KOMPAS.com - Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti (Ditjen SDID) Kemenristekdikti menghadirkan sejumlah ilmuwan muda diaspora dalam acara "Diaspora Talks" yang digelar Selasa, 20 Agustus 2019, di Aula Gedung D Ristekdikti, Jakarta.
Enam ilmuwan diaspora menjadi pembicara utama dalam gelaran tersebut yakni: Sastia Prama Putri dan Muhammad Aziz (Jepang), Hutomo Suryo Wasisto (Jerman), Keni Vidilaseris (Finlandia), Markus Santoso (Amerika Serikat), dan Bagus Muljadi (Inggris)
Mereka berbagi kisah perjuangan mereka meniti karir di negeri orang, hingga apa yang menjadi fokus penelitian mereka.
Acara ini merupakan salah satu rangkaian Simposium Cendikia Kelas Dunia (SCKD) 2019 yang digelar Acara ini merupakan rangkaian SCKD (Simposium Cendikia Kelas Dunia) akan digelar pada 18-25 Agustus 2019 dan diikuti sebanyak 52 ilmuwan diaspora dari 18 negara.
Dalam pertemuan ilmuwan SCKD dengan Wapres Jusuf Kalla sebelumnya (19/8/2019), Wapres menekankan ilmuwan diaspora memiliki pengalaman yang dapat dibagikan ke perguruan tinggi di Indonesia.
Baca juga: Jusuf Kalla: Pengalaman Ilmuwan Diaspora Sangat Dibutuhkan
Walaupun saat ini ilmu pengetahuan terbaru di sudah dapat diakses dan dipelajari di Indonesia, pengalaman dari ilmuwan diaspora saat bekerja di institusi riset dan pendidikan tinggi terbaik di luar negeri masih diperlukan Indonesia.
Wakil Presiden mengungkapkan pengalaman para diaspora inilah yang tidak dimiliki oleh perguruan tinggi di Indonesia. "Guru yang terbaik adalah pengalaman. Anda punya pengetahuan dan pengalaman, tentu itulah yang dibutuhkan, sharingnya," tegas Jusuf Kalla.
Hal senada disampaikan Bagus Muljadi, ilmuwan diaspora lulusan ITB yang kini menjadi Assistant Professor of Engineering, University of Nottingham, Inggris dan turut mengadministrasi lebih dari Rp 200 milyar dana riset dari pemerintah UK dan Eropa.
"Hal ini memberikan makna dan peran bagi diaspora, negara sudah hadir. Rasa kebangsaan yang ditimbulkan ini menjadi intensif besar bagi kami untuk kembali pulang dan berkolaborasi meningkatkan SDM seperti yang dicanangkan Pak Jokowi dalam periode ke-2 pemerintahnya," ujar Bagus.
Dalam kesempatan ini, Bagus Muljadi mengajak milenial Indonesia terus berkarya demi Indonesia unggul dan berdaya saing, terutama untuk para akademisi dan peneliti muda.
Markus Santoso asisten profesor University of Florida sejak Juli 2018 berfokus pada penelitian tentang Virtual Reality dan Serious-game Development, sebuah bidang yang sangat relevan dengan perkembangan teknologi hari ini.
"Ke depan AR/VR akan menjadi teknologi yang sangat dibutuhkan dalam segala aspek kehidupan kita sehingga ke depan sangat relevan untuk melakukan riset terkait hal ini, tentunya sesuai dengan yang dibutuhkan Indonesia," ujarnya.
Dia mengerjakan implementasi AR/VR untuk ilustrasi anatomi manusia, pendidikan kedokteran, dan fisiologi komputasi. "Tidak hanya untuk pendidikan, VR dapat digunakan untuk mempromosikan dan memperkenalkan pariwisata Indonesia kepada dunia," tambah Markus Santoso.
Melalui program SCKD 2019 ini, ia berharap dapat berkolaborasi dengan peneliti dari Indonesia untuk melakukan penelitian bersama dalam mengembangkan AR/VR yang akan sangat berkembang di era industri 4.0.
Hal senada disampaikan Keni Vidilaseris peneliti postdoc di Departemen Biokimia, Universitas Helsinki, Finlandia. Minat utama penelitiannya adalah penentuan struktur protein dengan menggunakan metode Sinar-X.
Dalam sharingnya, ia mencoba untuk dapat mendesain/mencari senyawa yang secara spesifik bisa menghambat aktivitas protein tersebut. Dengan demikian, seseorang dapat sembuh dari penyakit-penyakit itu tanpa berefek pada tubuh.
Dalam kesempatan sama, Hutomo Suryo Wasisto, Head of OptoSense Group di Laboratory for Emerging Nanometrology (LENA), Braunschweig, Jerman, mengingatkan agar orang muda Indonesia untuk terus mengasah kemampuan berpikir kritis sebagai salah satu modal dasar peneliti.
"Jangan mudah terjebak pada pseudo-science atau fake sains yang terlihat rasional namun padahal bias. Inilah yang justru banyak terjadi di mana hoaks justru diterima karena kurang mengasah kemampuan berpikir kritis," ujar Wasisto yang akrab di panggil Ito.
Ito menjelaskan di Jerman saat anak masuk SD tidak dituntut harus mampu calistung (baca, tulis dan hitung). Sebaliknya, pembelajaran anak-anak justru difokuskan bagaimana mengajak mereka untuk berpikir kritis dan kreatif.
"Di sini belajar sains justru cari cara mudah, cara gampang. Padahal mindset yang harus dibangun dalam sains harusnya justru menghargai proses dengan berpikir kritis dan sistematis dalam mencari jawaban dari persoalan," tegasnya.
Muhammad Aziz associate professor di University of Tokyo juga mengajak milenial yang hadir untuk melihat proses penelitian sebagai sebuah wadah membuat diri menjadi pribadi yang lebih baik.
Proses penelitian, menurutnya merupakan proses 'mengetahui ketidaktahuan' sehingga riset menjadi proses dinamis yang secara tidak disadari akan memperbaiki dan bahkan menjadi 'loncatan' untuk menjadi pribadi yang lebih berkualitas.
"Eksis boleh tetapi narsis jangan. Orang harus eksis dengan mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya. Jangan narsis yang menganggap dirinya sudah paling baik," pesan Aziz.
Semangat 'perempuan super' juga disuarakan Sastia Prama Putri, assistant professor Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University, Jepang. Di Jepang, Sastia bekerja di bawah naungan mentor Prof. Eiichiro Fukusaki yang merupakan salah satu pioneer metabolomik di ilmu pangan.
Di awal paparan, Sastia memberi gambaran bahwa tantangan perempuan di bidang riset dan penelitian jauh lebih berat. Baru sekitar 30 persen peran perempuan dalam riset di dunia, termasuk Indonesia.
"Riset bukan hal yang mudah, dan kegagalan merupakan bagian darinya. Kita harus memiliki mental kuat untuk menjadi peneliti dan semangat positif setiap waktu. Terutama peneliti perempuan, harus ekstra lebih tanggung untuk mendapat perhatian dan pengakuan," tegas Sastia.
Ditambah lagi, peneliti perempuan sering kali harus menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu. "Full time mother, full time scientist," ujar Sastia yang telah mengenalkan Aisha, puterinya, pada dunia penelitian sejak usia dini.
Untuk itu, ia mengajak perempuan Indonesia untuk saling mendorong dan menguatkan satu sama lain, termasuk dalam bidang penelitian. Ketimbang saling 'nyinyir', ia mengajak perempuan Indonesia berkolaborasi untuk menguatkan emansipasi perempuan di ranah riset.
Hal ini telah dibuktikan Sastia lewat beberapa pendampingan dan kerja sama riset dengan peneliti perempuan Indonesia lain di antaranya; Tissa (co-founder Pipiltin Cocoa), Neni Nuraini (manager R&D Biofarma) dan Fenny Dwivany (tim riset ITB).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.