KOMPAS.com - Empat mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menciptakan sebuah alat irigasi penepis embun upas yang biasanya muncul di dataran tinggi.
Mahasiswa angkatan 2017 itu terdiri dari Kholishotul Ma'rifah, Setyawati, Denis Tio Yudhistira (Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem) dan Muhammad Fiqi Rohman (Elektronika dan instrumentasi).
Proyek mahasiswa di bawah bimbingan dosen Fakultas Teknologi Pertanian Dr. Ngadisih, S.TP, M.Sc ini dibiayai Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dikti) melalui Program Kreativitas Mahasiswa Penerapan Teknologi (PKM-T).
Kholis dan ketiga temannya melakukan penelitian di daerah Tamansari, Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah.
Ide
Kholis menceritakan, setelah mengetahui adanya fenomena embun upas, timnya sepakat membuat alat yang dapat membantu petani di dataran tinggi mengurangi risiko kerugian karena embun upas yang mengenai tanaman dapat menyebabkan gagal panen.
"Kemudian, kami ke sana (daerah Dieng) dan berdiskusi dengan petani sayuran sana. Memang benar, mereka rugi besar ketika musim-musim seperti ini kalau mereka tidak melakukan penyiraman (secara) terus pada tanamannya," kata Kholis saat diwawancara Kompas.com, Selasa (2/7/2019).
Menurut Kholis, petani biasanya menggunakan cara penyiraman manual untuk menghilangkan embun upas.
"Waktu penelitian ada embun upas (di tanaman). Petani setiap pagi siap-siap melakukan penyiraman," ujar dia.
Namun, penyiraman manual ini dapat menyebabkan kelebihan air pada tanah (drainage stress), serta meningkatkan potensi serangan hama dan penyakit tanaman lain karena jumlah air yang disiramkan melebihi kebutuhan air tanaman.
Cara kerja alat
Alat irigasi yang diciptakan mahasiswa UGM ini beroperasi otomatis. Alat akan menyirami tanaman ketika terdapat embun upas, bahkan sebelum embun upas terbentuk.
"Alat ini kami setting secara otomatis menggunakan sensor untuk mendeteksi suhu dan kelembaban di lahan petani," kata Kholis.
Kholis mengatakan, pengaturan suhu yang digunakan berdasarkan pada suhu saat terjadi embun upas di lahan petani.
"Ketika suhu di daerah Dieng sudah berada di bawah 10 derajat celcius, maka otomatis alat akan menyemprotkan air ke tanaman (melalui selang)," ujar dia.
Kholis menjelaskan, jika satu tanaman diberi satu nozzle, hal ini tak akan efisien karena banyak air terbuang sia-sia.
"Petani sangat diuntungkan karena mereka tidak perlu susah-susah menyirami tanamannya. Petani tinggal memantau saja," lanjut Kholis.
Jumlah air yang dikeluarkan diatur dengan waktu yang telah terprogram, sehingga tanaman tidak akan terlalu banyak menerima air.
Sumber air yang digunakan berasal dari tanah yang ditampung dalam tandaoh yang ditanam di bawah tanah.
Air ini tidak diberi campuran zat apa pun.
Alat irigasi otomatis ini sudah diimplementasikan ke petani di wilayah Banjarnegara.
Akan tetapi, hasil penggunaan alat dilihat dari jumlah produksi masih menunggu hingga masa panen tiba.
"Hasilnya masih menunggu sampai panen. Kurang lebih 2,5 bulan lagi. Soalnya habis lebaran baru tanam. Secara jangka pendek sih tanaman tidak mengalami kelayuan," ujar Kholis.
Ia menyebutkan, saat ini timnya masih terus melakukan proses penyempurnaan alat. "Kami masih berfokus untuk Pimnas pada Agustus mendatang," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.