Kesehatan Jiwa, Remaja "Galau" Perlu Mendapat Pendampingan

Kompas.com - 22/09/2019, 18:02 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Jelang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober 2019, Badan Kesehatan Jiwa Indonesia (Bakeswa Indonesia) bersama GE Volunteers dan Kopi Panas Foundation menggelar diskusi publik "Promosi Kesehatan Jiwa dan Pencegahan Bunuh Diri", di Jakarta (21/9/2019).

Diskusi yang menyasar generasi milenial dan mengangkat kampanye #RemajaPeduliKesehatan Mental ini bertujuan menggalang dukungan penggiat kesehatan jiwa untuk saling terkoneksi dan berkolaborasi meningkatkan mutu kesehatan jiwa di Indonesia.

Sinergi penggiat kesehatan jiwa yang terlibat dalam kegiatan ini di antaranya; PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia), HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia), KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia).

Turut bergabung Bipolar Care, Into the Light, Pijar Psikologi, Kopi Panas Foundation, Kaltera.id, Ibunda.id, Petualangan Menuju Sesuatu serta didukung Kementrian Sosial, Kementrian Kesehatan dan WHO (World Health Organization).

Dorong lembaga penelitian

Nova Riyanti Yusuf, profesional psikiater Ketua Dewan Pakar Bakeswa Indonesia dan Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa DKI Jakarta mengatakan, “Sejak disahkannya UU Kesehatan Jiwa No. 18 Tahun 2014 Pasal 28 yang mengatur tentang peran serta masyarakat, telah terjadi peningkatan partispasi dalam pembangunan kesehatan jiwa di Indonesia."

Baca juga: Kesehatan Mental Masih Jadi Batu Sandungan Agenda Penguatan SDM Jokowi

"Hal ini merupakan dukungan yang sangat positif sekaligus menjadi bentuk desakan agar UU Keswa dapat ditindaklanjuti pemerintah dalam berbagai peraturan turunan,” lanjut anggota Komisi IX yang akrab disapa Noriyu.

Noriyu menambahkan, "Upaya Kesehatan Jiwa yang diatur dalam UU Keswa mencakup 4 hal yaitu, upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dimana keempat upaya tersebut masih perlu ditingkatkan secara signifikan yang di sisi lain sebenarnya bisa dioptimalkan dengan peranan teknologi seperti yang tercantum pada Pasal 65 UU Keswa."

Ia menyebut upaya tersebut termasuk di antaranya dengan mendorong lahirnya lembaga penelitian. Noriyu berharap, dengan lahirnya lembaga penelitian kesehatan mental nantinya akan membawa efek 'bola salju' yang akan membuat soal kian mendapat perhatian mulai dari soal data, pemetaan, teknologi hingga penanganan nantinya.

Berbasis big data

Mengutip data World Economic Forum (WEF, 2016), Noriyu menyampaikan penyakit mental (mental illness) menjadi penyakit ke-2 tertinggi setelah jantung (cardiovascular) di Indonesia yang berpotensi besar mengurangi GDP Indonesia.

Lebih jauh Noriyu menyebutkan penelitian yang dilakukannya menyebutkan 13,28 persen remaja justru rentan ide bunuh diri. "Kita menumpukan (masa depan) kepada mereka namun kita tidak menjaga kesehatan jiwa mereka. Remaja-remaja yang galau gini harus kita tangani kalau kita ingin mencetak SDM unggul" tegas dokter spesialis kesehatan jiwa ini lebih lanjut. 

Menurutnya, pendekatan berbasis data ini tidak melulu harus merujuk hasil litbangkes yang masih sangat minim menyentuh soal kesehatan jiwa.

Selain data bersifat akademis penelitian, big data bersifat realistis dari startup di Indonesia seperti GoFood atau GrabFood pun bila diolah dapat memberikan gambaran nyata gaya hidup masyarakat. 

 

"Kita juga sudah memiliki 'Rapor Kesehatanku' di setiap sekolah. Kalau ini diolah ini dapat menjadi pemetaan masalah kesehatan mental remaja yang luar biasa dalam membuat roadmap pembentukan SDM unggul," tegasnya.

Stigma "gangguan jiwa"

Prisia Nasution, Pendiri Kopi Panas Foundation mengatakan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap penyakit gangguan jiwa masuh sangat minim sehingga masih masih memberi stigma negatif pada penderita gangguna jiwa.

“Orang dengan gangguan jiwa jumlahnya sangat tinggi dan terus meningkat setiap tahun sedangkan kehadiran tempat atau badan yang menaungi isu ini jumlahnya tidak seimbang," ujar Prisia.

Ia melanjutkan, "Ditambah lagi, stigma negatif mengenai gangguan jiwa, kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan jiwa yang masih sangat minim, bahkan kesehatan jiwa milik mereka sendiri.” 

Prisia juga menyoroti upaya rehabilitatif yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Sosial. Ia menyampaikan pendirian lembaga yang diempunya pun, bukan hanya sebagai pusat pembelajaran dan simpul gerakan sosial dan lingkungan melainkan juga mengupayakan peningkatan kesadaran publik.

Ia mendorong lembaga pemerintah atau non-pemerintah yang memiliki visi dan misi masing-masing soal kesehatan jiwa dapat saling bersinergi dalam penguatan penanganan masalah kesehatan jiwa, khususnya di kalangan remaja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau