Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang Indonesia Mengentaskan Nalar Membaca yang Rendah

Kompas.com - 22/11/2019, 21:15 WIB
Wahyu Adityo Prodjo,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Laporan Bank Dunia terbaru 2019 berjudul "The Promise of Education" menyebutkan lebih dari sepertiga anak pada usia 10 tahun tak mampu membaca dan memahami cerita sederhana. Kondisi tersebut lazim dikenal dengan sebutan learning poverty.

Di negara-negara miskin termasuk Indonesia, learning poverty mencapai 80 persen.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Harris Iskandar mengatakan data milik Bank Dunia merupakan paparan yang bagus.

Ia menyebutkan saat ini tingkat buta huruf di Indonesia sudah berada di tingkat minimum yakni 1,93 persen untuk umur 15-59 tahun.

"Dan itu tersebar di provinsi Indonesia Timur, pedesaan bukan perkotaan. Umumnya adalah memang di kantong2 kemiskinan," ujar Harris kepada Kompas.com di Jakarta, Selasa (19/11/2019).

Baca juga: Krisis Dunia Pendidikan, Satu Pesan dari Bank Dunia...

Menurutnya, dari dua pertiga dari total masyarakat Indonesia yang buta huruf adalah perempuan dan usianya di atas 45 tahun. Masyarakat Indonesia yang ada di bawah umur 45 tahun hampir 98 persen itu bisa membaca tulis dengan baik.

"Bank Dunia belum punya data tentang Indonesia. Ini semacam wake up call buat kita. Di dunia ada learning poverty seperti ini," ujar Harris.

Realita literasi

Pengajar Program Studi Sastra Indonesia di Universitas Indonesia dan Singapore Univesity of Social Science, Ibnu Wahyudi menyebutkan realitas learning poverty yang disebutkan Bank Dunia memang terjadi Indonesia.

Kemampuan baca tulis di Indonesia tak sesuai dengan hakikat pengertian literasi.

"Pada kata "literasi" itu hakikatnya termaktub makna pemahaman kritis; bukan sekadar mampu mengucapkan kata atau kalimat. Sayangnya, pada usia awal bersekolah, aspek pemahaman dan mempertanyakan ini kurang mendapat peran," kata laki-laki yang akrab disapa Iben saat dihubungi Kompas.com

Padahal, lanjut Ibnu, kemampuan membaca harus mencapai ranah subversif. Oleh kenyataan ini, banyak perilaku yang abai atas rambu atau peraturan dan salah menulis.

Sebagai contoh, rambu "Belok Kiri Jalan Terus" tidak langsung dapat dipahami. Atau "Daerah Bebas Becak" tidak segera dapat dipahami dengan jelas.

Iben menjelaskan cerita sederhana sendiri adalah cerita dengan kalimat tidak majemuk bertingkat atau dalam satu kalimat tidak lebih 12 kata.

"Dalam dunia sastra, ketika bacaan untuk anak usia awal tidak digarap dengan cendekia, tidak dengan nalar yang tepat, hasilnya tak lebih "selesai dibaca" dengan pemahaman minimal," lanjut Iben.

Iben menyarankan guru-guru SD harus diberi pelatihan dan kesadaran baru dalam aktivitas membaca ini sebagai basis pemahaman.

Nalar membaca rendah

Pengamat pendidikan, Ahmad Rizali menyebutkan laporan Bank Dunia cocok dengan hasil Assesment Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) di Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Puspendik Balitbang Kemendikbud).

Ia mengatakan Indonesia menyumbang 46 persen dari 53 persen warga dunia yang mengalami learning poverty.

"Guru SD/MI tidak mampu mengajarkan nalar dalam membaca, sehingga wajar jika meski APK (Angka Partisipasi Kasar) SD sudah melebihi 95 persen di SD/MI, masih 46 persen yang tak paham yang mereka baca," kata Nanang dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com.

Ia mengatakan persoalan dalam proses belajar dan mengajar adalah kompetensi guru. Jika mengacu ke Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015, skor rerata terendah adalah Guru SD/MI yaitu 54.6 dari skala nilai 100 dan Guru SMK yaitu 56 dari skala nilai 100.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com