Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aiman Witjaksono
Jurnalis

Jurnalis

Anak Korban Gawai, Mirip Pecandu Narkoba

Kompas.com - 28/10/2019, 12:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KENAPA kamu bisa ada di sini? Tanya dokter ahli kejiwaan kepada salah seorang anak usia SMA. Karena gadget (gawai), sambut sang anak!

Mungkin tak akan ada orang yang menyangka, perubahan perilaku anak yang mengalami kecanduan Gawai, mirip kerusakan jiwa yang terjadi pada pecandu narkoba!

Program AIMAN mengupasnya tuntas!

Saya mendatangi sebuah Rumah Sakit Jiwa di Bandung, Jawa Barat. Saya memutuskan untuk mengangkat topik yang menjadi fenomena baru di Indonesia. Tak banyak yang sadar, tapi korbannya, anak terus bertambah.

Baca juga: Atasi Anak Kecanduan Gawai, Indonesia Harus Belajar ke Jepang

Anda tahu berapa jumlah anak yang datang dan sebagiannya di rawat inap karena membahayakan lingkungan akibat "Candu Gawai"?

Datanya mengejutkan

Dua anak per pekan dirawat akibat terganggu jiwa karena gawai.

Konstan dua hingga tiga anak per pekan. Artinya dalam setahun ada seratusan anak yang mengalami gangguan jiwa serius dan semuanya dipastikan karena kecanduan gawai.

Saya berani katakan ini hal yang serius dan karena hanya anak yang sudah mengalami gangguan jiwa yang serius yang di bawa ke rumah sakit Jiwa.

IlustrasiShutterstock Ilustrasi
Sudah barang tentu, anak yang kecanduan gawai jauh lebih banyak alias fenomena gunung es, dan tidak di bawa ke Rumah Sakit Jiwa.

Baca juga: 200 Akademisi dari 7 Negara Bahas Solusi Atasi Anak Kecanduan Gawai

Tapi yang terdeteksi hanya sungguh sebagian kecil.

Apa pasal?

Hanya anak yang pada tahap serius, rela di bawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) oleh keluarganya, sisanya tidak!

Secara normal, ada keengganan bagi keluarga untuk membawa anggota keluarga lainnya apalagi anak ke Rumah Sakit Jiwa, karena stigma negatif pasca-kedatangan ke sana.

Penelusuran AIMAN

AIMAN datang saat ambulans membawa anak terganggun jiwa akibat gawai. 

Kebetulan saat di program AIMAN saya mendapati ada satu anak yang baru saja dirujuk ke RSJ untuk mendapatkan penanganan intensif akibat kecanduan gim pada gawai yang diberikan oleh orangtuanya.

Ilustrasi ancaman gadget pada mata anak.SHUTTERSTOCK.com/SIRISAK_BAOKAEW Ilustrasi ancaman gadget pada mata anak.
Hal yang mengejutkan sang anak sebelumnya tergolong berprestasi, berasal dari sekolah ternama di Kota Bandung, Jawa Barat.

Bahkan ada anak lainnya yang mengalami gangguan jiwa akibat gawai, sebelumnya adalah peserta yang lolos seleksi Olimpiade Matematika di sekolahnya.

Tapi semuanya kini berubah!

Anak ini banyak sekali yang menunjukkan permusuhan pada lingkungannya setelah dilarang menggunakan gadget-nya. Mereka rata - rata anak cerdas.

Ada yang seusia SMP mereka sudah bisa mencuri dan membobol ATM milik orangtuanya.

"Uangnya digunakan untuk membeli "diamond" alias uang elektronik yang bisa digunakan pada game online," ungkap dokter Lina Budiyanti, Dokter Spesialis Kejiwaan yang khusus menangani pasien anak dan remaja akibat kecanduan gawai.

Kini sebagian dari mereka harus di rawat di RSJ Cisarua, Bandung, Jawa Barat.

Tidak hanya di Bandung, ternyata fenomen ini terjadi merata nyaris di seluruh Indonesia. Dari pulau Sumatera hingga Kawasan Timur Indonesia.

Baca juga: Mengobati Korban Kecanduan Gawai

Hanya yang tercatat, yang terbanyak pertama di Jawa Barat, disusul Jawa Tengah yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Surakarta, yang rata-rata setiap hari terdapat 1 hingga 2 pasien anak datang, akibat gangguan jiwa karena gawai.

Ini aturan hingga batasannya

Ada hal penting yang harus dilakukan orangtua agar tak terjadi hal serupa. Tak boleh anak hingga remaja di bawah usia 18 tahun menjadi pecandu gawai.

Bahkan orang dewasa sekalipun. Meski orang dewasa normal, cenderung bisa menguasai dan mengambil keputusan setelah mereka terpapar gawai berlebihan.

Sebuah video yang menunjukkan salah seorang siswa kejang-kejang saat bermain game online di dalam kelasnya, viral di media sosial. Video berdurasi 38 detik itu diunggah oleh akun @keluhkesahojol.id di instagram. Jumat (13/09/2019)MUH. AMRAN AMIR Sebuah video yang menunjukkan salah seorang siswa kejang-kejang saat bermain game online di dalam kelasnya, viral di media sosial. Video berdurasi 38 detik itu diunggah oleh akun @keluhkesahojol.id di instagram. Jumat (13/09/2019)
Otak bagian depan yang bertugas menganalisis dan mengambil keputusan cenderung bisa mengatur dan akhirnya mendominasi bagi sosok dewasa.

"Tapi tidak dengan anak dan remaja. Otak bagian depan mereka belum terbentuk sempurna, sehingga saat mendapat kesenangan, mereka akan terus menagih dan menagihnya," ungkap dokter Elly Marliyani, Direktur Utama RS Jiwa Provinsi Jawa Barat.

Batasi penggunaan gawai pada anak, dengan dua cara: pertama, jangan pernah memberikan gawai pada anak, melainkan meminjamkannya.

Sehingga sejak awal ia sadar bahwa gawai tersebut bukanlah miliknya, dan bisa ditarik sewaktu-waktu atas kontrol orangtua.

Kedua, batasi penggunaan gawai pada anak, maksimal hanya boleh 2 jam perhari. Tidak boleh lebih!

Dan terpentig dari semua itu, apa yang dilakukan dan diakses oleh sang anak, orangtua tak boleh lengah.

Sesungguhnya segala sesuatu itu berdiri atas porsinya. Itulah hakikat keadilan pada kehidupan dunia.Saya Aiman Witjaksono,

Salam!

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com