KOMPAS.com – Bagi sebagian orang, tugas skripsi menjadi momok yang mengerikan di akhir perkuliahan.
Namun, berbeda bagi Tyovan Widagdo (29). Pria yang berprofesi sebagai CEO salah satu startup ini malah membuat tugas skripsinya terlihat begitu spesial.
Momen itu terjadi ketika Tyovan, begitu panggilannya, masih duduk sebagai seorang mahasiswa akhir di salah satu universitas swasta di Jakarta, Bina Nusantara University (Binus) pada 2014 akhir.
Sebagai mahasiswa jurusan Teknik Informatika, Tyovan pun dituntut untuk membuat salah satu platform digital sebagai tugas akhirnya.
Dalam proses pengerjaan tugas akhir ini, Tyovan justru terlihat begitu bersemangat. Pasalnya, ia mengingat kembali cita-citanya sewaktu baru pertama kali menjadi seorang mahasiswa.
“Dulu saya bercita-cita ingin menulis skripsi yang hasilnya berguna bagi banyak orang, jadi tidak hanya terpajang begitu saja di perpustakaan,” ungkap Tyovan kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Kamis (11/7/2019).
Melalui cita-citanya tersebut, Tyovan pun mencoba mencari permasalahan yang saat itu banyak dialami oleh banyak orang di Indonesia.
Pada waktu itu, Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN akan memasuki era baru penerapan kawasan perdagangan bebas atau ASEAN Free Trade Area (AFTA).
Untuk menuju ke era tersebut, masyarakat Indonesia pun dituntut untuk menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa internasional jika tidak mau tertinggal.
Namun sayangnya, rata-rata kemampuan masyarakat Indonesia terhadap penguasaan bahasa Inggris pada 2014 masuk kategori moderate proficiency atau kecakapan sedang.
Hasil kategori tersebut tercatat pada data survei EF English Proficiency Index 2014 (EF EPI) atau Indeks Kemampuan Berbahasa Inggris.
Dari 63 negara yang disurvei, Indonesia hanya berada pada peringkat ke-28. Jauh berada di bawah negara tetangga, seperti Malaysia (peringkat ke-12) dan Singapura (peringkat ke-13).
Hal tersebut lah yang membuat Tyovan tergerak untuk membuat salah satu platform pembelajaran bahasa Inggris online dengan nama Bahaso.com.
Tyovan mengungkapkan, ada tiga masalah utama yang dihadapi Indonesia saat itu mengenai penguasaan bahasa Inggris.
"Pertama adalah masalah biaya. Banyak orang yang ingin belajar bahasa Inggris tapi terkendala biaya,” ujarnya.
Kemudian, permasalahan kedua adalah keterbatasan waktu yang dimiliki. Tyovan mengatakan beberapa orang mempunyai uang yang cukup tapi tak punya waktu untuk belajar.
Terakhir, permasalahan geografis. Banyak orang yang tinggal di desa-desa kesulitan datang ke kota hanya untuk belajar di pusat bimbingan belajar (bimbel) atau tempat les.
“Permasalahan-permasalahan inilah yang kemudian coba saya jawab melalui teknologi, yakni les bahasa Inggris online dengan telepon pintar,” kisahnya.
Tak hanya digunakan sebagai tugas skripsi, Tyovan pun nampak serius untuk mengembangkan platform Bahaso.com menjadi sebuah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
“Sebelum sidang, Bahaso.com ini saya buat menjadi PT. Syukur sampai saat ini masih berjalan dan total hampir 1 juta orang menggunakan platform ini untuk belajar bahasa Inggris,” aku Tyovan.
Ia juga mengungkapkan kalau pengguna platform ini tak hanya sebatas anak sekolah, mahasiswa, dan profesional yang berada di Indonesia saja, tetapi juga dimanfaatkan oleh para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang sedang bekerja di luar negeri.
Terkait keberhasilannya mendirikan Bahaso.com, Tyovan pun dinobatkan sebagai salah satu finalis penghargaan “30 Under 30 Forbes” dari 3.000 nominasi dari seluruh dunia.
Asal tahu saja, ada tiga kriteria yang cukup ketat untuk bisa masuk pada daftar tersebut.
Tiga kriteria tersebut adalah the most promising (orang-orang yang menjanjikan), daring enteprenuer (wirausaha yang nekat), dan future leaders (pemimpin masa depan).
Tentu apa yang dicapai Tyovan itu bukan hanya bermodal cita-cita dan semangat juangnya. Ada peran besar pendidikan yang membuatnya bisa sampai pada tahap sekarang.
Dalam langkah berprosesnya, Tyovan mengaku ia cukup terbantu dengan pendidikan yang ia tempuh di Binus.
“Hal yang paling berkesan dari Binus menurut saya adalah dari segi environment atau lingkungan. Binus selalu mendukung mahasiswa-mahasiswanya untuk terus berinovasi. Baik itu dukungan dari segi akademis dan non-akademis,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut Tyovan, sarana dan prasarana yang ada di Binus juga sangat mendukung pembelajaran yang diberikan.
Vice President of Binus Higher Education George Wijaya Hadipoespito mengamini hal tersebut.
Selain penyiapan sarana dan prasarana seperti laboratorium, Binus telah mengubah kurikulum pada program sarjana dengan metode 3+1.
Metode ini berarti tiga tahun belajar di dalam kampus dan satu tahun belajar di luar kampus atau disebut juga dengan istilah enrichment program (program pengayaan).
George mengatakan, ada lima opsi progam pengayaan yang bisa mahasiswa pilih, di antaranya internship atau magang, entrepreneurship atau mengembangkan startup, riset, community development, dan study abroad.
“Selain itu, saat ini kami telah membuat Binus Digital yang menjadi tumpuan kami dalam mengadopsi dan mengimplementasikan teknologi terkini,” pungkasnya melalui rilis tertulis, Selasa (25/6/2019).
Dengan dukungan pendidikan yang berkualitas dan semangat untuk berkontribusi bagi lingkungan itu, tentu siapa pun bisa berprestasi layaknya Tyovan.
Nah, sekarang giliran Anda. Kontribusi apa yang akan Anda berikan untuk Indonesia?