KOMPAS.com - Tren menunjukkan investasi sains dan teknologi pada beberapa dekade terakhir telah membawa beberapa negara melesat lebih cepat dibanding negara lain. Contoh paling nyata adalah Tiongkok.
Riset-riset seperti rekayasa genetik, energi, hingga kecerdasan buatan sekarang ini bukan lagi banyak berasal dari kota-kota di negara barat melainkan seperti Shanghai, Beijing, Hefei, dan Shenzhen.
Perubahan begitu cepat terutama dalam 30 tahun terakhir ditandai dengan menjamurnya peneliti Tiongkok menjadi kontributor makalah ilmiah di jurnal-jurnal terkemuka yang diikuti dengan meningkatnya jumlah sititasi (kutipan jurnal ilmiah) mereka.
Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Tiongkok yang memberikan budget sangat besar untuk sektor riset.
Dilansir media lokal Tiongkok, tahun 2018 lalu mereka menghabiskan 291.58 miliar dolar AS di sektor penelitian dan pengembangan. Jumlah ini meningkat 75 persen dibanding alokasi mereka pada tahun 2012.
Kebijakan ini didasari oleh idealisme Presiden Xi Jinping yang mengatakan Tiongkok akan terus menguatkan riset dasar dan terapan, membangun pusat riset kolaboratif, serta memprioritaskan riset-riset inovatif pada sektor teknologi yang menjadi kunci di masa mendatang.
Langkah nyata sudah dimulai dengan membangun fasilitas-fasilitas riset kelas wahid seperti Harbin Institute of Technology yang merupakan proyek ambisius bidang antariksa, Qingdao National Laboratory for Marine Science and Technology untuk sektor kelautan, University of Science and Technology of Tiongkok in Hefei yang di dalamnya terdapat pusat riset kecerdasan buatan (AI) dan komputer kuantum.
Pertanyaannya adalah, bagaimana mereka memulai mengorganisasi untuk berinvestasi pada sains dan teknologi?
Embrionya bisa dilihat pada ke era 1978/1979, ketika terjalin hubungan diplomatik Tiongkok-US yang ditandai kunjungan Deng Xiaoping ke Presiden AS saat itu, Jimmy Carter, di mana salah satu hasilnya adalah terjalinnya kesepakatan dalam bidang sains dan teknologi.
Semenjak itu dimulailah migrasi besar-besaran mahasiswa Tiongkok menimba ilmu di AS dengan dukungan dana dari pemerintah Tiongkok
Migrasi ini salah satunya difasilitasi Dr. Tsung-Dao Lee, penerima nobel fisika dari Columbia University yang menginisiasi program the China-United States Physics Examination and Admission (CUSPEA) yang membantu 800 mahasiswa Tiongkok diterima di universitas-universitas di AS.
Hal serupa dilakukan juga oleh Dr. Ray Wu yang membidani lahirnya program China-US Biology Examination and Admission (CUSBEA) di mana lebih dari 1000 siswa Tiongkok diterima universitas US.
Pada akhirnya, dalam rentang 1985 hingga 2005 tercatat lebih dari 40.000 mahasiswa PhD datang dari Tiongkok ke universitas-universitas di AS.
Langkah pemerintah Indonesia sudah tepat dengan mengirim mahasiswa Indonesia secara besar-besaran ke berbagai universitas dunia melalui skema dana abadi yang dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Belakangan mencuat kembali isu "brain drain" (orang pintar yang memilih bekerja di luar negeri) dan "brain gain" (orang pintar yang memilih kembali ke negara asal).
Fenomena ini pada awalnya juga muncul di Tiongkok. Tidak sedikit yang memilih menetap di negara tempat mereka bersekolah. Setelah puluhan tahun berlalu, tidak sedikit dari orang-orang pintar tersebut memilih pulang dengan bekal pengalaman riset, manajemen, komersialisasi, dan pendidikan setelah sekian lama menetap di luar negeri.
Bagi pemerintah Indonesia, wajar saja muncul kekhawatiran apabila semakin marak fenomena "brain drain".
Seolah fenomena "brain drain" dan "brain gain" ini bertolak belakang padahal sejatinya tidak selalu begitu, bahkan dapat menjadi mutual gain antar 2 negara.
"Brain drain" dengan tujuan jelas akan menguntungkan negara asal. Pemerintah dapat mengizinkan pelaku "brain drain" dengan memproyeksikan mereka menduduki posisi penting di tempat mereka bekerja.
Ketika telah memiliki bargaining position, mereka ini yang nantinya menjadi jembatan seperti yang dilakukan Dr. Lee dan Dr. Ray Wu. Selain itu, pelaku "brain drain" selama kurun waktu tertentu juga akan memberikan keuntungan karena mereka telah kaya akan pengalaman, konektivitas, dan skill yang menjadi modal berharga ketika mereka kembali pulang.
Selanjutnya, kita dapat belajar dari zaman Presiden BJ Habibie di mana banyak penerima beasiswa yang berniat pulang namun terkendala karena negara belum siap menampung mereka.
Hal ini harus cepat direspon dengan kebijakan yang menjadi payung bagi para pelaku. Langkah yang dapat ditempuh adalah dengan mencanangkan prioritas. Prioritas riset ini akan menjadi poros pada kebutuhan industri, pemerintah, atau kegiatan masyarakat.
Masalahnya, ekosistem riset kita masih banyak kekurangan. Sebagian besar industri tidak membutuhkan riset. Pemerintah menjadikan hasil riset sebagai pijakan dalam menjalankan amanat pembangunan bangsa.
Kegiatan masyarakat pun sebagian besar juga tidak membutuhkan riset. Ekosistem seperti ini menjadikan pelaku "brain drain" berpikir dua kali untuk pulang, sedang perbaikan ekosistem riset butuh waktu yang tidak sebentar dan harus menyeluruh mulai dari pendanaan, fasilitas, hingga sektor kelembagaan.
Kedua, negara harus siap dengan pelayanan prima bagi "brain gain" seperti akomodasi, dispensasi (pajak, administrasi), insentif tinggi, fasilitas kendaraan, rumah, dan bahkan beasiswa bagi anak-anaknya. Pendekatan dari sisi manusiawi ini tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh sangat besar.
Ketiga, membangun pusat kolaborasi riset yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Hal ini memiliki dua keuntungan. Pertama, tentu pusat riset ini menjadi wadah bagi "brain gain" dan kedua agar tidak terjadi penumpukan di kota-kota besar.
Hal ini bukan hal mustahil karena LPDP memiliki kekuataan meminta awardee-nya pulang.
Kerjasama pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam hal ini. Pemerintah daerah dituntut lebih tanggap, mulai dari mendanai sampai memfasilitasi ruang aktualisasi.
Jika terimplementasi dengan baik strategi ini juga menjadi solusi untuk mempercepat pemerataan SDM muda berkualitas di seluruh Indonesia. Jika Tiongkok sudah berhasil menarik kembali pulang "brain drain", maka tidak ada salahnya kita meniru strategi mereka.
Sebagai catatan, meniru pun tidak sekedar meniru untuk menghindari risiko isomorphic mimicry yaitu bertingkah seakan-akan telah melakukan reformasi dengan mengubah kebijakan ataupun organisasi tanpa benar-benar melihat kondisi sebenarnya sehingga hanya menghasilkan perubahan tidak signifikan.
Perencanaan matang dengan eksekusi tepat untuk memanen investasi SDM adalah kunci agar hasil investasi sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Master Student at the Laboratory of Energy Storage and Electrochemistry
Dept. of Material Science and Engineering
National Chiao Tung University, Taiwan