KOMPAS.com – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan melakukan berbagai tindakan nyata setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Salah satunya yaitu menghasilkan platform Indonesiana sebagai perwujudan amanat undang-undang tersebut.
Platform ini mengangkat semangat yang terdiri dari lima pilar, yakni gotong royong, penguatan lokal, keragaman, partisipatif, dan ketersambungan. Hal itu dilaksanakan berbagai kegiatan kebudayaan.
Dalam UU No 5/2017, pemerintah menempati posisi sebagai fasilitator yang memungkinkan kebudayaan milik masyarakat bisa berkembang dengan baik. Fokusnya pada tata kelola, bukan pada substansi kebudayaannya.
Hal itu sesuai dengan tujuan yang dimaksud dalam UU bahwa upaya ini untuk menguatkan kapasitas serta sinergi antar-pemangku kepentingan untuk terbentuknya ekosistem pemajuan kebudayaan.
Baca juga: Menko PMK: Sudah Disetujui, Dana Abadi Kebudayaan Rp 5 Triliun
Dengan begitu, keberlanjutan program-program kebudayaan dapat terjamin dan hal yang dicita-citakan mengenai kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.
“Fokusnya (Indonesiana) untuk peningkatan kapasitas, bukan event-nya sendiri. Akan ada banyak bimbingan teknis, pelatihan, dan workshop untuk mendalami konten yang mau disampaikan dan cara penyampaiannya,” ujar Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid dalam diskusi bertajuk “Indonesiana, Platform Kebudayaan” di Jakarta, Kamis (5/12/2019).
Dia menambahkan, hal-hal yang disampaikan dalam platform ini pun bersifat sangat teknis, misalnya cara membangun panggung, sistem pencahayaan, tata suara, dan manajemen penyelenggaraan suatu acara.
Maka dari itu, komunikasi menjadi sesuatu yang penting agar berbagai pihak yang terlibat dapat bekerja sama dalam mengadakan suatu perhelatan kebudayaan.
“Komunikasi itu sangat penting. Jadi kita semua itu kerja sama, mengundang para ahli juga, teman-teman kurator dan seniman kita libatkan, sehingga pada akhirnya nanti penyelenggaraan kegiatan itu bisa meningkat kualitasnya,” imbuh Hilmar.
Dia pun menegaskan bahwa terselenggaranya suatu acara kebudayaan merupakan inisiatif dari daerah, sedangkan pemerintah pusat membantu agar bisa terlaksana dengan baik. Kerja sama itu dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk pembiayaannya.
“Iya, seleksi dan pendekatannya beda, harus datang dari daerahnya sendiri. Usulan apa saja kegiatannya, siapa yang terlibat, apa jangkauannya, diluruskan bersama. Yang paling penting juga dari segi penganggaran sama-sama dari daerah dan pusat, bukan acara dari pusat yang diselenggarakan di daerah,” jelasnya.
Hilmar mengungkapkan, melalui platform ini, pihaknya juga berusaha mendorong sejumlah pihak untuk memobilisasi sumber dayanya masing-masing, termasuk dukungan dari pihak swasta, BUMD, BUMN, dan kalangan di dunia usaha.
Dengan demikian, pada akhirnya kegiatan seperti ini bisa berlangsung terus-menerus dan ekosistemnya semakin bertumbuh.
“Selama ini sepertinya itu kurang dapat perhatian. Kita sering lihat ada festival bagus, setahun dua tahun habis itu hilang. Ada banyak inisiatif yang bagus, tapi umurnya tidak panjang. Jadi dalam kerangka platform Indonesiana ini, fokus utamanya justru untuk keberlanjutan,” pungkasnya.
Sementara itu, Dede Pramayoza sebagai bagian dari Tim Ahli Platform Indonesiana mengatakan, Indonesiana merupakan salah satu implementasi dari undang-undang yang menjadi wadah bersama untuk pemajuan kebudayaan.
Menurut dia, pemilihan bentuk platform ini karena berdasarkan studi atas berbagai kegiatan kebudayaan di Indonesia. dia menilai negara kita adalah negara adidaya kebudayaan, di mana sumber daya itu belum digunakan secara maksimal.
“Salah satu penyebabnya karena pihak-pihak yang berkepentingan belum terhubung dalam satu pola hubungan yang terpadu, yang bisa punya posisi dan peran masing-masing sehingga kerjanya bisa lebih maksimal,” ucap Dede.
Dia mengharapkan melalui platfrom Indonesiana ini ada ruang yang mampu menciptakan pola hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan supaya lebih mesra.
Respons lain juga datang dari Emilio Rafael Seran. Dia adalah pemuda milenial sekaligus pegiat kebudayaan di Atambua, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dia merasa platform Indonesiana sangat bagus dan cocok dengan kegiatan kebudayaan di daerahnya. Adapun semangat yang paling mengena bagi dia adalah gotong royong dan kemesraan.
“Pelajaran yang paling penting itu kita belum tahu cara melakukan kegiatan itu seperti apa, pembagian tugasnya. Mungkin sudah ada kegiatan, tapi belum rapi, jadi (Indonesia) bisa memajukan kebudayaan kita,” kata Emilio.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.