Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lustrum 14 UGM: Upaya Menangkal Radikalisme Masuk Kampus

Kompas.com - 28/07/2019, 17:19 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Franz Magnis Suseno atau akrab disapa Romo Magnis dalam seminar nasional “Ketahanan Moral dan Budaya Bangsa: Bela Negara dan Pencegahan Radikalisme di Kampus” menyampaikan radikalisme dan eksklusivisme menjadi tantangan Pancasila dalam mengakomodasi kebangsaan.

Seminar yang digelar dalam rangka Lustrum UGM ke-14 di ruang seminar Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM, Yogyakarta (26/7/2019) juga menghadirkan pembicara lain antara lain; Mochammad Maksum (Wakil Ketua Umum PBNU), Zuly Qodir (Anggota Lembaga Dakwah PP Muhammadiyah), Prof. Ismunandar (Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti), Pof. Bondan Tiara Sofyan (Dirjen Potensi Pertahanan Kemhan) dan lainnya. 

Peran negara dan pemimpin agama

"Kita sekarang menghadapi radikalisme yang tidak menerima Pancasila dan beragama tapi eksklusif. Hanya 'aku' yang lain tidak, yang lain jadi nomor dua dan tiga,” kata Romo Magnis seperti dilansir dari laman resmi UGM. 

Baca juga: Soal Radikalisme, Menristek Ingatkan Pentingnya Pengawasan Medsos

Magnis mengaku prihatin paham terorisme dan tersebut menyebar ke banyak negara sekarang ini. Apalagi, pelaku bom bunuh diri di Filipina adalah sepasang suami istri dari Indonesia yang diketahui baru saja kembali dari perang Siria.

Untuk mengantisipasi hal serupa dan melakukan deradikalisasi Magnis berpendapat kehadiran negara dan pemimpin agama sangat menentukan.

“Kita bisa sepakati bahwa keagamaan harus dirasakan secara positif, pemimpin agama harus mampu meyakinkan umatnya bahwa agama tidak pernah mengajarkan kekerasan,” katanya.

Belajar dari kudeta Mesir

Meski radikalisme dan ekslusivisme dalam beragama menjadi bagian tantangan Indonesia dalam mewujudkan proses akomodasi kebangsaan, menurut Magnis Indonesia sangat beruntung karena pasca reformasi 1998 tidak terjadi perpecahan seperti dialami Mesir yang berakhir dengan kudeta militer.

“Mesir mengalami seperti Indonesia tahun 1998, hanya ingin mewujudkan UU Dasar yang bisa diterima semua pihak, berakhir dengan kudeta militer, sekarang Mesir terpecah pro dan kontra, tapi Indonesia maju,” katanya.

Dalam kesempatan itu, ia mengapresiasi sahabatnya yang jadi politisi seperti Amien Rais, Gus Dur dan Akbar Tanjung di kala itu membawa Indonesia menjadi demokratis. “Tidak menjadi negara agama tapi atas dasar Pancasila,” ungkapnya.

Masuk kampus dan sekolah

Sementara itu, Wakil Ketua Umum PBNU, Prof Mochammad Maksum mengatakan agama Islam mengajarkan umatnya untuk hidup toleran dengan agama lain. Soal negara Pancasila, Maksum menegaskan seluruh komponen bangsa sudah sepakat Indonesia sebagai negara ‘kesepakatan’ menaungi seluruh etnis, agama dan budaya.

Sementara itu, Zuly Qodir mengatakan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan berpandangan negara Pancasila menjadi keputusan seluruh elemen bangsa. “Jika ingin mengganti Pancasila sama saja ingin membubarkan negara ini,” katanya.

Dirjen Potensi Pertahanan Kemhan RI, Pof. Bondan Tiara Sofyan mengatakan tidak ada agama apapun yang mengajarkan terorisme dan radikalisme. Menurutnya pengajaran terorisme dan radikalisme saat ini masuk lewat kampus dan sekolah sehingga generasi muda perlu dilindungi agar tidak terpapar paham ini.

Ia mengutip salah satu hasil survei yang menyebutkan bahwa sekitar 19,4 persen ASN tidak setuju dengan ideologi Pancasila dan 23,4 persen mahasiswa setuju dengan jihad untuk menegakkan negara Islam.

Penguatan ideologi Pancasila di kampus

Paham radikalisme ini, menurut Tiara, masuk melalui kegiatan mentoring di kampus dan sekolah-sekolah. “Para mentornya diokupasi dengan pemahaman agama yang tidak betul,” ungkapnya.

Meski organisasi HTI sudah dilarang di Indonesia, menurutnya tidak serta menghentikan kegiatan penyebaran paham mereka.”HTI sudah dilarang di 21 negara, namun bisa saja menjelma berbagai bentuk yang kita tidak ketahui,” paparnya.

Sementar itu, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti, Prof. Ismunandar, mengatakan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan melakukan penguatan pembinaan ideologi Pancasila dalam berbagai kegiatan pendidikan dan kemahasiswaan.

”Salah satunya melalui penguatan mata kuliah agama yang berkualitas dengan nuansa anti radikalisme dan terorisme. Kita ingin menguatkan mahasiswa dalam berpikir kritis, kreatif, dan inovatif,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com