakan dalam jangka pendek dan menengah.

Harapannya, produk-produk lokal sudah bisa jadi pemain utama di negeri sendiri sebelum 2045, menyisihkan pemain besar asing seperti Unilever dan Toyota.

Berikutnya, harapan-harapan besar pada pemerintah tentu tidak akan berjalan optimal tanpa partisipasi aktif para intelektual muda menyicil membangun portfolio dan ekspertisenya.

Setidaknya, ada tiga pekerjaan rumah yang harus dipikirkan bersama para intelektual muda jika ingin melihat percepatan positif pada pembangunan Indonesia secara riil dan mengakar selain perkembangan fisik/luaran yang merupakan atas pinjaman lunak luar negeri.

Pertama, belajarlah sampai tuntas. Jika menjadi seorang ahli adalah mimpimu sejak kecil, maka belajarlah sampai tuntas. Seorang ahli tidak harus menjadi dosen.

Belajar tuntas maksudnya sampai punya track record yang diakui dunia. Belajarlah sampai tuntas dengan menjadi postdoctoral researcher di universitas atau peneliti penuh waktu di lembaga penelitian atau sosial.

Dengan begitu, dalam waktu dekat Indonesia dapat memiliki orang-orang berkaliber dunia dan tidak perlu mengimpor tenaga ahli atau konsultan asing dari negara-negara maju.

Kedua, terlibatlah aktif mengawal kebijakan. Intelektual muda yang sudah terbekali skill riset dan pemikiran kritis selama studinya harus terlibat aktif dalam mengawal kebijakan, entah itu sebagai staf ahli, mitra konsultan pemerintah, kritikus lepas, atau bahkan terjun dalam politik praktis di parlemen.

Lebih dari itu, para alumni dari kampus luar negeri tentu pulang ke Indonesia tidak hanya dengan ijazah dan nilai yang baik, tetapi juga sejuta pengalaman dan pengamatan best practice dari negara tempat studinya baik itu dari interaksinya dengan teman dan dosen, maupun proses belajar di kegiatan/organisasi luar kampus.

Terakhir, tanamkan pola pikir bertumbuh (growth mindset). Saat generasi muda milennial menggaungkan jargon tujuan dan arti hidup (purpose) di atas gaji (paycheck), sebagian anak muda akan melewati fase adaptasi saat memulai keluarga baru dan mengusahakan kemapanan.

Namun, napas idealis tidak seharusnya padam oleh kesibukan domestik. Alokasikan waktu untuk mencicil portfolio kebaikan dan mengembangkan keahlian kita di balik layar di sela-sela kesibukan bekerja supaya dapur ngepul.

Pada waktunya nanti, pada 2024 atau setelahnya, intelektual-intelektual muda Indonesia akan punya setumpuk portfolio kebaikan, pengalaman dan keahlian yang terasah, wawasan yang solid tentang esensi bernegara serta tujuan pembangunan Indonesia--menjadi bangsa yang mandiri--dan kemudian memberi warna pada peta politik, ekonomi, dan budaya negeri sendiri.

Bening Tirta Muhammad
Peneliti doktoral di Energy Research Institute @ NTU, Nanyang Technological University, Singapura, menyelesaikan studi Master di The University of Manchester, Inggris, dengan Beasiswa LPDP

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com