Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 10/10/2019, 19:06 WIB

KOMPAS.com - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) membeberkan berbagai alasan pengembangan politeknik di Indonesia kalah dengan universitas.

Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek Dikti, Kemenristekdikti Patdono Suwignjo mengatakan, seluruh stakeholder seperti masyarakat, pemerintah, dan industri selama ini berperan melambatkan pengembangan tersebut.

"Saya pikir di sini ada sesuatu yang salah kenapa masyarakat enggak mau masuk vokasi. Masyarakat Indonesia itu punya mindset kalau menempuh pendidikan tinggi hanya untuk gelar, bukan kompetensi," kata Patdono Suwignjo di Jakarta, Rabu (9/10/2019).

Alhasil, kata dia, 92 persen mahasiswa di Indonesia memilih universitas untuk melanjutkan pendidikannya. Hanya 8 persen atau 750.000 orang yang memilih politeknik dari total 8 juta mahasiswa.

1. Mahalnya uang gedung

Hal tersebut juga diperparah dengan mahalnya uang gedung yang dikenakan. Pembangunan politeknik sendiri memang memakan biaya rata-rata 10 kali lipat dibanding universitas karena banyak laboratorium yang dibangun.

Baca juga: Kemenristekdikti: Indonesia Kekurangan 2.075 Politeknik

Hal itu membuat uang gedung dan segala keperluan kuliah menggembung. 

2. Kesenjangan gaji lulusan

Pun gaji yang dijanjikan saat bekerja berbeda antara mahasiswa lulusan D4 dengan mahasiswa lulusan S1. "Makanya jarang ada anak orang kaya yang masuk politeknik. Uang gedungnya bisa Rp 15 juta. Tapi kalau kedokteran mesti bayar Rp 500 juta, langsung mau," ungkap Patdono.

3. Kekurangan profesor politeknik

Patdono mengatakan pemerintah turut andil dalam menjadi faktor kurang diminatinya politeknik. Dia menyampaikan saat ini belum ada jenjang strata 3 (S3) bergelar doktoral untuk politeknik. Itulah sebabnya Indonesia kekurangan profesor politeknik. 

"Kenapa jarang profesor politeknik? Kemenristekdikti memperlakukan dosen politeknik yang ingin menjadi profesor sama dengan persyaratan dosen universitas yang jadi profesor. Paling tidak punya 2 publikasi internasional. Padahal politeknik enggak perlu begitu, politeknik caranya punya karya praktis yang monumental," papar Patdono.

4. Penyamaan akreditasi 

Selanjutnya, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) di bawah Kemenristekdikti juga membukukan kesalahan. Patdono menilai, BAN-PT bersalah karena menyamakan akreditasi universitas dengan politeknik.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+