Mindfulness, Pendekatan Pendidikan yang Memanusiakan

Kompas.com - 27/07/2019, 16:21 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Di negara maju, tingkat gangguan mental pada anak remaja melonjak drastis. Laporan American Psychological Association menyampaikan di kalangan remaja usia 12 dan 17, jumlah anak yang dilaporkan gejala depresi berat naik 52 persen antara tahun 2005 dan 2017 yakni dari 8,7 persen menjadi 13,2 persen.

Yang mengejutkan, laporan tersebut juga menyatakan bahwa seringkali penyebab utama depresi anak adalah memenuhi tuntutan akademis di sekolah.

"Anak-anak masa kini hidup di era yang memiliki ekspektasi keberhasilan tinggi yang menjadi tuntutan dari lingkungan mereka. Hal ini semakin diperkuat dengan corong sosial media dimana setiap harinya remaja diperlihatkan kehidupan-kehidupan orang lain yang seolah-seolah sempurna," ujar Michael Thia, Superintendent Global Sevilla School.

Baca juga: Lakukan Ini Agar Anak Tumbuh Gemilang dan Dapatkan Tabungan Pendidikan

Disela-sela acara penandatangan kerjasama beasiswa sekolah Global Sevilla dan YCAB (18/7/2019), Michael menambahkan orangtua seringkali mengabaikan dan kurang memberikan perhatian berkualitas yang dibutuhkan anak karena kesibukan yang tinggi.

Minimnya dukungan dan keterbukaan untuk kesehatan mental remaja mengakibatkan seringkali mereka beralih ke internet, khususnya media sosial, sebagai solusi. Hal ini bisa jadi justru lebih membahayakan, bila tidak diimbangi dengan kemampuan menyaring informasi yang tepat.

Sekolah seringkali menjadi “rumah” kedua bagi anak. Mereka bisa menghabiskan waktu 6 hingga 8 jam berkegiatan di dalamnya.

Oleh karena itu, sebagai tempat mengemban pendidikan, sekolah perlu membekali siswa dengan soft skills sehingga dapat menyikapi kehidupan ini dengan baik dengan cara menjadi individu yang sukses di kehidupan secara imbang.

Lalu apa yang harus dilakukan pihak sekolah?

Pembelajaran berbasis kesadaran

"Oleh karena itu kami mengadopsi metoda mindfulness atau berkesadaran sebagai basis dari kegiatan belajar-mengajar di sekolah agar tidak hanya fokus mengajarkan anak akan pengetahuan tetapi juga kepada soft skills yang dapat memberikan kemampuan untuk mengatasi stres dalam kehidupan mereka," jelas Michael.

Michael menyontohkan negara Inggris yang sudah terlebih dahulu mengadopsi pendidikan berbasis berkesadaran. Mulai tahun ini sudah ada 370 sekolah negeri di seluruh Inggris yang mengadopsi mindfulness atau berkesadaran dalam kurikulum.

Kebijakan ini dilaksanakan di bawah program riset kesehatan mental pemerintahan Inggris dan akan dijalankan hingga tahun 2021.

"Siswa-siswi dilatih untuk melakukan kegiatan dengan kesadaran penuh. Makan dengan berkesadaran, berjalan dengan berkesadaran, melakukan yoga dan berlatih pernafasan," ujar Michael.

Menurutnya hal itu akan membangun kemampuan murid-murid mengenali diri dan menumbuhkan empati sebagai basis pendidikan karakter siswa. 

Melibatkan komponen sekolah

Selain dasar akademis yang kuat dan pemahaman sosial tinggi, keterampilan dalam kesenian dan olahraga juga merupakan hal penting di sekolah. 

Keseluruhan rangkaian kegiatan ini senantiasa dilakukan dengan dasar mindfulness atau berkesadaran sehingga siswa-siswi fokus, memberikan perhatian berkualitas serta terhubung antara pikiran dan perasaan saat menjalankan aktifitas-aktifitas tersebut.

"Sebagai sekolah pertama yang berbasis pendidikan berkesadaran di Indonesia yang telah menerapkan pendekatan ini selama 4 tahun, kami mengajak seluruh pemegang kepentingan sekolah untuk melatihnya setiap ada kesempatan," terang Michael.

Para siswa setiap hari melakukan latihan berkesadaran di awal sekolah sebelum memulai kegiatan belajar. Para guru menggunakannya disaat mengajar atau beristirahat. Karyawan sekolah akan mempraktekkannya sebelum rapat-rapat dimulai. Sedangkan orangtua murid dihimbau kembali fokus kepada nafas saat akan berinteraksi dengan anak.

Selain latihan fokus pada bernafas, kegiatan lain yang dapat melatih fokus seperti membaca buku, menulis jurnal, mendengarkan musik dan berjalan-jalan menikmati alam sekitar juga sering dilakukan untuk melatih kepekaan baik pada diri sendiri maupun kepada sekitar kita.

Pendidikan yang memanusiakan

Di kesehariannya, Michael menjelaskan melatih berkesadaran bukanlah hal sulit ataupun menyita waktu. Cukup dengan memusatkan perhatian kepada nafas. 

"Hal ini dapat dilakukan semudah menarik dan menghembuskan nafas dalam-dalam sebanyak tiga kali. Yang paling penting adalah melatihnya dan melakukannya di setiap kesempatan yang ada," ujarnya.

Pendidikan berkesadaran sangat dibutuhkan saat ini. Ketika teknologi dengan cepat mengubah kehidupan sehari-hari, dunia semakin terhubung dan manusia tidak lagi hanya berkompetisi dengan sesamanya. "Oleh karena itu mengajarkan seseorang kemampuan untuk berpikir jernih dan mampu meregulasi emosi menjadi utama," tegasnya.

Michael menyampaikan, "Kami percaya hakikatnya sebuah sekolah wajib menyiapkan peserta didik untuk kehidupan, berbekal karakter selain akademis yang baik. Bukan hanya sebagai tempat untuk mempersiapkan siswa mendapatkan pekerjaan yang baik, seperti yang seringkali kita pahami selama ini."

Untuk itu, pendidikan berkesadaran membantu mengembalikan fokus kita kepada diri kita, menjadi manusia seutuhnya yang percaya pada nilai luhur, berfikir secara mandiri, bekerja sama dan menyayangi sesama.

"Hal ini menjadikan manusia unik dan tak terbandingkan dengan robot. Dengan pendidikan berbasis berkesadaran, pendidikan yang diterapkan akan memanusiakan manusia," tutup Michael.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau