KOMPAS.com – Menukil Psychology Today, membesarkan remaja merupakan fase paling sulit dan terpanjang dalam hidup orangtua.
Selama fase tersebut ada banyak hal kompleks yang bakal terjadi hingga membuat para orangtua di luar sana acap kali ‘geleng-geleng kepala’. Bahkan, perselisihan antara keduanya sering tak terelakkan.
Meski demikian, mendidik anak remaja untuk menjadikannya pribadi yang hebat bukanlah hal mustahil selama orangtua memperhatikan poin berikut ini.
Saat memasuki masa remaja, otomatis dunia anak menjadi berbeda. Mereka ingin lebih mandiri dan cenderung sedikit tidak bergantung pada orangtua.
Kendati baik, namun tak sedikit orangtua yang cemas dan belum sepenuhnya menerima hal tersebut. Alhasil, mereka sering mendikte apa yang harus anak kerjakan, termasuk untuk urusan kecil. Contoh, cara berpakaian, memilih makanan, atau kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Alih-alih demi kebaikan, sikap orangtua yang seperti itu justru tidak disukai oleh anak. Akhirnya, muncul perdebatan antara keduanya.
Penelitian yang dipublikasikan Cambridge University Press mengungkapkan, jika orangtua terjebak dengan pola didik demikian, maka lambat laun ketidaksukaan anak pada orangtua bakal muncul. Buruknya, bisa mempengaruhi performa mereka di sekolah.
Tak ingin hal tersebut terjadi, Sarinah (47) memberikan kebebasan pada anaknya, Jovian - murid kelas delapan di Sekolah Menengah Pertama ACS Jakarta.
“Saya support dia (Jovian) dan benar-benar memberikan kebebasan buat dia melakukan apa yang dia sukai. Saya juga berusaha untuk selalu ada. Dia mau latihan kelompok, saya antar jemput. Saya juga sering tanya topik seputar pelajaran," tuturnya.
Di lain sisi, Jovian mengaku menjadi lebih termotivasi dan lebih percaya diri dengan sikap orangtuanya tersebut.
“Orangtua saya sangat mempercayai bahwa saya mampu belajar dengan cara saya sendiri. Kebebasan tersebut memberikan saya semacam motivasi.” kata murid peraih penghargaan di ajang konferensi internasional Harvard Model of Congress di Tokyo pada Januari lalu.
Dari contoh tersebut, orangtua seyogianya tak perlu ragu membiarkan anak mandiri menentukan pilihan selama itu tidak melenceng dari nilai-nilai agama dan keluarga.
Kebanyakan orangtua lebih suka menasihati ketimbang mendengarkan dan memahami anak terlebih dahulu.
Padahal, merujuk teori Newman (dalam Rice, 1999), remaja justru menginginkan orangtua yang menaruh perhatian dan siap membantu apabila mereka membutuhkan bantuan, serta mengerti mereka sebagai remaja.
Hal tersebut diamini oleh Althea, siswi kelas delapan SMP ACS Jakarta sekaligus penerima penghargaan termuda dalam ajang konferensi internasional Harvard Model of Congress di Hongkong.
“Orangtua saya selalu menyediakan waktu untuk mendengarkan dan menghargai tiap kali saya bercerita. Sikap mereka yang seperti itu bikin saya jadi optimis. Saya juga jadi percaya diri dengan apa yang saya lakukan,” katanya.
Terkait mendengarkan anak, psikolog asal Kanada dr. Mark Holder menyebutkan, ada dua kata mudah yang bisa orangtua ucapkan ketika mendengarkan anak bercerita, yakni “tell me more” atau “what happened next?”
Artinya saat anak sedang bercerita, orangtua perlu merespon sang anak dengan “ayo, ceritakan lebih banyak lagi” atau “lalu, selanjutnya bagaimana?”
Tak hanya orangtua, guru juga berperan penting dalam proses mendidik anak, mulai dari akademis hingga karakter mereka. Itulah mengapa guru disebut sebagai orangtua kedua bagi anak.
Bila orangtua mengalami kendala dalam mendidik anak remaja di rumah, bersinergi dengan guru di sekolah bisa jadi solusi tepat.
Itulah yang jamak diterapkan para orangtua murid di SMP ACS Jakarta. Mereka memberikan otoritas kepada sekolah untuk mendidik, mengatur, dan mengarahkan anaknya berdasarkan mufakat tertentu.
Cara tersebut terbukti berhasil, khususnya dalam peningkatan akademik anak. Beberapa murid di sana, contohnya Jovian dan Althea sukses menyabet penghargaan di ajang internasional Harvard Model of Congress.
Selain itu, kerja sama antara orangtua dan sekolah juga mampu meningkatkan kemampuan anak dari sisi non akademis, seperti life skill (keterampilan hidup) dan self esteem (harga diri).
Dikutip dari International Journal of Pediatrics, life skills adalah strategi yang memungkinkan orang untuk sukses menjalani kehidupan di lingkungan yang berbeda.
Di SMP ACS Jakarta, kedua potensi tersebut terasah melalui program camp yang rutin digelar tiap tahunnya.
Melalui kegiatan wajib tersebut para murid akan memperoleh materi pendidikan dengan cara yang menyenangkan.
Mereka diarahkan oleh para guru untuk melakukan berbagai aktivitas yang menuntut kerja sama, memahami diri sendiri, dan meningkatkan hubungan antar teman dan guru.
Dengan demikian, tidak mustahil bagi anak untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi dari anak lainnya.
Sebagai informasi, ACS Jakarta merupakan sekolah berkurikulum International Baccalaureate (IB) dan Cambridge yang telah menghasilkan sejumlah anak peraih beasiswa di universitas top dunia, seperti Stanford university, Oxford university, dan lain-lain.
Untuk info lebih lanjut mengenai sekolah ACS Jakarta, silakan kunjungi tautan ini.