Yunanto Wiji Utomo
Penulis Sains

Science writer. Manager of Visual Interaktif Kompas (VIK). Chevening Scholar and Co-Founder of Society of Indonesian Science Journalists (SISJ).

Kuliah di UK dan Marah karena Cuma Dapat 70 di Penilaian Esai

Kompas.com - 04/01/2020, 09:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Saat menulis ini, saya sudah berada di London selama 3 bulan. Kebetulan, saya mendapat kesempatan melanjutkan studi master dengan dukungan Chevening Scholarship dari pemerintah Inggris.

Jurusan yang saya ambil namanya Digital Creative Media. Ini bidang lintas disiplin, paduan antara kreatif, teknologi informasi, seni, dan media.

Singkat cerita, saat ngopi seusai melihat pameran seni di Tate Modern, saya mendapat pesan WhatsApp dari teman kuliah.

"Udah cek skor esai belum, mate? Udah keluar tuh," kurang lebih begitu pesan si teman jika di-Indonesia-kan. Oh ya, orang London hampir tidak pernah panggil "bro" dan "sis", seringnya panggil teman dengan "mate".

Akhirnya, saya cek-lah nilainya. Malas betul, cuma dapat 70! Bertambah malas karena si "mate" yang lahir dan besar di London tadi mengatakan bahwa dia mendapat nilai 81.

Hancur sudah mood saya. Dari yang semula berniat mengerjakan tugas programming, akhirnya saya pergi makan ayam goreng korea, plus nasi, dan bir. Habis 18 pounds, dua kali harga seekor ayam goreng korea di Pantai Indah Kapuk.

Sambil makan, saya tanya teman-teman lain. Ada mahasiswa asal Jepang dapat 67. Ada mahasiswa China dapat 74. Si mahasiswa dari negeri Tirai Bambu itu tertawa saat saya mengungkapkan ketidakpuasan.

"Ada yang dapat 40 lho... ha-ha-ha. Apa itu membuat kamu lebih tenang? 70 itu sudah bagus asal kamu tahu. Dulu waktu tahun pertama S-1 di sini, esaiku 55," katanya.

Sistem nilai berbeda

Sistem penilaian bisa berbeda-beda antaruniversitas, tapi walaupun sulit dipercaya, secara umum 70 bisa dibilang "perfectly normal".

Kalau seorang mahasiswa mendapat skor akhir di atas 60, grade-nya sudah "Merit", mungkin semacam IPK di atas 3 kalau di Indonesia. Jika mendapat 70 ke atas, sudah masuk "Distinction" atau semacam cum laude.

Seorang akademisi Indonesia yang kebetulan menjadi dosen di universitas saya berkata, "Untuk dapat nilai di atas 90 seperti di Indonesia, di sini it is very unlikely. Paling pol kita dapat 85. Kalau dosen merasa bahwa esai kita benar-benar sempurna, tidak ada celanya, dia akan beri nilai 80 atau 85. Jadi 70 itu sudah bagus. Esai pertama saya dulu 60-an skornya," katanya.

Soal sangat sulitnya mendapat nilai 100 dalam esai ini menjadi perdebatan hangat di Student Forum, semacam Reddit atau Kaskus untuk mahasiswa yang kuliah di Inggris.

Seorang mahasiswa bercerita bahwa dia taruhan 10 pounds (Rp 180.000) dengan temannya. Jika temannya tidak berhasil mendapatkan esai dengan nilai 100, dia menang.

Mahasiswa lain di forum itu mengatakan, mendapatkan nilai 100 dalam ujian tertulis lebih mungkin dari mendapatkannya di nilai esai.

Saking sulitnya dapat nilai bagus di esai, teman British keturunan Karibia saya mengungkapkan, "Dulu waktu awal S-1 saya pikir esai lebih enak. Sekarang saya berpikir mendingan ujian saja."

Sayangnya, kuliah di Inggris hampir tidak mungkin menghindar dari esai, apalagi jika bidang yang diambil adalah seni, sastra, ilmu sosial, dan lintas disiplin.

Perkecualian mungkin untuk jurusan yang benar-benar engineering. Contoh, ilmu komputer murni. Seorang teman yang mengambil jurusan itu hanya punya ujian, tidak punya esai.

Rumus dasar nilai bagus

Lalu, bagaimana dapat nilai esai bagus?

Rumus dasar untuk nilai esai yang bagus adalah koherensi, tepat sasaran, argumentasi kuat dengan dukungan referensi, dan orisinalitas.

Kriteria ini banyak dipahami mahasiswa, tapi nyatanya gampang-gampang susah mengaplikasikannya. Wartawan yang dalam kesehariannya menulis, misalnya, bisa mendapat nilai rendah dan komentar, "Esaimu terlalu jurnalistik."

Alih-alih langsung mengungkapkan pendapat dan referensi, mahasiswa dituntut menguraikan duduk permasalahan lebih dahulu beserta bukti-bukti pendukungnya.

Ini bisa berupa berita dari media tepercaya atau publikasi ilmiah. Dosen Indonesia di universitas saya berkata, tujuannya adalah menguji sejauh mana mahasiswa memahami perdebatan yang ada, memastikan tidak hanya mengekor pendapat yang dinilai benar.

Orisinalitas juga penting. Ini bisa berupa pendapat atau contoh.

Mahasiswa asing punya keuntungan di sini. Misalnya, jika ingin bicara digital dan pembangunan ekonomi, alih-alih memberi contoh soal Apple yang sudah umum, mahasiswa Indonesia bisa memberi contoh soal Gojek.

Dengan demikian, si dosen tahu bahwa mahasiswa memiliki pemahaman dan mampu memberi konteks.

Argumentasi punya peranan besar. Mahasiswa tidak bisa hanya menggabungkan dan mencocokkan teori yang ada tapi dituntut memberikan argumen orisinil berdasarkan referensinya.

Di sini, membaca sebanyak mungkin referensi dengan strategi yang tepat jadi penting. Ini yang membuat menulis esai lebih menantang dari mengerjakan ujian yang bisa jadi hanya mengandalkan kemampuan menghafal.

Hal terakhir yang tak kalah penting adalah komunikasi dalam bahasa Inggris. Bukan hanya perlu sempurna secara gramatikal, tetapi juga tone yang tepat.

Penulisan untuk kalangan akademik punya tone berbeda dengan tulisan populer di media. Bagi yang belum terbiasa menulis dengan bahasa Inggris, ini adalah tantangan tersendiri.

Kerap kali mahasiswa dari negara yang bahasa utamanya bukan Inggris menganggap, mahasiswa lokal sudah otomatis unggul karena bahasa.

Apakah saya puas? Jawaban singkatnya, jelas tidak.

Angka 70 ke 100 selisihnya masih 30. Artinya, masih banyak ketidaksempurnaan. Walaupun dosen memberi catatan bagus "good argument" dan "you discuss these issues very well", saya masih menemukan catatan seperti poin-poin argumen yang lemah dan referensi yang tidak cukup kuat untuk mendukung.

Saya bukan satu-satunya yang merasa tidak puas. Sejumlah teman yang saya ajak diskusi mengatakan hal yang sama, terutama yang dari Asia.

Kami menyebutnya psikologi pelajar Asia. Kalau bisa dapat 100, ya 100. Tidak ada ceritanya bangga dapat 70.

"Kalau dapat 70 bisa enggak masuk Peking University?" gurau saya ke mahasiswa China.

Dia bilang, "Gila ya kamu? Mau masuk Peking, kalau skor maksimalnya 100, ya kamu harus dapat 100 agar dijamin masuk!

Fokus pengembangan diri

Begitulah kira-kira hasil obrolan saya dengan teman dan dosen Indonesia di Inggris.

Meski di sini saya bicara soal menulis esai, poin-poin di atas juga berlaku bagi yang ingin menempuh tes IELTS.

Kriteria-krieria esai yang bagus juga berlaku di section Writing IELTS, selain juga penguasaan gramatikal dan kemampuan mengekspresikan gagasan dalam kalimat kompleks.

Ingin kuliah di Inggris? Boleh saja, tapi juga harus siap beradaptasi dengan model belajar dan tantangan yang mungkin berbeda.

Teman saya yang juga alumnus Chevening Scholarship mengatakan, yang terpenting adalah fokus pada pengembangan diri sendiri. Tidak membandingkan hasil diri kita dengan orang lain seperti yang biasa dilakukan lewat sistem rangking di Indonesia.

"Stres lho nanti," katanya.

Hal lain yang tak boleh dilupakan, kata teman lain alumni Chevening juga, adalah mencoba belajar di luar universitas dengan berwisata, berinteraksi dengan warga lokal, serta datang ke sejumlah acara sesuai.

Tiap orang punya cara sendiri untuk melakukan. Ada yang bergabung dengan organisasi pelajar Indonesia, ada pula yang lebih banyak menjajal berinteraksi dengan organisasi lokal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau