Soal PPDB 2019, Pengamat: Solidkan Koordinasi Pusat dan Daerah

Kompas.com - 19/06/2019, 07:01 WIB
Erwin Hutapea,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

 

KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memutuskan untuk menerapkan sistem zonasi pada Pendaftaran Penerimaan Siswa Baru (PPDB) 2019.

Sistem ini mengatur bahwa jarak dari rumah ke sekolah sebagai syarat utama, bukan nilai rapor dan ujian nasional.

Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, aturan zonasi semula diterapkan pada PPDB 2018 dan diperketat lagi pada 2019. Pengetatan aturan itu diperkuat melalui Peraturan Mendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB. 

Dia menegaskan, sekolah wajib menerapkan PPDB sistem zonasi untuk 90 persen dari siswa baru, sedangkan jalur prestasi akademik dan non-akademik memliki kuota 5 persen.

Hilangkan "favoritisme"

“Dapat pula dipakai untuk kuota 5 persen sisanya bagi pelajar mendaftar ke sekolah di luar zona mereka,” ucap Muhadjir dalam keterangan tertulis, Selasa (15/1/2019).

Menanggapi hal itu, pengamat pendidikan Ahmad Rizali berpendapat bahwa sistem zonasi layak untuk dilaksanakan untuk meniadakan keberadaan sekolah favorit.

Baca juga: Antre dari Pukul 05.00, Kekagetan Orang Tua Siswa soal Zonasi PPDB

“Saya pro dengan sistem zonasi karena favoritisme sekolah itu membunuh mereka yang marjinal,” kata Ahmad ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (18/6/2019).

Sebelumnya sekolah favorit pernah dilaksanakan di Indonesia, salah satunya dalam bentuk Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), tetapi kemudian dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada 2013.

Menurut dia, belum banyak pihak yang mengerti tentang pelaksanaan sistem zonasi pada PPDB kali ini, termasuk oleh para kepala daerah. Ketidakmengertian itu menimbulkan protes dari mereka, selain karena adanya faktor kepentingan masing-masing.

“Esensi sistem zonasi belum dipahami banyak gubernur dan bupati atau wali kota. Tentu karena berbagai kepentingan, mereka memprotes sistem ini,” imbuh Ahmad.

Solidkan koordinasi Pusat - Daerah

Kepentingan dimaksud yaitu memasukkan anggota keluarga dan kerabatnya ke sekolah favorit di daerah masing-masing.

Dia pun menyoroti bahwa pemerintah pusat dan daerah belum menyatu dalam pelaksanaan sistem zonasi, salah satunya belum ada lembaga yang bisa memberi solusi jika terjadi masalah di lapangan.

“Ternyata pemerintah pusat (Kemendikbud) dan daerah (Dinas Pendidikan) belum solid dan jelas belum membuat clearing house, yaitu lembaga bersama yang menyelesaikan urusan yang timbul saat pelaksanaan dan itu niscaya terjadi,” jelasnya.

Saat ditanya tentang menjaga kualitas sekolah karena tidak adanya lagi sekolah favorit, Ahmad menuturkan, keberadaan sekolah favorit pun tidak menjamin kualitas sekolah tersebut. Menurut dia, kualitas suatu sekolah ditentukan dari para siswa, bukan proses pendidikannya.

“Apakah dengan adanya sekolah favorit mutu juga terjaga? Bukan proses yang menjadikan mereka bermutu, tetapi karena asupan murid-muridnya. Tujuan ketiadaan sekolah favorit adalah agar sistem sekolah berjalan dengan baik,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau